Mbah Jugo masih merupakan keturunan Susuhunan Paku Buwono I (Pangeran Puger) yang memerintah Mataram antara 1705-1719. Beliau berputera Bandono Pangeran Haryo (BPH) Diponegoro (bukan Pangeran Diponegoro yang mencetuskan Perang Diponegoro 1825-1830).
|
Kanjeng Kyai Zakaria I berputera Raden Mas Soeryokoesoemo atau Raden Mas Soeryodiatmodjo. Semenjak muda, ia telah tertarik mempelajari pengetahuan keagamaan. Atas restu Susuhunan Paku Buwono II, Beliau lantas mengubah namanya, yakni nunggak semi dengan nama ayahnya. Oleh karena itu, Beliau lantas dikenal sebagai Kyai Zakaria II.
Catatan: Nunggak semi adalah tradisi Jawa yang menggunakan nama sama dengan ayah.
Kyai Zakaria II lantas mengembara ke Jawa Timur dan menyamar sebagai rakyat biasa demi menghindarkan diri dari Belanda yang pengaruhnya semakin besar di istana. Nampaknya Kyai Zakaria II juga merupakan tokoh yang anti penjajah.
Rute pengembaraan Kyai Zakaria II adalah sebagai berikut: Yogyakarta-Sleman-Nganjuk-Bojonegoro-Blitar. Namun begitu tiba di Blitar, Kyai Zakaria II kurang menyukai kawasan tersebut karena berdekatan dengan kadipaten yang dikuasai Belanda. Beliau lantas pindah lagi ke Kesamben, 60 km dari Blitar. Demikianlah, Kyai Zakaria II latas menetap di tepi Sungai Brantas, desa Sonan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Di sana Beliau berjumpa dengan Pak Tosiman yang menanyakan asal usulnya. Karena khawatir kehadirannya terbongkar dan diketahui oleh Belanda, maka Beliau menjawab, “Kulo niki sajugo” (Saya ini sendirian). Pak Tosiman salah sangka, dan mengira bahwa nama Beliau adalah Sayugo. Itulah sebabnya Kyai Zakaria II lantas dikenal dengan sebutan Mbah Jugo.
Beliau semakin lama semakin terkenal dan dihormati oleh masyarakat, baik karena pengetahuan agama, ilmu, maupun kesediaan Beliau menolong sesama. Ini adalah salah satu wujud pertolongan Beliau:
“Pada suatu ketika terjadi wabah penyakit hewan di desa Sonan pada tahun 1860. Masyarakat panik karena penguasa Belanda tidak mampu mengatasi. Akhirnya dengan keampuhan ilmu Mbah Jugo, wabah penyakit tersebut berhasil disingkirkan dan masyarakat semakin hormat pada Mbah Jugo. Namanya semakin kondang dan ia melayani berbagai konsultasi dari masyarakat. Dari soal jodoh, bertanam, beternak, bahkan sampai soal dagang yang menguntungkan, semuanya dilayani dengan memuaskan.” (halaman 19).
Pada tahun 1871, Raden Mas Iman Soedjono (siswa dan penerus Mbah Jugo) bersama rakyat membuka hutan di daerah Gunung Kawi, Malang. Beliau lalu membuka padepokan di Wonosari. Pada tahun itu pula, atau tepatnya 22 Januari 1871, Mbah Jugo wafat di Kesamben, Blitar. Sesuai wasiat Beliau, jenazah Mbah Jugo dimakamkan di Wonosari, lereng Gunung Kawi, yang ketika itu telah telah menjadi suatu perkampungan. Padepokan yang ditinggalkan Beliau di Kesamben kemudian dikelola oleh para siswa Beliau, seperti Ki Tasiman, Ki Dawud, dan lain sebagainya.
Sumber: Budaya Spiritual Dalam Situs Keramat di Gunung Kawi Jawa Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994/ 1995. Tim peneliti: Dr. Tashadi, Drs. Gatut Murniatmo, Drs. Sumantarsih. Penyunting: Dra. Wiwik Pratiwi MA.