|
Malam 1 Suro – tgl 15 Maret 2002 lalu, area Pesarean (Pemakaman) Gunung Kawi dikunjungi oleh ribuan orang peziarah dari berbagai kota dan daerah telah berdatangan sejak sore hari. Para pedagang bunga, kemenyan, lilin, hio dan perlengkapan sesaji lainnya sibuk melayani para peziarah.
Pertunjukan wayang kulit dan barongsai ikut meramaikan suasana. Singkatnya, sepanjang malam itu, pesarean gunung kawi lebih mirip pasar malam dari pada sebuah kompleks pemakaman. Malam itu, kesan seram, angker, dan tempat ‘mencari kekayaan dengan cara nyupang, golek pesugihan, atau muja’ yang seperti yang dibayangkan banyak orang tentang “Gunung Kawi”, seolah tenggelam oleh hingar-bingar para pengunjung.
Setelah Eyang Djoego meninggal tahun 1871, dan menyusul Eyang Iman Sudjono tahun 1876, para murid dan pengikutnya tetap menghormatinya. Setiap tahun, para keturunan, pengikut dan juga para peziarah lain datang ke makam mereka melakukan peringatan.
Makam yang menjadi pusat dari kompleks Pesarean Gunung Kawi tersebut. Makam yang menjadi magnet untuk menarik puluhan ribu orang datang setiap tahunnya. Para Peziarah itu datang untuk menghormati dan sekaligus memohon berkat kepada beliau yang dimakamkan di tempat tesebut, yaitu Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Sudjono. Ya betul, memang dalam satu liang lahat tersebut dimakamkan dua orang Eyang yang merupakan sahabat perjuangan, guru dan murid yang sudah saling mengangkat Bapak-Anak ini.
Mengapa dan bagaimanakah sebuah area pemakaman (pesarean – bahasa Jawa) bisa sebegitu terkenal dan dikunjungi banyak peziarah, khususnya warga Tionghoa? Mari kita telusuri liputannya :
Dominasi Warga Tinghoa
Rupanya, dengan berjalannya waktu, ritual ziarah kubur ini berkembang menjadi upacara ziarah kubur plus ngalap berkah. Dan uniknya , sekarang boleh dibilang lebih banyak masyarakat Tionghoa yang datang berziarah daripada masyarakat Jawa sendiri. Bahkan dalam hari-hari tertentu, seperti hari raya Imlek, Natal, dan Idul Fitri, jumlah masyarakat Tionghoa yang datang berziarah jauh lebih banyak daripada masyarakat Jawa sendiri.
Keikutsertaan warga Tionghoa dalam lingkungan perziarahan di Pesarean Gunung Kawi sebenarnya dimulai dari seorang yang bernama Tan Kie Lam. Pada waktu itu ia sempat diobati dan disembuhkan oleh Eyang Iman Sudjono berkat air guci wasiat peninggalan Eyang Djoego. Kemudian, Tan Kie Lam pun ikut berguru di padepokan gunung kawi dan tinggal di sana. Sebagai seorang Tionghoa, ia mungkin merasa kurang sreg dengan ikut cara ritual masyarakat Jawa. Akhirnya, ia mendirikan sendiri sebuah “kelenteng kecil”-nya sendiri untuk bersembahyang dan untuk menghormati kedua almarhum gurunya.
Tetapi yang membuat Pesarean Gunung Kawi ini terkenal adalah seorang Tionghoa yang kemudian menjadi pediri perusahaan rokok Bentoel, sebuah perusahaan rokok besar yang pernah berdiri di Malang. Sayangnya, akibat krismon ini sekarang terancam bangkrut dan diambil alih oleh perusahaan lain.
Konon, sang pendiri PT. Bentoel ini, ketika itu datang untuk berguru olah-kanuragan di padepokan Gunung Kawi. Tetapi oleh sang juru kunci niat itu ditolak dengan alasan bahwa ia tidak pantas menjadi seorang pendekar, tetapi lebih cocok menjadi pedagang saja. Sang juru kunci lantas menyarankan ia pulang saja, sambil membekalinya dua batang bentoel (umbi-umbian).
Sesampai di rumah, ia berpikir bahwa oleh-oleh dua batang bentoel ini pasti punya arti. Akhirnya, ia menggunakan Cap Bentoel sebagai merk usahanya. Berkat kegigihan dan kerja kerasnya, perusahan rokok Cap Bentoel maju pesat. Dan sebagai tanda terima kasih dan bhaktinya terhadap Eyang Djoego dan Eyang Sudjono, ia membagun jalan dan prasarana-prasarana di kompleks Pesarean Gunung Kawi tersebut.
Rupanya, khabar hubungan antara kesusksesan Rokok Benteol dan pesarean Gunung Kawi dengan cepat menyebar luas di kalangan masyarakat Tionghoa. Akibatnya langsung bisa ditebak, segera saja banyak masyarakat Tionghoa berbondong-bondong datang ke sana. Kebetulan kok ya banyak yang berhasil. Bahkan konon menurut khabar burung biru, sebuah perusahaan taxi terkenal mendapatkan merk-nya juga dari mimpi ketika salah seorang pemiliknya sedang berada di gunung Kawi.
Selain mengikuti upacara ritual standart Islam-Kejawen yang dilakukan oleh para juru kunci makam, para peziarah Tionghoa juga melakukan ritual tionghoanya. Segera saja klenteng kecil buatan Tan Kie Lam dirasa tak bisa lagi menampung membludagnya kaum Tionghoa yang ingin berseEyangyang. Untuk itu dibangunlah tiga buah kelenteng kecil yang letaknya lebih dekat lagi dengan makam. Di ketiga kelenteng ini diisi oleh Dewa Bumi Ti Kong, Dewi Kwan Im, dan kelenteng khusus untuk Ciamsi (ramalan). Sering terlihat lilin-lilin merah besar yang tingginya 2 m atau lebih berjejalan memenuhi kelenteng ini. Di atas sampul plastik lilin-lilin tersebut biasanya tertulis permohonan dari perusahaan atau keluarga tertentu. Bahkan sempat dijumpai, di atas palstik sampul lilin tersebut tercetak gambar sebuah sepeda motor merk Jepang terkenal.
Di bekas kelenteng kecil lama yang di bongkar, dibangun sebuah masjid letaknya berdekatan dengan kelenteng Tionghoa yang baru. Masjid Iman Sujono yang megah ini, konon khabarnya juga sumbangan konglomerat nomor satu Indonesia, Liem Sioe Liong.
Memang, kecuali dalam pendopo makam, dihampir semua tempat di kompleks makam yang dikeramatkan oleh masyarakat Jawa, seperti Padepokan Eyang Iman Sujono, bekas rumah tinggal Tan Kie Lam, dan pemandian Sumber Manggis, semuanya juga diletakkan altar ritulal khas Tionghoa. Bahkan kedua Eyang mendapat julukan dalam bahasa Tionghoa. Eyang Djego disebut Twa Low She atau Guru Besar Pertama, sedangkan Djie Low She atau Guru Besar Kedua adalah sebutan untuk Eyang Iman Soedjono.
Hasil akhirnya, sekarang kompleks pesarean Gunung Kawi menjadi tempat percampuran budaya dan ritual khas Jawa dan Tionghoa. Bagi mereka yang pertama kali datang ke gunung kawi pastilah akan mengkerutkan dahi melihat apa yang terjadi di sini.
Adalah menjadi pemandangan sehari-hari di kelenteng Gunung Kawi bila melihat seorang Jawa bersarung dan bertopi haji dengan khitmatnya bersoja dengan hio di tangan, sementara disampingnya seorang ibu berkerudung sedang dengan penuh konsentrasai mengocok bambu ramalan (ciamsi). Dan kalau diperhatikan, ternyata para ‘petugas kelenteng’ gunung Kawi ini pun ternyata kebanyakan adalah warga Jawa.
Setelah jam 12 malam, para peziarah Jawa dan Tionghoa larut dalam sebuah ritual khas Gunung Kawi. Mereka berjalan berlawanan arah jarum jam mengelilingi pendopo sebanyak tujuh kali, dengan setiap saat berhenti di depan pintu sisi utara, timur, selatan dan barat, sambil menghormat ke dalam makam.
Sementara itu, di dalam Pendopo Makam sendiri dipenuhi para peziarah Jawa dan Tionghoa yang memiliki niatan khusus. Sambil membawa bunga dan kemenyan. Mereka dengan sabar menunggu giliran di doakan di depan nisan oleh para asisten juru kunci. Setelah doa dalam bahasa Jawa dan Arab digumamkan, biasanya para peziarah akan mendapat “bunga layon” (bunga layu) yang sudah ditaburkan dari makam. Khabarnya bunga tersebut memiliki khasiat pembawa rezeki dan pengobatan. Uniknya, banyak peziarah yang menempatkan bunga tersebut di kantong merah dan kuning yang bergambar lambang Pakua dan bertuliskan huruf Tionghoa. Yang merah cocok untuk ditempatkan di tempat usaha, sedangkan yang kuning digantung ditempat tinggal.
Berbaurnya dua budaya dan ritual Jawa dan Tionghoa ini terlihat mencolok lagi pada peringatan malam satu Suro lalu. Dalam kompleks pemakaman tersebut setidaknya ada 3 tempat perunjukan wayang kulit dengan lakon tertentu yang dipesan oleh warga Tionghoa sebagai kaulnya. Sementara itu beberapa warga masyarakat Jawa berpartisipasi memberikan angpau kepada barongsai yang sedang beraksi.
Upacara sembayangan khusus di depan makam 1 Suro yang sedianya dimulai pukul 1.00 malam akhirnya baru bisa dimulai pukul 5.30 pagi karena menunggu matangnya sesajian yang dipesan para peziarah.
Sore hari tanggal 1 Suro (15 Maret 2002) diadakan upacara arak-arakan desa. Tiap RT dari desa Wonosari mengirimkan rombongan wakilnya. Mereka berpakaian adat Jawa Timuran sambil membawa tandu-tandu berisisi aneka sesembahan. Di tengah iring-iringan warga Jawa dan Tionghoa yang juga diiringi tarian jawa ini menyelip juga barongsai, tarian singa khas Tionghoa.
Entah apakah peristiwa semacam ini pernah terlintas di benak oleh Eyang Djoego dan Eyang Iman Soedjono semasa hidupnya. Tapi yang jelas hari Satu Suro lalu, masyarakat Jawa dan Tionghoa juga berbaur beriringan bersama-sama mengucapkan doa syukur, mengalap berkah – memuja bhakti di Pesarehan Gunung Kawi.
Eyang Djoego dan Eyang RM Iman Soedjono : Dua bangsawan Jawa yang dihormati masyarakat Tionghoa.
Ya, kedua Eyang almarhum inilah yang sangat dihormati dan dipuja di Pesarean Gunung Kawi tersebut. Setiap tahun, puluhan ribu orang dari berbagai daerah dan negara datang untuk berdoa dan meminta berkat-restu di depan nisannya. Siapakah mereka sebenarnya?
Menurut riwayatnya, kedua eyang di atas adalah mantan Bhayangkara pasukan Pangeran Diponegoro yang ikut serta dalam perang Diponegoro 1825-1830. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dengan licik oleh Jenderal De Kock dalam perundingan Magelang, pasukannya terpecah tiga bagian. Ada yang ikut dan bekerja sama dengan Belanda, sebagian meneruskan perjuangan dengan jalan kekerasan, dan sekelompok lain menempuh cara pendidikan rakyat sebagai jalan perjuangannya. Kedua Eyang ini menempuh jalan yang terakhir.
Eyang Djoego sebenarnya bernama Eyang Kyai Zakaria II. Beliau masih keturunan dari bangsawan keraton Kartasura. Gelar tersebut menunjukan bahwa selain bangsawan, beliau juga seorang ulama. Pada akhirnya nanti, warga Tionghoa juga menyebutnya dengan Tow Law She atau Guru Besar Pertama. Setelah tertangkapnya perang Diponegoro usai, beliau memutuskan untuk mengembara seorang diri, tanpa anak dan isteri. Agar tak diketahui pasukan Belanda, beliau tak lagi menggunakan gelar Kyai Zakaria II, dan mengganti nama Sadjoego yang artinya “seorang diri”. Pada akhir pengembaraannya ke daerah Jawa Timur, beliau mendirikan sebuah padepokan di desa SananDjoego, kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Konon nama desa itu juga diambil dari namanya. Di daerah ini, Eyang Sadjoego atau disingkat Eyang Djoego, selain mengajar agama islam dan pertanian, juga memberikan pengobatan. Beliau mempunyai tiga buah guci kuno yang airnya berkhasiat menyembuhkan.
Sedangkan, rekan seperjuangan dan juga murid terkasihnya Eyang Djoego yaitu Raden Mas Imam Sudjono adalah masih keturunan keraton Yogyakarta. Beliau juga sering disebut Eyang Kromorejo. Sedangkan Djie Low She atau Guru Besar Kedua adalah gelar yang nantinya diberikan oleh warga Tionghoa kepadanya. Semasa menjadi pasukan pangeran Diponegoro, beliau menikah dengan Raden Ayu Saminah, anggota laskar prajurit wanita “Langen Koesoemo” pimpinan Raden Ayu Ratnaningsih (isteri Pangeran Diponegoro).
Pada hari Senin Pahing, 22 Januari 1871, Eyang meninggal dunia. Tetapi sebelum wafat beliau sempat berpesan agar jenasahnya nanti dimakamkan di Gunung Kawi. Rupanya pada waktu itu perjalanan dari desa Sananjugo, kecamatan Kesamben ke Gunung Kawi tidaklah semudah sekarang. Jarak yang ditempuh mobil melalui jalan aspal mulus selama 40 menit sekarang ini harus ditempuh oleh rombongan jenasah selama 3 hari. Mereka terpaksa menempuh jalanan terjal di tengah hutan lebat dan beristirahat di beberapa desa.
Dengan upacara kebesaran adat kejawen yang penuh kehormatan dan kebesaran, pada tanggal 25 januari 1871, Eyang RM Iman Soejono memimpin upacara pemakaman Eyang Djoego. Malam harinya, yaitu malam Jumat Legi, di pendopo makam Eyang Djoego diselenggarakan “Tahlil Akbar” yang diikuti segenap murid dan pengikut Eyang Djoego dan RM Iman Soejono dari bebrbagai daerah di Malang dan Blitar.
Tradisi Tahlil Akbar pada malam Jumat Legi ini masih berlangsung sampai sekarang, sehingga pada malam Jumat Legi pengunjung Pesarean Gunung Kawi akan lebih banyak dari hari-hari biasa.
Peninggalan Eyang Djoego di Kesamben berupa padepokan dan masjid, tanah pertanian 12 hektar, jubah, tombak pusaka, topi, alat-alat pertanian dan tiga buah guci berkhasiat obat diserahkan perawatannya kepada Ki Taziman, orang desa setempat yang pertama kali ditemui dan juga murid Eyang Djoego.
Karena Eyang tak berputera dan tak beristeri, ia mengangkat RM Iman Soejono sebagai putera kinasih dan sekaligus penerusnya. Untuk itu, agar dapat terus merawat makam guru dan sahabat perjuangannya itu, RM Iman Soejono memutuskan menetap dan mendirikan padepokan di dekat makam Eyang Djogo di desa Wonosari, lereng Selatan gunung Kawi.
Dalam padepokannya yang baru, RM Iman Soejono melakukan dakwah yang berbafaskan Islam kepada para pengikutnya dan siapa saja yang datang dan berziarah ke makam Eyang Djoego. Uniknya, beliau suka memberikan kepada para tamunya bungkusan kecil yang disebut “Saren Sinandi”. Biasanya isinya adalah sejimpit nasi kering (karak) dan sekeping uang logam. Kata Sinandi berarti kiasan. Tradisi ini terus berlanjut sampai sekarang. Para pengunjung yang ingin mendapat petunjuk yang baik dari RM Imam Sudjono dan para sesepuh penerusnya harus bisa menguraikan apa arti dibalik Saren Sinandi yang didapatnya. Barang inilah yang sampai sekarang setiap tanggal 12 Suro (Peringatan wafatnya RM Iman Soedjono) selalu didambakan oleh para peziarah. Kalangan Tionghoa menyebutnya “Angpao”
Selain dikenal ahli berkebun dan bercocok tanam, RM Iman Sudjono juga melakukan pengobatan dengan air guci peninggalan Eyang Djoego yang diboyong ke Padepokannya di dusun Wonosari. Dua Guci wasiat ini sekarang berada di samping Pendopo makam dan airnya masih bisa dinikmati para peziarah. Sedangkan yang satu lagi tetap berada di padepokan Eyang di desa Sananjugo, Kesamben.
Selasa Wage malam Rabu Wage tanggal 12 Suro atau Muharam 1805 atau 8 Februari 1876, RM Iman Sujono meninggal dunia. Seperti wasiat Eyang , kedua sahabat perjuangan tersebut dimakamkan dalam satu liang lahat. Hal ini melambangkan bahwa kedua insan ini senasib seperjuangan dan sependeritaan, seazas dan setujuan hidup.
Sekarang, padepokan Eyang RM Iman Soedjono di desa Wonosari sudah dipugar dengan tetap mempertahankan gaya bangunan Joglo Mentaraman. Barang peninggalannya yang berupa tombak pusaka serta bantal-guling yang terbuat dari glugu (batang pohon kelapa) lalu dikeramatkan. Di tengah halaman, tepat di depan pintu utama dibangun “kelenteng kecil” yang diperuntukkan bagi warga Tionghoa yang ingin mendoakan dan memohon restunya.
Nama RM Iman Sudjono juga diabadikan menjadi nama masjid megah yang dibangun di dekat padepokannya. Masjid RM Iman Sudjono ini dibangun tahun 1985 untuk menampung para peziarah yang tidak kebagian tempat di masjid Al Mukharommah dekat Pendopo Makam yang memang lebih kecil.Menilik perjalanan hidupnya, memang pantas kedua Eyang ini dihormati. Tapi apakah kedua Eyang ini juga pernah membayangkan akan dipuja sehebat ini? Walahualam!
Martinus Herwiratno , 5838.2004
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua