Budaya-Tionghoa.Net | Alam manusia berkarakteristik dualisme. Kaya-miskin, senang-susah, dalam-luar, saya-anda Ini adalah pikiran manusia dan bisa mengakibatkan konflik . Kalau kita bisa membuang perbedaan antar saya dan anda maka kerja sama dan integrasi dapat direalisasikan dengan baik. Datanglah pengertian tentang hidup berbangsa dan hidup damai antar suku-suku etnis.
Indonesia pada masa ini, sesudah lengsernya resim Orde Baru sedang memasuki tahapan pertama demokratisasi. Untuk perkembangan kenegaraan yang demokratis dibutuhkan adanya institusi, lembaga, ormas dari berbagai disiplin baik dalam bidang politik, social, kulturil, economis, pengusaha, buruh maupun konsumen etc. yang dipimpin baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Disini yang saya akan bicarakan terutama ialah organisasi massa dan khususnya organisasi massa dari WNI keturunan Tionghoa, selanjutnya disingkat dengan Tionghoa. Saya rasa organisasi ini sangat penting untuk menjuruskan kehidupan dalam masyarakat, agar setiap individu bisa menikmati hidup yang adil dan berpikiran objektif, dan setiap warga negara mengetahui hak dan kewajiban untuk bangsa dan negara Indonesia.
|
Dalam artikel ini dimana perlu saya tulis pengalaman saya menjabat ketua beberapa organisasi, anggota redaksi majalah kedokteran, direktur rumah sakit, dan kemudian kepala bagian kedokteran nuklir etc. Kita ambil contoh negara-negara Eropa Barat dan USA, negara negara yang sebelum Perang Dunia II, terkenal didunia dengan diskriminasi rasial, khususnya di Eropa , Jerman dan di Amerika Utara USA. Karena kesadaran manusia dan dengan adanya berbagai macam organisasi masyarakat yang terus menerus menuntut dihilangkannya sistim yang tidak demokratis itu, makin hari makin kuat, sehingga pemerintah mau tidak mau merubah hukum-hukumnya yang rasialis dan negara negara Barat tersebut pada akhir abad keduapuluh menjadi negara yang anti diskriminasi dan berbagi suku-suku dapat tinggal cukup baik, saling respek, toleran dan damai.
Karena berbagai suku bisa bekerja sama, merupakan satu kondisi yang kondisif maka negara-negara Barat menjadi negara yang maju dalam bidang ekonomi, teknologi dan sains. Organisasi masyarakat yang beranggaran dasar demokratis, kesatuan bangsa, integrasi kedalam tubuh masyarakat Indonesia sangat penting karena mereka dapat menghindari negara Indonesia dalam situasi yang merugikan masyarakat, merugikan kesatuan dan ini tentu tidak kami harapkan.
Apa yang kita lihat selama ini di Indonesia ialah kemajuan dalam bidang politik tetapi untuk sementara “kemunduran” dalam bidang ekonomi. Kalau saya membaca koran-koran Indonesia dapat disimpulkan munculnya demokratisasi, seperti kebebasan pers, kebebasan bicara, kebebasan untuk mendirikan organisasi etc. Organisasi-organisasi Tionghoa bermunculan, dari organisasi alumni sekolah-sekolah Tionghoa yang sudah ditutup oleh Orde Baru, organisasi agama, organisasi asal tempat nenek moyang mereka di daratan Tiongkok, seperti kumpulan orang Hokkian-Min-nan, Hakka, kumpulan orang Hokjia, Kongfu, etc. etc. bahkan organisasi dari marga umpamanya marga Liem atau marga Tan etc.
Kwalitas sebuah organisasi pada umumnya dinilai atas dasar jumlah anggota, jumlah cabang-cabangnya yang sedikit banyak mencerminkan kepercayaan grass roots dan keaktifannya dalam masyarakat. Sebuah organisasi walaupun fondasinya kuat, dibuat atas dasar anggaran dasar yang baik, namun kalau fundamen dan sokonya, atau dengan lain perkataan pimpinannya kurang professional, karenanya kurang mempunyai visi dan misi, kurang integritas, tidak berani transparan dan fungsinya bertujuan untuk kepentingan pribadi, jelas organisasi yang dipimpinnya tidak bisa berkembang dengan baik. Organisasi ini dihindari oleh masyarakat.
Mendirikan organisasi harus di usahakan, dipikirkan dengan matang, jangan terburu nafsu diberdirikan sebelum ada tujuannya yang jelas. Anggaran dasarnya harus dibuat dengan cermat menurut kondisi yang kongkrit dan kepentingan persatuan masyarakat Indonesia. Hua Yi Xie Shang Hui, ormas Hua Yi asal Indonesia yang saya dirikan di Belanda dan saya ketuai kira-kira lima belas tahun lebih, anggaran dasarnya didikusikan dengan beberapa intelektuil yang berpengalaman dan seorang guru Besar ahli hukum terkenal, kira-kira selama hampir satu tahun.
Para Pemimpin organisasi harus jelas kemana mereka akan membawa masyarakat Tionghoa. Mau menjalankan integrasi dan berpolitik, atau masyarakat berbudaya, masyarakat yang berdagang atau yang menyeluruh ? Semua ini harus jelas dan dikerjakan secara flexible dan menyesuaikan dengan keadaan yang kongkrit dalam masyarakat. Menurut filsuf-filsuf Tiongkok kenamaan seperti Lao Zhi dan Zhuang Zhi masyarakat itu senantiasa berubah, tidak statis dan berkembang, yang satu maju lebih cepat dari yang lain. Ini juga berlaku bagi manusia. Orang tua umumnya agak lambat dan anak muda mengambil perubahan itu cepat. Karena perbedaan kecepatan ini bisa timbul cultural gap antara orang tua dan anak muda. Namun kerja sama antara kader muda dan tua sangat diperlukan, karena yang satu bisa mendorong yang lain untuk lebih maju dan yang lain menekan rem apabila kemajuannya kebablasan.
Orang Tionghoa umumnya di asosiasikan dengan perdagangan dan masyarakat yang berpolitik tidur, mereka hanya “berpolitik” pada masa pemilihan umum, sesudah pemilihan umum mereka kembali tidur nyenyak dalam politik dan aktif dalam bidang keistimewaannya yaitu perdagangan atau pekerjaan intelektual di rumah sakit atau universitas yang mereka dirikan. Atas dasar pengalaman keistimewaannya dalam perdagangan yang telah dialami selama kira-kira tiga puluh tahun wajar apabila dalam jaman reformasi ini mereka menggangap berdagang masih relevan dan sebaliknya berpolitik, keaktifan dalam masyarakat atau strategi lainnya oleh mereka dianggap tidak mempunyai dasar, bahkan bahaya. Fenomena ini mungkin disebabkan karena mereka diisolir dalam segalah bidang kebudayaan dan politik. Mereka pada jaman Orba hanya diperbolehkan untuk berdagang. Jelas bagi kita bahwa soal-soal yang lain diluar perdagangan tentu memerlukan pemikiran yang lebih bijaksana dan membutuhkan waktu, suatu proces yang memakan waktu yang lama. Untuk mendorong dan mengembangkan proces politikasi dari masyarakat Tionghoa, saya rasa dibutuhkan dorongan – dorongan terutama dari organisasi – organisasi Tionghoa sendiri.
Orang-orang Tionghoa pandai berdagang bahkan mempunyai kemampuan untuk memimpin perusahaan yang besar, kalau mereka bisa memimpin perusahaan yang besar ini berarti pula bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk memimpin organisisasi massa yang besar pula. Orang Tionghoa biasa bekerja keras, karena mereka semasa kecilnya harus belajar menghafalkan sedikitnya seribu kata kata (karakter) Tionghoa yang tidak bisa dispel, menghafalkan artinya dan ditambah pula berbagai kombinasi dari kata-kata itu yang berlainan artinya. Ini membutuhkan disiplin dan kerja keras untuk bisa menguasai bahasa Tionghoa yang sangat sukar itu. Dengan demikian mereka secara kondisionil biasa untuk bekerja keras, seperti seorang violis bermain viool atau seorang pianis bermain piano dengan tanpa memikir lagi mereka memainkan lagu-lagu klasik yang rumit. Tidak mengherankan bahwa murid Tionghoa di sekolah-sekolah Eropa dan USA mendapatkan angka yang lebih baik dari pada kawan-kawan sekolahnya, murid-murid Eropa dan Amerika Serikat. Orang-orang Tionghoa dipuja karena mereka bisa bekerja keras dan flexibel dalam menghadapi fluktuasi ekonomi di dalam dan di luar negeri.
Kekuatan ekonomi orang-orang Tionghoa terutama terletak di Nan-Yang (Asia Tenggara). Pada tahun 1992 angka bruto produk nasional RRT kira-kira sebesar 300 miliar USD (Rakyat RRT kira-kira satu milyard) dan bruto produk nasional Hua-Yi diseluruh dunia dikirakan 200 miliar USD (jumlah orang-orang Hua Yi di luar RRT diperkirakan 50 juta orang). Disini dapat disimpulkan bahwa kekuatan ekonomi Hua Yi hampir sama dengan kekuatan RRT (dalam arti jumlah uang). Ini berarti bahwa Hua Yi dapat memimpin organisasi yang besar. Perlu diterangkan disini bahwa bruto produk domistik Tiongkok sekarang ini kira-kira seribu dollar seorang (tahun 2004).
Orang Tionghoa baik yang totok maupun yang peranakan menunjukkan gejala apatis dalam hal politik, ini karena politik pengasingan orang Tionghoa selama tiga puluh tahun. Kebanyakan dari Hua Yi, terutama dari golongan yang tua, golongan saya, sewaktu saya menemui beberapa teman-teman sekolah, mereka umumya mengeluh dan putus asa dalam menghadapi keadaan masyarakat dewasa ini seperti banyaknya kriminalitas, tidak terjaminnya keamanan, mahalnya barang-barang untuk mempertahankan penghidupan, perbedaan yang menonjol antara kaya dan miskin etc. Dan untuk orang Tionghoa yang kurang mampu sukar bagi mereka untuk menyekolahkan anaknya ke universitas berhubung tingginya uang bangku masuk. Saya katakan kepada mereka, bahwa mereka harus melihat kedepan, memang kehidupan itu berupa sinusoid dengan kenaikan dan penurunan, ini adalah romantik dari penghidupan manusia. Saya katakan kepada mereka bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya, dan jumlah penduduknya yang besar kira-kira dua ratus juta orang; area yang luas baik daratan maupun lautnya, pula letaknya sangat strategis. Kemungkinan bagi Indonesia untuk bangkit dan menjadi negara yang makmur, besar sekali. Kita berharap agar Indonesia bisa mendapatkan pemimpin yang bijaksana yang dapat membawa Indonesia kenegara yang adil dan makmur.
Memang sekarang ini Indonesia sedang dalam kesulitan dan secara objektif harus kita akui. Kita lihat adanya berbagai problema di masyarakat Indonesia, seperti konflik etnis, konflik agama dan ras serta perbedahan yang sangat menyolok antara kaya dan miskin. Maka saya berpendapat, sekarang sudah waktunya bagi orang-orang Tionghoa khususnya kaum intelektualnya untuk aktif dan peduli pada masyarakat Indonesia menuju kemakmuran dan demokrasi. Menghadapi semua ini jangan membuat kita berputus asa, namun berusaha keras untuk bersama organisasi-organisasi rakyat Indonesia mencari solusi yang baik. Berdirikan atau memimpin organisasi yang sudah ada agar lebih modern dan mampu meningkatkan modernitasnya, menyesuaikan dengan perobahan keadaan dalam masyrakat Indonesia.
Untuk khususnya orang WNI keturunan Tionghoa saya anjurkan agar pemuda-pemudi Hua Yi bisa bergandengan tangan antara golongan totok dan peranakan, bekerja sama sebagai satu kekuatan dalam tubuh besar bangsa Indonesia. Mendirikan satu organisasi persatuan dari kedua golongan ini dengan pimpinan yang mempunyai integritas dan visioner yang dapat mengusir frustrasi dan sikap apatis dari golongan Tionghoa. Kumpulan tsb. diatas perlu mendidik kader-kader. Sehingga :
1. Perkumpulan-perkumpulan yang akan dibangun atau yang sudah ada, disesuaikan dengan keadaan dan kondisi Indonesia, serta mempunyai pemimpin-pemimpin muda yang lebih profesionil, realistis, jujur dan
transparan dan sukah belajar. Pemimpin muda ini sangat diperlukan untuk memberi menyegaran pimpinan.
2. Menganalisa problema-problema dalam masyarakat, lalu membuat program kerja yang lebih sesuai dengan keadaan sehingga dapat memenuhi tantangan jaman yang senantiasa berobah. Pemimpin harus tidak ragu apabila ternyata dalam program ada kelemahan, harus dirobah secepatnya dan disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Saya menganjurkan agar kedua golongan Totok dan Peranakan kembali mengadakan pertemuan-pertemuan, lobi untuk membahas hal-hal yang berkesamaan. Ini adalah tugas yang penting dari pemuda pemudi Tionghoa pada jaman sekarang. Orang-orang Peranakan mempunyai profesi intelectual dan pengalaman yang cukup panjang dalam pendidikan dan orang-orang Totok mempunyai kedudukan ekonomi yang kuat dan pula pengalaman yang panjang, apabila kedua kekuatan ini dapat disatukan, dan dibimbing dengan kesadaran yang tinggi, maka persatuan ini merupahkan satu kekuatan yang menguntungkan bagi perkembangan bangsa Indonesia menuju ke demokrasi dan kemakmuran.
Orang-orang Peranakan intelektual mendirikan sekolah-sekolah dasar, menengah, sekolah kejuruan dan universitas untuk menerima anak-anak Totok yang tidak bisa sekolah sewaktu sekolah-sekolah Tionghoa ditutup pada masa Orba. Oleh karena itu anak-anak Totok bisa meneruskan sekolah dan masuk universitas, bahkan universitas luar negeri di Eropa, USA dan Australia etc.. Meskipun sekolah-sekolah tersebut masih dipimpin oleh golongan Peranakan intelektual, namun anak-anak Totok sudah mulai berdatangan di universitas-universitas partikulir yang didirikan oleh golongan Peranakan intelektual. Berhubung anak-anak Totok generasi muda, sekarang ini tidak bisa lagi bicara bahasa Mandarin dan kebudayaan Tionghoanya juga sudah menipis, maka dapat saya simpulkan bahwa terjadi proses peranakan-isasi dari anak-anak totok ini. Proses ini juga dapat ditinjau seperti dibawah ini: Orang-orang Totok biasanya berdagang dan tidak sedikit diantara mereka yang menjadi konglomerat. Ini disebabkan karena mereka dahulu :
1. Tidak bisa meneruskan ke Universitas di Indonesia berhubung diploma sekolahan Tionghoa tidak diakui oleh pemerintah Indonesia, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan profesi tertentu
2. Kalau mereka toch mau meneruskan ke universitas mereka harus Wei-guo, pulang ke RRT.
3. Bagi mereka tidak ada jalan lain dari pada menggunakan talenta mereka untuk meneruskan profesi dagang. Karena kerajinan mereka bekerja dan network yang luas antar pedagang-pedagang Tionghoa baik dalam dan luar negeri, serta mengirit dalam penghidupan maka mereka bisa sukses dalam perdagangan.
Bagi intelektual-intelektual Tionghoa generasi muda yang berpendidikan luar negeri, mereka tidak mau lagi bekerja di desa-desa untuk memgambil alih perusahaan orang tuanya. Untuk memulai berdagang di kota-kota besar mereka tidak berani mengambil risiko, karena mereka beranggapan sudah jenuh dan konkurensi sangat mematikan. Mereka takut akan mengalami kegagalan. Kalau mereka toch berprofesi bebas mereka mau berusaha menjual jasa keintelektualannya sebagai consultant atau head hunters yang tidak membutuhkan banyak kapital dan risikonya jauh lebih kecil dibanding dengan berdagang atau membuka pabrik. Bagi mereka jalan yang paling mudah ditempuh ialah bekerja di perusahaan-perusahaan dalam negeri yang besar atau internasional dengan gaji yang cukup tinggi, dan sesudah di rumah mereka tidak banyak pusing lagi memikirkan dagangannya. Fikiran-fikiran demikian ini sesuai dengan fikiran golongan Peranakan pada jaman kolonial Belanda, sesudah mereka lulus dari sekolah Belanda mereka bekerja sebagai guru, ahli teknik menengah, perawat, dokter, insinyur, ekonom, apotheker etc. Pemikiran ini adalah proses peranakan-isasi dari kaum intelektual muda Totok jaman ini.
Menurut pengalaman saya baik di Indonesia maupun di Belanda, di Amerika Utara kelemahan orang Hua Yi dalam penghidupan organisasi ialah suka makan-makan, berkumpul sambil bersenang-senang dan bicara tentang dagang dalam rapat-rapat itu. Kebanyakan berapat-rapat atau seminar-seminar diadakan di restaurant agar menarik pengunjung yang banyak.
Marilah kita menanalisa dua buah pertanyaan penting dalam pembicaraan saya dengan para pimpinan organisasi Tionghoa.
Kenapa diperlukan pimpinan muda ? Karena pemuda adalah generasi yang berani maju, bebas dari paradigma peranakan dan totok, selanjutnya pemuda memiliki sikap mental yang positif dan jujur dan belum terpengaruh oleh segi-segi negatif dari masyarakat dan terutama belum tercemar segi negatif dari masa yang lalu.
Sekarang siapa yang harus membongkar atau membangunkan masyarakat Tionghoa yang sedang tidur dalam politik ? Dari pembicaraan kami di Surabaya, Jakarta, Solo dan Jogja saya simpulkan bahwa berbagai cara tidak selalu mampu mengubah perilaku masyrakat Tionghoa ini. Maka saya simpulkan bahwa masyarakat Tionghoa sendirilah yang seharusnya mampu membongkar / membangunkan dirinya yang sedang tidur dalam kehidupan masyarakat. Namun diperlukan akan tugas perkumpulan Tionghoa tidak hentinya memberikan kesempatan, peluang dan dorongan agar masyarakat Tionghoa sendirilah yang akhirnya rela membongkar membangunkan dirinya sendiri, sehingga menjadi masyarakat yang bersocial-politik-budaya dan peduli pada masyarakat Indonesia.
Pemimpin-pemimpin organisasi Tionghoa sendiri perlu menganalisa kemampuan dan permasalahan yang ada dalam masyarakat. Melakukan penelitian ilmiah dan menulis dalam berbagai mass media atau majalahnya sendiri hasil yang mereka telah diskusikan bersama. Lalu dengan penuh kepercayaan pada dirinya dan bersama dengan berbagai ormas dan lembaga dan masyarakat yang mempunyai haluan dan pendirian yang sama mengerjakan penelitiannya dalam praktik agar mendapatkan dukungan dari masyarakat yang luas. Filsuf Tionghoa kenamaan Confucius mengajar kepada murid-muridnya:” belajar dan berlatihlah terus dan terus seperti orang makan nasi !”
Perbaikan masyarakat Tionghoa untuk aktif dalam bidang sosial, budaya dan politik perlu dorongan dan kebijaksanaan pemimpin-pemimpin Tionghoa yang serius, karena ini merupakan proses yang lama. Tindakan yang perlu dikerjakan ialah :
1. Pendidikan kader seperti yang saya sudah kemukakan, lalu dengan kader-kader muda kita harus menganalisa dan mengenal masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia umumnya dengan baik. Dengan demikian kita mengenal apa yang harus kita kerjakan dan tahu batas-batasnya tidak sampai kebablasan.
2. Pemimpin tua yang sudah berpengalaman dan kader muda perlu mengembangkan kecakapannya masing-masing dan bisa bagaimana memahami realitas dalam masyarakat Indonesia dan kemampuan dapat memisahkan didalam masyarakat mana kontradiksi pokok dan mana kontradiksi sampingan. Ini sangat penting karena dengan menyelesaikan kontradiksi yang pokok, kontradiksi sampingan bisa
dengan mudah diselesaikan. Disamping itu kader-kader muda perlu mendapatkan didikan agar bisa membedahkan mana yang benar dan mana yang tidak benar untuk mendapatkan kebenaran (waarheid, truth) dan mendirikan “pemikiran yang sehat dan realistis.”
3. Semua golongan-golongan multicultural (peranakan, totok, berbagai etnis Tionghoa, profesi) dan penganut agama hindarilah konflik, dan lebih mengedepankan dialog untuk mendapatkan pengertian, respek dan toleransi, tiga factor yang sangat penting demi keharmonian kehidupan social antar etnis. Apabila toch terjadi konflik, usahakan dengan flexibilitas untuk memberi dan menerima sehingga dapat memulihkan suasana yang sehat.
4. Konflik biasanya disebabkan karena sifat main menang sendiri, pandangan yang sempit atau sifat eksklusif dan pemikiran yang salah tetapi tetap dipertahankan dengan kuat (Koppig kata orang Belanda) atau tidak transparan, dengan demikian terjadi miskommunikasi. Karena itu perlu komunikasi dan dialog yang terbuka. Pada dialog yang saya maksud itu perlu mengedepankan kejujuran, ketulusan dan demi kepentingan umum. Keterbukaan ini merupakan media untuk mendapatkan saling pengertian, saling respek dan toleransi satu sama lain.
Faktor-faktor diatas merupakan jalan terbuka lebar bagi toleransi sosial, dan saling respek yang penting bagi hubungan social dari masyarakat yang multiculturil dan locomotif integrasi orang Tionghoa ke dalam tubuh masyarakat Indonesia dapat berjalan dengan lancar tanpa menjumpai halangan.
Perlu disini saya jelaskan bahwa didalam tubuh masyarakat Tionghoa itu sangat kompleks: ada Peranakan dan ada Totok. Selain itu masih ada perbedaan yang lain seperti asal daerah nenek moyang mereka didaratan Tiongkok: Hokjiu, Hokjia, Minnan, Hakka, Kongfu etc . Disamping itu masih ada kelainan latar belakang, profesi dan lain-lainnya. Dengan demikian penanganan untuk bekerja sama, harus flexible, pragmatis dan bisa menghormati norma-norma yang ada. Orang yang memimpin harus bijaksana, flexible, hati terbuka lebar, harus mempunyai kewibawaan, tetapi jangan sampai kebablasan hingga menjadi otoriter yang merusak kehidupan organisasi dan persatuan orang-orang etnis Tionghoa.
Perlu saya terangkan disini sebagai penutup tulisan saya ini bahwa didalam tubuh masyarakat Tionghoa baik di kota-kota besar maupun menengah terdapat kontradiksi antara berbagai macam organisasi, baik dalam hal kompetisi siapa yang lebih kuasa, kumpulan mana yang financiil lebih kuat dan memaksakan agar keputusan merekalah yang berlaku dan harus didengar. Kontradiksi yang sebanarnya kontradiksi antar teman bahkan kalau tidak diurus dengan benar bisa meningkat menjadi kontradiksi antar musuh. Saya menganjurkan agar organisasi-organisasi etnis Tionghoa yang sekarang ini betumbuhan seperti jamur dimusim semi, diharapkan agar bisa bersatu, mau duduk bersama-sama dan saling terbuka untuk mengakhiri perbedahan-perbedahan yang hanya menghambat hubungan diantara berbagai masyarakat Tionghoa di Indonesia. Disini dibicarakan bebagai persoalan-persoalan yang kita hadapi bersama :
1. Dilakukan lobi-lobi untuk mendengar dan mencari pemasukan, lalu pemimpin-pemimpin berani membuka diri untuk saling mendengar untuk menuju ke saling mengertian, saling respek dan berkomunikasi yang continu sambil menghindari miskomunikasi.
2. Selesaikan persepsi yang keliru antara berbagai perkumpulan lakukan musyawarah atau dialog untuk mencari kesepakatan. Atas dasar kesepakatan itu kita kerjakan dialog termasuk yang sangat sensitif, terbuka tetapi jujur tanpa adanya tujuan-tujuan tertentu. Dialog itu bisa melibatkan semua elemen persoalan yang ada dalam masyarakat Tionghoa untuk satu tujuan yang sama yaitu integrasi kedalam tubuh masyarakat Indonesia demi kemakmuran negara, saling respek dan hidup damai.
Dr. Han Hwie-Song M.D. Ph.D
Breda, 28 Maret 2004, Nederland
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/27182
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua