Photo : cnn.com
Budaya-Tionghoa.Net | Saya ikut tertarik untuk membahas buku tulisan Jung Chang dan suaminya Jon Halliday yang berjudul “Mao:the Unknown Story” (Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui). Jung Chang sendiri sebelumnya pernah menulis sebuah novel buku biografi keluarga-nya yang berjudul “Wild Swans-Three Daughters of China” (Angsa-Angsa Liar). Buku “Mao:the Unknown Story” ini menambah lagi jumlah buku-buku lainnya yang membahas tentang kehidupan Mao seperti buku dari Dr. Li Zhisui (mantan Dokter pribadi Mao) :”The Private Life of Chairman Mao”, Jonathan Spence: “Mao Zedong” dan Philip Short: “Mao:A Life”.
|
Buku “Mao:the Unknown Story” ini adalah sebuah buku yang kontroversial yang membahas seorang tokoh sejarah yang kontroversial juga.. Buku tersebut diklaim diterbitkan kedalam beberapa bahasa dengan omset mencapai 10 juta eksemplar, dan pernah menjadi buku “Best Seller”. Chang dan Halliday bahkan meluncurkan bukunya sampai ke Israel dan hadir dalam peluncuran bukunya di Universitas Tel Aviv yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Hebrew.
Banyak media Barat yang memuji dan menyanjung buku Jung Chang dan Jon Halliday ini sebagai buku yang dianggap berhasil mengungkapkan karakter dan motiv Mao yang sebenarnya serta menghapus mitos dan misteri yang mengelilingi Mao selama ini. Beberapa ada yang mensejajarkan dengan bukunya Solzhenitsyn “The Gulag Archipelago” yang mengeritik sistim pemerintahan Uni Soviet ketika itu.
Buku “Mao:the Unknown Story” ini telah menimbulkan beberapa reaksi yang beragam dari pembaca dan pakar sejarah yang menimbulkan perdebatan pro dan kontra. Tidak semua media dan sejarawan Barat setuju dengan isi buku tersebut seperti halnya beberapa penulis dan sejarawan Barat yang diketahui selama ini pandangannya sangat kritis terhadap Mao.
Jonathan D. Spence, seorang Professor dari Yale University (The Search For Modern China, dll), Prof. Andrew Nathan dari Columbia University, Philip Shot (jurnalis Inggris),dan Jonathan Fenby penulis biografi Chiang Kai-Shek (“Generalissimo: Chiang Kai-Shek and the China He Lost”) dll. menilai informasi dan data-data yang digunakan oleh Chang dan Halliday ini, distorsi, spekulatif, dan beberapa tidak benar (distorted, misleading, some are untrue). Ada yang menyebutkannya buku Jung Chang itu bersifat “character assassination”.
Dalam buku Chang dan Halliday ini, Mao digambarkan sebagai seorang tyran, despot atau monster yang semua kebijaksanaannya didorong oleh motivasi ambisi pribadi yang haus kekuasaan dan bukan dari ideologi dan idealisme murni. Mao adalah seorang machiavellian dalam mengejar ambisi pribadinya.Mao juga dianggap lebih kejam dari Hitler dan Stalin yang membawa bencana kematian jutaan manusia. Selain itu Mao juga dianggap tidak berperan atau memberikan kontribusi dalam peperangan melawan Jepang
Chang dan Halliday menyangkal semua kontribusi Mao terhadap Tiongkok sebagai seorang tokoh sejarah penting di abad ke 20 yang telah mengubah nasib seperlima penduduk dunia dari sebuah negara yang lemah dan setengah terjajah selama seratus tahun menjadi sebuah negara yang independen dan dihormati kembali dipanggung dunia serta memulihkan kembali kehormatan rakyatnya yang selama ini terinjak-injak oleh bangsa dan negara asing.
Dakwaan Chang dan Halliday terhadap keburukan dan kejahatan Mao yang hyperbolik itu dikritik oleh beberapa pengamat sejarah Tiongkok dan bahkan oleh media Barat sendiri, seperti sebuah resensi kritikan terhadap bukunya yang ditulis dalam jurnal “Foreign Affairs”, Amerika Serikat yang berpengaruh dan konservatif.[1] Beberapa pakar sejarah mempertanyakan sumber data-data dan metode yang digunakan dalam buku setebal 832 halaman itu, seperti antara lain:
Angka dramatis 70 juta korban rakyat yang mati kelaparan selama kampanye “Lompatan Maju Kedepan” (Dayuejin) ditahun 1958-1960 yang dilancarkan oleh Mao Zedong ini dinilai sangat spekulatif dan berlebihan tanpa dukungan data yang akurat , angka ini dianggap lebih besar daripada korban selama perang dunia ke 2 yang berjumlah sekitar 60 juta (sipil dan militer) dan dinyatakan sebagai korban yang terbesar dalam sejarah dunia. [2]
Lalu Chang dan Halliday juga menulis bahwa peristiwa jembatan Luding (Luding Bridge) dalam periode Long March adalah sebuah cerita fiksi dan propaganda dari Mao yang dianggap sebuah kebohongan besar yang tak pernah terjadi. Informasi ini dikatakan oleh Chang didapatkan dari wawancara dengan kesaksian hidup seorang wanita tua yang pernah tinggal dekat jembatan Luding ketika itu, tetapi Chang dan Halliday enggan menunjukkan identitasnya wanita ini untuk dikonfirmasi dengan alasan untuk melindungi keamanannya, yang sebenarnya dapat diterima kalau sekiranya ada bukti lainnya yang ikut mendukung kesaksiannya itu.
Tetapi belum lama berselang seorang jurnalis Australia telah berjumpa dengan seorang wanita tua juga yang tinggal disitu yang menceritakan kesaksiannya tentang pertempuran di jembatan Luding itu dan dia telah menyaksikannya bahwa peristiwa itu benar-benar telah terjadi. Jonathan Fenby mengkomentari klaim Chang dan Halliday itu sebagai : “wrong on almost every count”[3] The Sydney Morning Herald tahun 2005 juga melaporkan hal ini , bahwa wanita yang menjadi saksi bersejarah ini bernama Li Guixiu, berumur 15 tahun ketika peristiwa itu terjadi dan disaksikan bahwa pertempuran itu berlangsung dari pagi hingga sore hari dan banyak korban yang berjatuhan dari tentara merah.[4]
Jadi kesaksian Li Guixiu ini bertentangan dengan apa yang ditulis oleh Chang dan Halliday dalam bukunya itu. Buku ini juga menyebutkan bahwa Mao berhasil menyelamatkan induk pasukannya dengan memindahkan tentaranya ke Utara (Shaanxi) dalam “Long March”, karena sengaja dibiarkan lolos oleh Chiang Kai-shek.
Alasan Chang dan Halliday itu karena kekhawatiran Chiang Kai-shek atas keamanan anaknya, Chiang Ching-kuo yang ketika itu sedang belajar di Moskow dapat dijadikan sandera oleh Soviet. Dan inipun Chang dan Halliday tidak dapat melampirkan bukti-buktinya dan seperti sebelumnya ia tidak mau menyebutkan sumbernya yang dikatakan rahasia sampai sekarang, hal ini dianggap sebagai alasan dari Chang dan Halliday yang digunakan untuk menghindari investigasi atas tulisannya.[5]
Mengenai peristiwa “teror putih” yang dilakukan oleh Chiang Kai-shek pada tahun 1927 (Shanghai White Terror), kembali Chang dan Halliday memberikan data yang didistorsi dengan mengecilkan arti dan jumlah korban dengan mengatakan hanya 300 orang komunis korbannya, padahal yang menjadi korbannya bukan komunis saja tetapi sekitar 40,000 orang kaum pekerja yang menjadi korban pembantaian itu yang dibantu oleh gangster Shanghai, sedangkan anak perempuan dan istri- istrinya dikirim ke tempat pelacuran.[6]
Pernah sebuah majalah Hongkong memberitakan bahwa sebuah penerbit Taiwan (Yuanlu Publishing) membatalkan terjemahan buku Chang dan Halliday itu kedalam bahasa Tionghoa untuk dicetaknya, dengan alasan bahwa Chang dan Halliday menyebutkan Hu Tsung-nan itu adalah agen Moskow tanpa adanya pembuktian yang kuat. Sedangkan sebenarnya Hu yang menjadi orang kepercayaan dan pembantu dekat Chiang Kai-shek yang melarikan diri bersama Chiang ke Taiwan serta meliwati sisa hidupnya disana. Rupanya Taiwan-pun meragukan kebenaran isi tulisannya.[7]
Chang dan Halliday juga mengatakan bahwa Mao adalah seorang boneka yang dikendalikan oleh Stalin serta dimusuhi oleh segenap anggauta PKT (Partai Komunis Tiongkok). Argumen Chang dan Halliday ini dianggap kontradiktif yang tidak sesuai dengan kenyataannya, karena selama ini diketahui bahwa Mao selalu bertentangan dengan kebijaksanaan Stalin. Mao mengatakan bahwa revolusi di Tiongkok harus disesuaikan dengan kondisi riil masyarakat Tiongkok yang 80 % masih terdiri atas golongan petani serta Tiongkok dalam kondisi sebagai negara setengah feodal dan setengah jajahan. Jadi kondisi Tiongkok berbeda dengan kondisi Uni ketika itu. Selain itu mengapa Stalin harus mendukung Mao kalau memang tidak populer atau didukung oleh mayoritas anggauta partai lainnya ?
Jung Chang dan Jon Halliday juga melontarkan dugaan kontroversial dalam bukunya tentang perang Korea (1950-1953). Mao Zedong dan Stalin dituduh yang memulai perang Korea. Mao disebutkan mempergunakan kesempatan itu untuk mengorbankan tentaranya sendiri, karena alasannya dikatakan bahwa dalam tentara sukarelawan yang ikut ke Korea itu banyak terdiri dari mantan pasukan Guomindang yang bergabung dengan TPR (Tentara Pembebasan Rakyat) sesudah perang saudara berakhir.Jadi Mao dituduh mengumpankan mantan pasukan Guomindang ini untuk dijadikan umpan peluru Amerika dalam perang Korea tersebut.
Para sejarawan independen mengakui bahwa Tiongkok ketika itu tidak menginginkan terjadi perang lagi sesudah berdiri di tahun 1949, karena membutuhkan lingkungan yang damai dan kondusif sebagai persyaratan pembangunan ekonomi negaranya yang hancur akibat peperangan yang panjang. Tiongkok belum siap untuk memulai perang baru lagi dan tentaranya sendiri juga tidak cukup perlengkapan dan latihannya. Pada saat itu masalah yang dianggap lebih penting adalah masalah Taiwan dan Tibet, selain itu juga program Landreform dipedesaan belum selesai. Tetapi ketika itu pasukan Amerika Serikat dibawah pimpinan MacArthur sudah atau hampir mencapai sungai Yalu di Korea Utara yang berbatasan dengan Manchuria. Pasukan Amerika ini merupakan suatu ancaman yang serius bagi industri di Manchuria dan kepentingan nasional negaranya.
Mao dan pemimpin lainnya berpendapat bahwa Tiongkok membutuhkan lingkungan yang damai dan tanpa ancaman untuk membangun negaranya kembali. Tetapi karena kekuatan Amerika di Korea sudah mengancam perbatasan Tiongkok, maka Tiongkok terpaksa mengambil resiko yang besar dengan segala konsekwensinya untuk membantu Korea melawan Amerika dan sekutu-sekutunya. Pada perang Korea itu, dan dengan pengorbanan jiwa dan material yang besar, Tiongkok berhasil memukul mundur pasukan MacArthur kembali ke lintang 38 Utara. Jadi perang Korea bukanlah keinginan Mao seperti yang dilontarkan oleh Chang dan Halliday dalam bukunya itu.
Mantan presiden Taiwan Li Zongren dalam biografinya bahkan mengakui bahwa Amerika-lah yang sebenarnya memanfaatkan perang Korea itu untuk dijadikan alasan menempatkan armada ke 7-nya ke perairan sekitar laut kuning.[8]Jung Chang dan Jon Halliday mengaku bahwa data-data yang dipergunakan dalam menulis buku itu sebagian besar bersumber dari arsip-arsip Rusia dan wawancara di Tiongkok yang dilakukan oleh Jung Chang sendiri, sedangkan data-data sumber arsip Rusia itu itupun
masih belum dapat diuji otentisitas dan akurasinya oleh pakar sejarah lainnya yang independen.
Jung Chang sendiri dari segi profesi bukanlah seorang pakar sejarah melainkan seorang pakar linguistik. Tetapi ditinjau dari segi komersil atau bisnis, buku tersebut dinilai sangat sukses dalam mendatangkan uang. Buku Jung Chang itu, dilatar belakangi oleh pengalaman masa lalunya atas kekecewaan, penderitaan dan trauma keluarganya yang menjadi sasaran selama Revolusi Kebudayaan seperti yang dikisahkan didalam bukunya “Angsa-Angsa Liar”. Jadi dari sudut psikologis, pengalaman pribadi ini telah ikut mewarnai penulisan dan objektivitas bukuya tersebut. Jung Chang sendiri mengakui pada halaman akhir bukunya “Angsa-Angsa Liar” itu bahwa Ayahnya yang menjadi korban selama Revolusi kebudayaan itu telah direhabilitasi oleh pemerintah Tiongkok ketika pada masa Hu Yaobang.
Tetapi ironisnya bahwa Jung Chang yang sekarang tinggal menetap, menikah dan menempuh pendidikan tinggi di Inggris hingga mendapat gelar PhD serta menjadi seorang wanita Tiongkok pertama yang mendapatkan gelar PhD dari sebuah universitas di Inggris (University of York) adalah berkat jasa dari pemerintah Tiongkok juga, yaitu pemerintahan yang batu fondasinya diletakkan oleh Mao.
Pemerintah Tiongkok ketika itu telah memberikan kesempatan dan beasiswa kepada Jung Chang melalui Kementrian Pendidikan di Peking untuk melanjutkan pendidikannya di Inggris setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Sichuan sebelumnya. Didalam bukunya itu Jung Chang mengaku bahwa ia adalah orang pertama dari Universitas Sichuan di Chengdu dan bahkan dari seluruh propinsi Sichuan yang pernah dikirim untuk pertama kalinya belajar ke negara Barat dan ia tidak menolaknya. [9] Selama penyusunan buku tersebut Jung Chang dapat bebas keluar masukTiongkok untuk mengadakan studi dan wawancara ke setiap orang ditujunya serta tidak pernah dilarang oleh pemerintah sebelumnya.[10] Tetapi akhirnya perasaan penderitaan dan dendam keluarganya yang diakibatkan oleh Revolusi Kebudayaan itu lebih dalam daripada usaha pemerintah untuk merehabilitasi ayahnya kembali serta jasa pemerintah Tiongkok untuk membantu Jung Chang sekolah keluar negeri.
Mungkin sesudah penerbitan bukunya itu pemerintah Tiongkok akan mengatakan bahwa Jung Chang itu “bite the hand that feeds one”. (air susu dibalas dengan air tuba).
Mao dimata masyarakat Tiongkok sekarang
Ketika berkunjung ke Universitas Wuhan (Propinsi Hubei, tepatnya di Wuchang) yang kampusnya rindang dipenuhi dengan tanaman pohon besar dan bunga Sakura serta luas seperti kampus UI di Depok, saya bertemu dan ngobrol dengan salah satu wanita intelektual muda yang baru saja lulus dari jurusan bahasa asing di Universitas tersebut. Pada puncaknya Revolusi Kebudayaan di tahun 1967, kota Wuhan ini pernah menjadi ajang pertarungan bersenjata yang berdarah antara dua fraksi yang bersebrangan yang banyak jatuh korban, sehingga Chou En-lai berusaha datang ke Wuhan ketika itu untuk menyelasaikan konflik berdarah tersebut.
Dalam kesempatan tersebut saya menanyakan persepsi generasinya tentang Mao ditengah arus modernisasi yang melanda Tiongkok sekarang dan dia mengatakan bahwa ia sendiri tidak mengalami Revolusi Kebudayaan tersebut karena belum lahir ketika itu, tetapi orang tuanya masih mengalaminya yang sekarang berprofesi sebagai Bankir di Wuhan. Menurut dia, Mao memang membawa kemunduran yang besar terhadap Tiongkok terutama pada Revolusi Kebudayaan tetapi Tiongkok modern seperti sekarang karena jasa dan kontribusinya juga. Tetapi saya mengatakan bahwa Tiongkok sekarang tidaklah sama lagi dengan visi Mao yang dicita-citakan.
Dia menjawab lagi bahwa pada hakikatnya visinya sama yaitu bahwa semua menginginkan Tiongkok yang maju, bersatu dan sejahtera, hanya cara pencapaiannya saja yang berbeda, walaupun dia mengakui terjadi kesenjangan sosial sekarang. Dan apapun sebutannya terhadap Tiongkok sekarang lanjutnya lagi, apakah orang ingin menyebutkannya sebagai sebuah negara sosialis secara nominal atau kapitalis, Tiongkok pertama-tama harus disatukan terlebih dahulu dan bebas dari dominasi asing sebagai persyaratan utama pembangunan negara, dan disinilah disebutkannya sebagai kontribusi Mao terhadap negara..
Pandangan wanita ini mungkin tidak dapat disama ratakan sebagai pandangan yang mewakili generasinya, tetapi sekurang kurangnya pandangan ini merupakan salah satu pencerminan pandangan seorang generasi muda melihat negerinya sekarang. Generasi yang berusia dibawah umur 30 tahun ini pada umumnya tidak mengalami Revolusi Kebudayaan, karena belum lahir, dan merekapun jarang yang membicarakannya serta tidak tertarik lagi.
Sekarang bukan lagi politik yang menjadi panglimanya melainkan uang yang menggantikannya seperti ucapan Deng Xioping yang populer “menjadi kaya adalah mulia” (“To Get Rich Is Glorious,”) dan slogan perjuangan kelas sudah lama digantikan dengan slogan empat modernisasi (pertanian, industri, teknologi dan ilmu pengetahuan serta militer). Pada tahun 1981, Sentral Komite PKT mengeluarkan sebuah dokumen tentang penilaiannya terhadap Mao Zedong yang pada pokoknya memaafkan kesalahannya. Disebutkan bahwa kesalahan Mao adalah 30 % sedangkan jasa Mao terhadap bangsa dan negara adalah 70 %.
Disebutkan dalam dokumen tersebut bahwa pikiran Mao harus dipisahkan dengan kepemimpinan Mao yang diartikan bahwa pikiran Mao merepresentasikan semua pengalaman revolusi Tiongkok dan milik rakyat Tiongkok, sedangkan kepemimpinan Mao selain telah memberikan kontribusi terhadap revolusi tetapi juga telah melakukan kesalahan yang cukup serius. Deng Hsiao-ping pernah mengatakan jasa Mao adalah primer sedangkan kesalahannya adalah sekunder, jasanya terhadap negara dan bangsa tak dapat dihapus begitu saja (Immanuel Hsu)
Seperti juga tokoh-tokoh besar dalam sejarah masa lalu, terutama menjelang usia tua dengan konsentrasi kekuasaan penuh maka sering berlaku sebuah diktum “power corrupts and absolute power corrupts absolutely” dan Mao sendiri rupanya tidak luput dari kekecualian ini, terutama sesudah tahun 1957.[11] Kini gambar-gambar dan patung Mao sudah tidak banyak lagi menghias bangunan-bangunan pemerintahan dalam kota seperti dahulu dan
kultus individu Mao juga sudah hilang, sebutan istilah Ketua Mao (Chairman Mao) dalam semua tulisan resmi juga sudah diganti dengan sebutan Kawan Mao (Comrade Mao). Tetapi ini bukan berarti telah terjadi proses de-Mao-isasi seperti de-Stalin-isasi yang dilakukan di Russia terhadap Stalin, sampai kinipun sesudah 30 tahun kematian Mao, masih banyak masyarakat yang mengunjungi jenazah beliau yang dibalsem di mausoleum lapangan Tienanmen untuk mengungkapkan penghormatannya.
Gambar Mao juga masih menghias lapangan Tienanmen (Deng Xiaoping, the man accredited with saving China after Mao’s death, thinks that Mao’s portrait will forever hang above Tiananmen, Myra Pong). Di lapangan yang sama Mao juga pernah mengucapkan pidatonya yang bersejarah ketika memproklamasikan berdirinya RRT pada Oktober 1949 dan ini rupanya masih tertanam dalam memori kolektif masyarakat Tiongkok yaitu : “Ours will no longer be a nation subject to insult and humiliation”…………….. “We have stood up”.[12]
Di Korea Utara, Mao juga masih dihormati, dimana puteranya Mao An-ying gugur dalam perang Korea ketika itu. Pernah dikabarkan bahwa pemimpin Korea Utara mengungkapkan secara tidak langsung bahwa Korea Utara tidak menginginkan Mao diperlakukan seperti Rusia memperlakukan Stalin yaitu destalinisasi atau dalam hal ini demaoisasi Mungkin timbul pertanyaan mengapa tidak sedikit dari rakyat Tiongkok yang masih menghormati Mao walaupun ia banyak melakukan kesalahan serius ? dan Mao sampai kinipun masih tetap dihormati seperti juga rakyat Russia menghormati Lenin atau rakyat Vietnam menghormati Ho Chi Minh sebagai bapak bangsa dan pendiri negara modern. Penjelasan yang relatif mendekati persepsi masyarakat Tiongkok terhadap Mao mungkin dapat diungkapkan dalam kutipan tulisan essai Myra Pong ini :
“In conclusion, Mao Zedong was an innovator who forever changed the way the Chinese looked at the world and the way the world looked at China. He transformed China from a weak, dependent nation into a strong, independent nation of the twentieth century, and it was in this way that he provided the Chinese people with an enormous sense of pride, which they had not experienced for more than a century. Although he made mistakes, his visions of a socialist China became a reality when he led China. Mao is a symbol of national unity, and the Chinese will never forget what he did for them”[13]
Mungkin kalau sekiranya bukunya Jung Chang dan Jon Halliday ini (“Mao:the Unknown Story”) berharap dapat mengubah persepsi masyarakat Tiongkok terhadap Mao, maka akan terbentur dengan realitas yang ada disana.
Salam
Golden Horde , 26782
CATATAN ADMIN :
Ini adalah tulisan keempat yang membahas karya Jung Chang , “Mao , The Unknown Story” . Pembaca bisa melihat tulisan terkait berikut ini :
1.http://web.budaya-tionghoa.net/pustaka/buku/1988-review-buku-qmao-the-unknown-storyq-antara-mao-jung-chang-dan-edgar-snow
2.http://web.budaya-tionghoa.net/the-history-of-china/republik-rakyat-tiongkok-people-republic-of-china/1920-was-mao-really-a-monster-1-tentang-long-march-dan-tandu
3.http://blog.budaya-tionghoa.net/tionghoa/yang-ajaib-dari-kisah-jun-zhang-tentang-mao/
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
CATATAN KAKI :
[1] http://www.foreignaffairs.org/20051101fabook84655/jung-chang-jon-halliday/mao-the-unknown-story.html
[2] Wikipedia , Second World War
[9] Angsa-Angsa Liar, hal 590
[11] The Rise of Modern China, ImmanuelHsu