Budaya-Tionghoa.Net | Kutulis artikel ini,dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan Indonesia. Dengan memfokuskan pada tokoh Oey Hay Djoen, dimaksudkan agar, bersama kita mengkhayati dalam fikiran dan pemahaman tentang makna KEBANGSAAN INDONESIA. Bahwa nasion ini, selain terdiri dari sukubangsa-sukubangsa, yang sering disebut BUMIPUTERA atau PRIBUMI, bahwa bangsa yang sedang tumbuh dan berkembang ini, bagian-bagiannya, anggota-anggotanya juga terdiri dari pelbagai etnik asal asing, seperti etnik Tinghoa (ini yang paling banyak ketimbang lainnya), India, Eropah, Arab, Tamil, dll.
|
Tidak adanya kesatuan fikiran dan pemahaman mengenai sejarah dan identitas nasion kita, a.l. menyebabkan sementara fihak dari pelbagai jurusan, dengan maksud jahat,(baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri), — menggunakannya untuk mengadu domba ‘kita-sama-kita’. Juga untuk mengalihkan perhatian masyarakat umum dari masalah yang riil (seperti kemiskinan, ketidak-adilan, korupsi, kesewenang-wenangan aparat dan birokrasi, ketidaksiapan menghadapi bencana alam, dsb) yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Kasarnya mencari ‘kambing hitam’ untuk lepas tangan dari tanggung-jawab sendiri. Catatan sejarah kita menunjukkan ‘aksi-aksi atau kekerasan anti-Tionghoa’ sering digunakan oleh penguasa dan sementara kaum reaksioner untuk ‘mengalihkan perhatian masyrakat’ dan atau dengan gampang-gampangan menuding ‘kambing hitam’.
Mengenai apa atau siapa yang dinamakan bangsa Indonesia, atau bagaimana identitas nasion ini, tidak sedikit yang kurang mamahaminya, atau punya pemahaman dan interpretasi berbeda. Sebagai contoh sederhana: mungkin tidak banyak yang tau bahwa salah satu tokoh penting pejuang kemerdekaan Indonesia, tokoh nasionalis Mohammad Husni Thamrin, kakeknya, adalah seorang usahawan berbangsa Inggris. Pejuang kemerdekaan Dr Douwes Dekker, adalah asal Belanda. Mantan Menteri Republik Indonesia, Siauw Giok Tjan (Kabinet Presiden Sukarno, 1945), adalah keturunan etnik Tionghoa. Tokoh Nasionalis Mr. Utrecht, adalah asal Indo-Belanda. Dr.Magnus Franz Suseno, asal Jerman, dll.
* * *
Ada pelbagai pertimbangan mengapa kali tulisan difokuskan pada seorang tokoh Kebangsaan Indonesia OEY HAY DJOEN, asal etnis Tionghoa. Pasalnya, ialah, karena dalam sejarah kita sejak abad ke-18 berkali-kali terjadi aksi-aksi, gerakan ataupun kampanye anti-etnis Tionghoa di Indonesia. Sering dalangnya atau sumbernya adalah penguasa. Menunjukkan bahwa mengenai asal etnis Tionghoa di Indonesia, masalahnya tidak sesederhana soal orang-orang asal etnis asing lainnya. Satu dan lain hal disebabkan oleh jumlah penduduk Indonesia yang asal etnis Tionghoa jauh lebih beasr dari yang asal etnis lainnya. Juga kedudukan asal etnis-Tionghoa dalam masyarakat, di lapangan kegiatan ekonomi negeri sedemikian rupa, sehingga menimbulkan macam-macam soal. Sehingga amat mudah dilakukan penghasutan rasialis yang bermuara pada kekerasan dan pembunuhan.
* * *
Penamaan atau titel sebagai ‘TOKOH KEBANGSAAN’, untuk OEY HAY DJOEN, bukanlah penemuan atau karanganku sendiri. Penamaan tsb diberikan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), suatu parpol yang dibangun pada awal periode gerakan Reformasi. PKB didirikan dan dibimbing oleh Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Republik Indonesia. Wahid juga dikenal sebagai salah seorang pimpinan penting NU. Selain itu Gus Dur diakui sebagai salah seorang kiayi Islam Indonesia dewasa ini. Wahid dihargai dan dihormati karena pandangannya yang konsisten demokratis, pluralis dan sekular.
Penamaan sebagai ‘Tokoh Kebangsaan’ untuk Oey Hay Djoen, dinyatakan, ketika PKB memberikan ‘GUSDUR AWARD’ (Juli 2007) kepada Oey Hay Djoen sebagai pengakuan dan penghargaan atas peranan positif Oey Hay Djoen dalam kehidupan dan kegiatan sebagai orang Indonesia.
Siapapun , atau lembaga manapun yang menamakan Oey Hay Djoen sebagai TOKOH KEBANGSAAN, nama itu sepenuhnya tepat. PAS pada tokoh OEY HAY DJOEN. Dengan itu dinyatakan (diingatkan) kepada seluruh bangsa, bahwa sebagai seorang ‘keturunan’ Tionghoa, jelas, — Oey Hay Djoen — , memang sejak masa mudanya adalah pejuang konsisten demi kemerdekaan Indonesia, demi keadilan dan kemakmuran bagi bangsa. Sebagaimana halnya banyak tokoh-tokoh keturunan Tionghoa lainnya, antara lain, Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan, Tan Ling Djie, Tan Po Goan, Oey Tjoe Tat, Tjoa Sek In, Yap Thian Hien, dan banyak lainnya , mereka-mereka itu: —– Adalah bagian dari potensi politik nasion Indonesia, bagian dari kekuatan REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA. Yang telah mengabdikan bagian terpenting dari kehidupan mereka pada negeri dan nasion Indonesia.
* * *
Sering terjadi bahwa kita mengira telah mengenal baik seseorang sahabat karib, yang memang sudah lama dikenal. Tetapi, ternyata pengenalan kita mengenai sahabat lama itu, jauh dari cukup. Ternyata yang baru dikenal itu hanya ‘puncaknya dari gunung 閟’ , seperti kata pepatah. Itulah yang terjadi dengan aku.
OEI HAY DJOEN, yang memang sudah lama kukenal, baru kemudian bertambah pengenalanku. Adalah sesudah lengsernya Suharto, makin kukenal siapa OEY HAI DJOEN, siapa dia sebenarnya. Tahun 1960-an, ketika itu, aku sesungguhnya baru mengenalnya sebagai sebagai salah seorang tokoh pimpinan Lekra, Lembaga Kebudayaan Rakyat. Orangnya sangat energetik. Luar biasa hangat terhadap kawan, serta punya rasa solidaritas yang tinggi. Selalu gembira dan antusias. Lebih-lebih lagi ia optimis terhadap haridepan bangsa dan tanah air.
Kemudian terjadilah ‘G30S’, 1 Oktober 1965′. Hari itu dimulai kudeta merangkak Jendral Suharto. Presiden Republik Indonesia Sukarno digulingkan. Peneliti (Researcher) John Rosa, dalam bukunya yang terbit tahun lalu, menamakan ‘G30S, ‘A pretext for a mass murder’. Dalam peristiwa 1 Oktober itu, enam orang jendral dan seorang perwira muda TNI dibunuh. ‘Gerakan 30 September’, menurut pernyataan para pencetus dan pelakunya sendiri, melakukan gerakan militer mereka dengan tujuan, untuk menggagalkan rencana Dewan Jendral yang berrencana mengkup Presiden Sukarno. Tujuan mereka adalah untuk menyelamatkan Presiden Sukarno.
Dalam serentetan aksi-aksi kekeran yang didalangi oleh fihak militer di bawah Jendral Suharto, dengan dukungan lapisan sipil, dilakukan penangkapan besar-besaran, pembunuhan besar-besaran dan pemenjaraandan pembuangan besar-besaran. Itu semua demi menghancurkan dan memusnahkan samasekali PKI, kekuatan Kiri lainnya, dan semua yang dianggap pendukung atau simpatisan PKI dan pendukung-pendukung Presiden Sukarno.
* * *
Oey Hay Djoen, yang ketika itu adalah anggota DPR (sebelumnya anggota Konstituante RI), juga ‘diamankan’ dan dikirim ke pulau pembuangan P. Buru. Empatbelas tahun Oey Hay Djoen dipenjarakan oleh Orba bersama ribuan warganegara Indnesia tak bersalah dan setia kepada Republik Indonesia. Apa salah mereka? Sebagian besar dari mereka tidak mengetahui apa salah mereka, bahkan tidak tahu apa tuduhan yang difitnahkan pada mereka.
Oey Hay Djoen, sebagaimana ribuan warganegara tak bersalah lainnya, dibuang ke P Buru pada tahun 1969, tanpa proses pengadilan yang bagaimanapun. Sesudah 10 tahun meringkuk dan merana di pulau pengasingan itu, ia ‘dibebaskan’ dalam bulan Desember 1979. Rezim Orba melepaskannya dengan dengan pernyataan: Tidak terdapat cukup bukti akan keterlibatan dengan G30-S (1979-1998). Lepas dari pulau Buru, Oey Hay Djoen hakikatnya masih tetap tidak bebas. Karena, sebagai ET , Eks Tapol, duapuluh tahun lamanya, sampai 1998, ia harus melapor sekali seminggu , kemudian sekali sebulan — pada instansi KODIM sebagai tahanan kota.
Mengapa Oey kemudian tidak perlu lagi lapor sejak tahun 1998?
Sebabnya jelas! Adalah Gerakan Reformasi yang menggelora dan menggulingkan Jendral Suharto, itulah yang menyebabkan, Oey Hay Djoen dan banyak ET lainnya tidak perlu melapor lagi kepada aparat. Sebenarya perlakuan Orba selama lebih dari tigapuluh tahun, merupakan pelanggaran HAM yang amat biadab, merupakan ‘CRIME AGAINST HUMANITY’. Kejahatan terhadap kemanusiaan. Menahan dan membuang warganegara sendiri yang tidak bersalah, tanpa proses pengadilan apapun. Membunuh dan ‘menghilangkan’ banyak orang tak bersalah.
Namun, ‘warisan Orba tsb’, yang merupakan kejahatan yang bukan main kejamnya dan luar biasa luas skalanya, tokh masih belum diurus dan ditangani pemerintah. Para korban masih belum DIREHABILITASI nama baik serta hak-hak politik dan hak-hak kewarganegaraannya. Meskipun pemerintah-pemerintah silih berganti sejak jatuhnya Suharto sering bicara soal Reformasi, Demokrasi dan Rekonsiliasi.
Nasib Oey Hay Djoen ini, ‘masih untung’, kata sementara orang di kampung. Karena Oey tidak ‘dihabisi’, tidak dibunuh. Pada masa berkecamuknya teror Jendral Suharto terhadap warganegaranya sendiri, banyak orang-orang Kiri dan PKI yang pada tengah malam buta, diangkut dari rumah masing-masing dengan truk-truk militer. Dan . . . . mereka tidak kembali lagi untuk selama-lamanya. Sampai dewasa ini, ribuan istri, ibu, bapak, adik dan abang tidak mengetahui dimana orang-orang yang mereka cintai itu dikubur.
* * *
Tidak sedikit para ET – Eks Tapol — yang tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan, sesudah mereka dilepas dari penjara. Karena kampanye Orba terhadap mereka (a.l. peraturan ‘bersih lingkjungan’), yang hakekatnya adalah ‘chracter assassination’ terhadap orang-orang Kiri dan pendukung Presiden Sukarno, para Eks-Tapol dianggap manusia yang martabatnya lebih rendah dari kaum ‘kasta Paria’, kasta terrendah di kalangan pengikut Hindu. Mereka sering juga disebut ‘the untouchables’. Sesudah lepas dari penjara, para ET tidak mungkin mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan, meskipun tadinya banyak yang pegawai negeri , bahkan tidak sedikit yang tadinya pejabat tinggi kementerian, dsb. Bagi Oey Hay Djoen, kesulitan-kesulian sesudah ‘dibebaskan’ dari pulau Buru, dihadapinya sebagai tantangan dalam perjuangan demi cita-cita mulya untuk keadilan dan pembebasan dalam arti kata sebenarnya dari rakyat Indonesia.
Setelah ia `bebas dari pulau Buru’, dengan tekad mantap dan semangat tinggi, Oey melakukan kegiatan dalam rangka membantu generasi muda Indonesia untuk memperoleh literatur berguna. Oey mulai secara khusus menerjemahkan buku-buku pengetahuan dan teori ilmu sosial, politik dan ekonomi. Umumnya literatur progresif dan sosialis.
Memahami arti penting literatur progresif, Sosialis dan Marxis yang oleh rezim Orba dilarang dan dimusnahkan, Oey Hay Djoen memncurahkan segenap tenaga dan fikirannya untuk mengisi kekosongan akan literatur Sosialis. Tidak kurang dari 29 karya-karya hasil pemikiran para peneliti ilmu sosial dan ekonomi, teoretikus-teoretiks sosialis dan Marxis yang telah diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen. Antaranya, misalnya buku klasik Karl Marx dan Frederich Engels, Das Kapital Jilid, 1,2 dan 3. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam literatur sosialis berbahasa Indonesia di sepanjang sejarah kita. Juga karya Prof. Dr W. F. Wertheim, ‘Gelombang Pasang Emansipasi’. Kemudian karya progresif mutakhir karangan Dan Lev dan Ruth McVey, ‘MAKING INDONESIA’, juga sudah diterjenmahkan oleh Oey Hay Djoen. Dan banyak lainnya lagi.
Apa yang dilakukan oleh Oey Hay Djoen, sesuatu yang memerlukan ketekunan, ketelitian dan dedikasi yang tinggi serta konstan terhadap cita-cita untuk ikut menyadikan pemikiran penulis-penulis dan pejuang sosialisme, dimaksudkan agar pemikiran-pemiliran dunia progresif menjadi pengetahuan generasi baru, angkatan muda sebagaimana dikatakan oleh Oey. Untuk itu Oey Hay Djoen dibantu oleh sejumlah kawan-kawannya, Editor Jusuf Isak, serta dari golongan muda seperti cendekiawan Hilmar Farid, dll.
Dalam kegiatannya, khususnya untuk menerbitkan, Oey Hay Djoen, bekerjasama dengandan mendapat bantuan sejumlah penerbit seperti penerbit buku bermutu HASTA MITRA.
Kutulis artikel ini untuk menggaris-bawahi, bahwa penganugerahan ‘GUS DUR AWARD’ kepada Tokoh Kebangsaan OEY HAY DJOEN, SEPENUHNYA TEPAT!
Kolom IBRAHIM ISA
17 Agustus 2007
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/26947
——————
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua