Budaya-Tionghoa.Net | Pemilihan judul realitas[1]dasar[2] atau ultimate reality ini merupakan hasil diskusi penulis dengan Drs. Fabianus Heatubun,SLL Fabianus selaku dosen pembimbing, dimana penulis sempat kesulitan memilih judul paper. Pada awalnya penulis memberi judul “Materialisme Tiongkok Purba”, karena yang hendak dijadikan penulisan adalah konsep yin yang[3] 陰陽 dan lima unsur 五行[4]tapi pada kenyataannya konsep ini begitu melekat dalam banyak aspek budaya maupun filsafat dan bidang kehidupan masyarakat Tionghoa lainnya hingga hari ini, mulai dari tradisi, ritual, pengobatan hingga hal-hal yang bersifat klenik. Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok yang berpahamkan komunisme juga tidak bisa menghapus Realitas Dasar ini, walau dengan segala daya upayanya, bahkan sekarang ini menjadi marak kembali.
|
Berdasarkan pertimbangan diatas, judul “Materialisme Tiongkok Purba” diganti dengan “Realitas Dasar Dalam Filsafat Tiongkok”.
1.1 Latar Belakang
Seringkali dalam membahas sejarah filsafat Tiongkok, terluput dari para penulis adalah konsep materialisme alam Tiongkok pra Confucius. Pada umumnya yang dibahas adalah kaisar mitos Fu Xi dan Zhou Wen Wang yang terkait dengan Yi Jing dengan konsep yin yang dan berkembang menjadi hexagram ba gua 八卦. Penggunaan istilah lima unsur sudah ada sebelum periode Seratus aliran filsuf baijia zhengming 百家爭鳴.[5]
Dalam paper ini, penulis memasukkan beberapa nama yang jarang disebut dalam studi filsafat Tiongkok di barat tapi merupakan nama-nama yang selalu disebut-sebut dalam komentar para filsuf periode Seratus aliran filsuf dan juga dalam buku-buku filsafat Tiongkok dalam bahasa mandarin yang terbit pada abad 20 dan 21.
Untuk memahami mengapa Realitas Dasar menjadi pusat dalam banyak aspek kehidupan masyarakat Tiongkok perlu memahami konsep cosmogeny orang Tionghoa pada masa lampau, disitu akan terlihat tidak lengkap cosmogeny dalam mitos-mitos Tiongkok. Hal ini tidak dapat dilihat seperti itu saja, tapi perlu dikaji secara mendalam bagaimana bangsa Tiongkok melihat alam dan menuangkannya dalam mitos mereka sehingga berpengaruh pada pandangan masyarakat Tiongkok kemudian. Karena itu dalam bab 1 dijelaskan mengenai mitos Tiongkok dan perbandingannya dengan mitos Yunani sebagai salah satu contoh. Dalam bab 2 akan membicarakan perjalanan filsafat tentang alam dari sudut pandang Tiongkok dan juga perkembangannya yang tentunya akan berkaitan dan mempengaruhi pandangan para filsuf setelahnya yang terasa hingga saat ini yang akan diuraikan dalam bab empat.
Dalam membahas masalah filsafat Tiongkok, tentunya juga harus membicarakan masalah bahasa. Bahasa mandarin walau dikatakan dipersatukan dan tidak mengalami perubahan selama 2000 tahun, tetap hingga kini merupakan kendala dalam membaca teks-teks klasik. Di dunia ini awalnya adalah bahasa gambar yang kemudian berkembang menjadi 2 jenis bahasa yaitu bahasa berdasarkan bunyi dan tulisan. Bahasa Inggris adalah salah satu contoh bahasa yang berdasarkan bunyi. Sedangkan Tiongkok tidak pernah mengganti bahasanya menjadi bahasa bunyi karena alasan persatuan. Kita bisa lihat bahwa bahasa bunyi bisa berubah-rubah ditempat lain. Tapi bahasa tulisan Tiongkok tidak berubah selama 2000 tahun lebih. Kata Dao 道 dengan nada bunyi ke 4 bisa berbeda-beda cara membacanya tapi tulisannya tetap dan uniknya memiliki arti-arti yang berbeda. Itulah ciri bahasa mandarin yang berbeda dengan bahasa lain di dunia yang mayoritas menggunakan bahasa bunyi. Bahasa mandarin sekarang ini terdiri dari 3 bagian besar yaitu piktograf 形象字, ideograf 會意字, sonograf 形聲字.
Feng Youlan 馮友蘭mengatakan bahwa masalah bahasa adalah rintangan terbesar dalam mempelajari filsafat Tionghoa. Kendala terbesar dalam bahasa mandarin adalah satu kata bisa mengandung beberapa makna, apalagi mengkaji kitab klasik. Apalagi ketika diterjemahkan kedalam bahasa lain, tentunya bermasalah. Sebagai contoh adalah kata wu wei 無為 atau yang sering diterjemahkan sebagai non action, hal ini membuat suatu kerancuan luar biasa bagi mereka yang mempelajari Taoism terutama ketika membaca tentang wu wei atau non action. Chen Yaoting 陳耀庭[6] dalam seminarnya yang diselenggarakan di Singapore pernah mengatakan bahwa wuwei tidak selalu berarti non action, wu wei 無為bisa berarti non intention, non selfish, natural.
Karena faktor bahasa itu, penulis akan mencoba berhati-hati dan seteliti mungkin menterjemahkan dan menghindari kesalahan penterjemahan.
1.2 Tujuan Penulisan
Menemukan correlative thinking masyarakat Tionghoa jaman sekarang dengan realitas dasar yang menjadi dasar perkembangan filsafat Tiongkok. Dengan mempelajari reliatas dasar yang menjadi sumber kebijakan Tiongkok terutama dalam memandang alam sekitarnya semoga bisa menambah wawasan kita dalam memandang alam sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia.
1.3 Metode Pembahasan
Dalam penulisan paper ini, penulis mengutamakan studi kepustakaan dan hermeunetika fenomologis dalam menafsirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan realitas dasar tersebut.
1.4 Rumusan Masalah
Untuk mempertajam kajian dengan tema di atas, penulis menjabarkan dalam beberapa sub tema. Pertama, mitologi Tiongkok purba yang mempengaruhi pandangan para filsuf Tiongkok terhadap alam, kedua, pandangan purba terhadap apa yang disebut Di dan Materialisme Alam purba Tiongkok mengenai yin yang dan lima unsur akan mempengaruhi perkembangan filsafat Tiongkok nantinya, ketiga membahas pengaruh materialism alam terhadap budaya Tionghoa dan proses menjadi Realitas Dasar yang bersatu dan pengaruhnya hingga saat ini.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan diatur dalam bagian seperti dibawah ini :
Bab I, berisikan pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penulisan, metode pembahasan, ruang lingkup pembahasan, rumusan masalah dan sistematika penulisan
Bab II, membahas mitologi Tiongkok purba dan pengaruh mitologi Tiongkok purba pada perkembangan filsafat serta falsafah kehidupan masyarakat Tiongkok
Bab III, membahas tentang Di 帝dan konsep yin yang 阴阳, lima unsur ( wuxing, 五行 )serta para tokoh filsuf purba seperti Zhou Gong 周公, Bo Yangfu 伯阳父 dan lain-lain.
Bab IV, membahas pengaruh Materialisme Alam terhadap para filsuf Tiongkok, memaparkan proses Materialisme Alam menjadi Realitas Dasar.
Bab V, adalah kesimpulan hasil paparan yang ditulis oleh penulis.