Budaya-Tionghoa.Net | Sudah banyak perdebatan tentang istilah Tionghoa dan Cina. Saya ingin memberi sedikit masukan dan mencoba menguraikan permasalahan dalam beberapa bagian , mulai dari secara historis , sosial politis dan pandangan pribadi.
I . SECARA HISTORIS
Secara historis , pada masa perkembangan Hindu-Budha di Nusantara sampai kedatangan bangsa Barat ke Nusantara, jelas kedatangan orang- orang “Tionghoa” (istilah ini saya pakai sebagai genus, meskipun banyak kelemahannya) sudah terjadi dan dalam jumlah yang cukup besar. Apa “penamaan” yang diberikan kepada mereka?
|
Jawabannya kemungkinan sangat variatif dan bisa juga berubah-ubah setiap kurun jamannya. Sayangnya tidak banyak dokumen “sejarah” dalam babad nusantara yang tersedia. Dari yang ada pun, bisa dikatakan isinya tidak sepenuhnya otentik dan bisa diverifikasi kebenaran sejarahnya (Babad Tanah Jawi, Serat Pararaton, Negara Kertagama dan sebagainya dipenuhi oleh cerita-cerita kesaktian, mistik, mitos atau kemandragunaan dalam setiap bagiannya yang menyebabkannya sulit disebut sebagai babad sejarah sesungguhnya, khususnya untuk memilah mana yang fakta sejarah dan mana yang artifisial).
Untungnya yang diperlukan hanyalah menemukan adanya istilah tertentu yang merujuk kepada “Tionghoa” , “Tiongkok” atau “Cina” sebagaimana diperlukan sekarang. Yang mana yang dipakai saat itu (setidaknya juga jamannya)?
Dalam tulisan yang saya miliki mengenai catatan perjalanan Fa Xian, Yi Jing, Zhao Rugua lalu catatan Ma Huan (dari abad ke-4 hingga ke-15) sayangnya tidak ada penjelasan mengenai lingua franca yang mereka pergunakan atau siapa yang menyiapkan penerjemah (dan proses penerjemahan) saat dilakukannya kunjungan resmi tadi. Hal itu sebenarnya penting untuk melakukan pendekatan mengenai huruf gambar yang dipakai dan ucapan aslinya.
Di sini studi mengenai antropologi bahasa memegang peranan, meskipun tetap harus dikritisi. Secara kebalikannya, kelihatannya sampai dengan abad ke- 10 tidak ada dokumen tertulis di Nusantara yang menyebutkan mengenai nama “genus” yang merujuk kepada pengertian Tionghoa atau Cina sebagaimana diperdebatkan sekarang. Babad tertulis yang dibuat di Nusantara baru dimulai sekitar abad ke-11, khususnya di Jawa.
Tidak jelas mengapa Sriwijaya di Sumatera tidak meninggalkan dokumen yang cukup memadai mengenai hubungan antar bangsa, padahal posisinya sentral. Data sejarah sampai abad ke-11 justru diambil dari luar, khususnya sumber-sumber Tiongkok. Saya menduga istilah yang dipakai hingga saat itu adalah nama yang diperkenalkan oleh sang utusan (bisa jadi dilafalkan sebagai Ta Han, Tay Tang, Ta Yen misalnya atau nama daerah tertentu Min, Yee atau apapun itu; yang pasti belum ada hanyu pinyin untuk menjelaskan fonemiknya dalam kosa kata berhuruf Latin seperti sekarang ini, contohnya huruf shibao yang ada sekarang konon dibaca sebagai Japa pada saat itu sehingga cocok dengan pulau Javadwipa), atau nama yang umumnya diketahui sang tuan rumah (yang bisa jadi berbeda-beda sesuai daerahnya). Patut diingat bahwa nama Indonesia, Nusantara dan Republik Rakyat Tiongkok jelas belum dikenal saat itu.
Rekaman sejarah mengenai nama genus kepada orang atau negeri “Tionghoa” kemungkinan disediakan oleh negara kerajaan yang memiliki pujangga penulis. Temuan istilah dalam kitab-kitab babad berbahasa sansekerta nampaknya merujuk kepada pemakaian istilah yang dibaca sebagai “Cina” dengan sejumlah variasi (Cino, Syina dan sejenisnya, yang menjadi berbeda dikarenakan dialek lokal yang digunakan) yang kemungkinan besar merujuk kepada istilah yang sudah lebih dahulu dipakai oleh orang-orang India (sebagai dasar kebudayaan Hindu Budha di Nusantara).
Untuk memperkuat hal ini, entry dalam buku “Dictionary of Chinese Buddhist Terms” merujuk kepada kemungkinan adanya tulisan serupa dalam Hukum Manu (kemungkinan abad ke-2 SM, meskipun isinya kurang “nyambung” karena menceritakan mengenai negeri Cheena di balik gunung yang terbentuk karena adanya kalangan Ksatria yang mengalami kemunduran). Juga ada istilah rujukan kepada negeri Chin yang kemungkinan dipakai awal abad ke-1 M (yang kurang lebih adalah merujuk dinasti Qin 221 SM) yang disebutkan ada di sebuah daratan yang terbentang sangat jauh melewati padang gurun.
Kemungkinan juga istilah inilah yang akan dipergunakan pedagang di bagian Selatan India (yang juga berdagang ke arah Arab dan nusantara) untuk merujuk sebuah “genus tataran geografis dan politis” yang nantinya akan dikenal sebagai Tiongkok.
Metode penamaan genus semacam ini kelihatannya paling cocok dengan kebiasaan pemakaian genus saat itu, misalnya untuk menyebut kalangan Parsi dan Arabi yang pada kenyataannya sangat majemuk sukunya (namun ciri fisiknya hampir sama) dan Roma yang juga terdiri dari suku bangsa yang sangat bermusuhan (namun lagi-lagi ciri fisik penduduk kaukasoidnya hampir serupa). Secara sebaliknya kalangan Eropa pun melalui perdagangan, ekspedisi ataupun penaklukan, telah mulai berkenalan dengan bahasa di luar rumpun Altai-Kaukasoid, seperti bahasa-bahasa daerah Arab, India dan Asia Tengah.
Siapa yang mempopulerkan istilah “Cina” ?
Kelihatannya bahasa yang dominan di wilayah Selatan Asia adalah India, sementara jalur laut dan darat dari Tiongkok saat itu belum menjangkau wilayah peradaban dunia lainnya yang pada dasarnya adalah di Mesopotamia dan sejumlah negara bersaing di sekitarnya, Mesir baik hulu dan hilir, Afrika Barat dan Amerika Tengah. Dengan demikian, peradaban Indus dan Mohenjo-Daro kemungkinan telah menjadi transmiter¨ pengetahuan mengenai Tiongkok mengingat posisinya yang cukup sentral, yaitu sebagai penghubung wilayah Tiongkok , karena hambatan gurun Taklamakan di Barat, stepa-es di Utara dan pegunungan Himalaya di Selatan, dengan dunia Arab termasuk Mesopotamia dan Afrika, dengan Asia Tengah dan juga Eropa.
Malahan dalam sisi budaya, pengaruh India juga sudah begitu merasuk ke nusantara. Dengan pendekatan model ini, istilah “Cina” dapat dikatakan dipopulerkan oleh orang India (entah itu Gujarat, Kalingga dan sebagainya). Hal mana akan ditemukan dalam istilah serapan “Tsini” dalam bahasa Badui Arab dan “Sina” dalam kosa kata Latin (Eropa). Agak diragukan bahwa orang Tionghoa sendiri yang mempopulerkan istilah itu, mengingat kalau memang dipergunakan dari nama dinasti Qin (yang dibaca sebagai Chin), maka dinasti Han dan sesudahnya sudah pasti tidak menyukai nama dinasti “kejam” yang digantikannya itu untuk dipopulerkannya (makanya orang-orang Tionghoa saat itu juga sangat bangga dengan istilah Han Ren; khususnya di bagian utara yang menjadi bagian wilayah kekaisaran Han; pendirian dinasti Han sendiri juga sebenarnya terbilang keji dan dipenuhi taktik “licik” yang bertentangan dengan moralitas Taojia dan Rujia bahkan Mojia yang sudah berkembang sebelumnya, namun sesudahnya terbentuk keadaan damai dan sentosa sehingga proses transisi tersebut praktis tidak banyak diungkit-ungkit lagi kecuali mungkin pelajaran yang hendak diberikan lewat kisah kepahlawanan [atau tipu muslihat?] Xiang Yu dan Han Xin).
Apakah istilah Tionghoa sudah ditemukan dan dipakai pada masa-masa itu?
Beberapa tulisan dari dinasti Zhou (sebelum Qin dan Han) sudah menyebut-nyebut suku Hoa sebagaimana terdapat dalam karakter kedua pada istilah Tionghoa. Saya tidak begitu pasti, namun rasanya di milis Budaya Tionghoa ini, ditemukan bahwa istilah Tionghoa (secara kesatuan kata) sudah dipergunakan di jaman Qin (sekitar abad ke-2 SM) yaitu untuk menyebut negeri Qin sendiri (di sekitar Tiongkok wilayah Tengah sekarang; pada jaman itu negeri Qin sebenarnya adalah negeri “Tionghoa” paling barat).
Saat itu ada istilah bangsa Man, Rong, Yi dan Di (untuk menyebutkan sebagian saja) yang bahkan sudah ada disebut-sebut dalam buku catatan sejarah sejak jaman dinasti Shang (abad ke-17 SM), sehingga untuk membedakan suku-suku yang masuk ke dalam pengertian ¡§innert¡¨ dinasti Qin yang menaklukkan enam negeri besar lainnya, dipakai pembeda, yaitu orang Hoa dari bagian Tengah (Tionghoa). Dalam perkembangan selanjutnya, bangsa- bangsa “luar” tadi adalah sebenarnya bangsa Han juga (karena fisik dan kulturnya dapat dikatakan sama), atau dengan kata lain bangsa Hoa adalah Han, dan istilah Han selanjutnya memperluas cakupan orang yang diidentikkan dengan Hoa (maaf saya pakai dua jenis cara penulisan. Karena semula saya pakai istilah dinasti Qin, dalam hanyu pinyin seharusnya untuk konsistensi saya pakai Hua; atau sebaliknya, namun karena keperluan penjelasan istilah, saya pakai istilah secara gado-gado).
Oleh karena itu istilah Han Ren bisa diidentikkan dengan Hua Ren. Saya pikir, perkembangan selanjutnya bisa lebih mudah ditelusuri. Ada perubahan batas wilayah, pergolakan dinasti (bahkan misalnya Han Barat dan Han Timur) dan sebagainya, termasuk khususnya ekspasi selatan yang sukses di jaman Tang (abad 7-10 M) sehingga muncul istilah baru Tang Ren di wilayah selatan, yang sebenarnya secara etimologi memiliki kedekatan pengertian dengan istilah Han Ren dan Hua Ren.
Harfiahnya Tang Ren adalah penduduk kekaisaran Tang (sempat lebih luas dari wilayah jaman Han, meskipun juga harus dibaca per satuan waktu karena adanya pasang surut dan perpecahan
dinasti) yang menimbulkan kebanggaan kalangan di Selatan, sementara Han Ren adalah penduduk kerajaan Han (yang sudah berakhir tahun 200-an M), yang juga mayoritas adalah menjadi penduduk kerajaan Tang juga. Bagaimanapun juga karena adanya faktor kesamaan fisik dan kebudayaan pada umumnya, mereka ya Hua Ren-Hua Ren juga. Pembedaanhanya diletakkan kepada komunitas ¡§minoritas¡¨ yang ciri fisik atau budayanya cukup berbeda.
Masalahnya kemudian apakah istilah Hua Ren ini juga mencakup mereka yang pernah masuk dinasti Tang namun kemudian lepas (misalnya Vietnam) atau juga mereka yang tidak pernah masuk kekaisaran Tionghoa manapun namun kebudayaannya hampir serupa (Korea bagian Tengah misalnya) atau hal lain sebagainya? Persoalan ini menjadi pelik karena terkait dengan rasa kebanggaan dan mitos- mitos nasionalisme. Untuk itu perlu diadakan analisis secara akademik. Namun, patut dicatat bahwa pendekatan akademik saja tidak bisa memuaskan karena terkadang jauh dari kebutuhan praktisnya dan penuh keraguan. Pemakaian sosiologis secara umum sudah cukup untuk masyarakat pada umumnya.
Kembali ke catatan perjalanan dan sejarah tadi, hubungan Tiongkok dengan dunia di luar Indochina (sekarang), Jepang, Nusantara dan India, tampaknya baru intens dijalani pada awal abad Masehi. Hubungan dagang laut dan darat semakin terbuka saat itu, dibuktikan dengan catatan perjalanan yang terekam di bagian dunia yang lain (Eropa, Parsi). Ada istilah Da Xin (atau Ta Tsin dan juga Tzinista) yang merujuk kepada daerah dan orang-orang “bekas kekuasaan dinasti Qin” dalam dokumen-dokumen Yunani abad ke-2 hingga ke-6. Kelihatannya nama resmi dinasti Han (dan selanjutnya) tidak dipakai untuk kalangan awam di luar Tiongkok, sehingga yang dikenal lewat pelayar dan peziarah tadi adalah istilah semacam “China” tadi yang kemudian meluas menjadi nama generik, sampai-sampai bukan cuma negara dan bangsanya yang dinamakan China, tapi juga hasil yang eksotis seperti keramik dan bahan lainnya yang ada imbuhan “China” nya (meskipun bukan asal pertama kalinya).
Jangan dilupa bahwa istilah China ini menjadi sedemikian memukaunya atau uniknya sehingga banyak yang eksotis di nusantara sekalipun, dulunya diimbuhi China, seperti putri Cina (perempuan ayu dari kalangan tinggi), luku Cina (alat pertanian model baru), adas Cina (tanaman komoditi baru), bahkan hingga petai Cina (tentunya bukan karena baunya, tapi karena ukurannya).
Kesemua istilah China itu dipakai tanpa ada embel-embel negatif, malahan cenderung positif karena menunjukkan sesuatu yang unik dan bernilai. Adapun penulisan kata Cina tanpa huruf h dalam istilah China pada umumnya (misalnya dalam variasi Cino di Jawa Tengah-Timur) adalah dikarenakan bunyi “chi” pada dasarnya tidak dikenal dalam fonem di nusantara. Barulah lama kemudian istilah China dipergunakan secara negatif, misalnya ketika muncul olok-olok seperti Cina Buta (seseorang yang disuruh kawin dengan perempuan yang terkena talak tiga kali, agar perempuan itu nanti bisa kawin kembali dengan suami muslim yang pernah menalaknya itu; jelas ini terjadi setelah era masuknya Islam ke nusantara abad ke-13) atau Cina Kolong (pekerja tambang, jelas ini baru terjadi setelah era pertambangan di atas abad ke-16).
Dalam kaitan inilah maka istilah China mengalami perubahan pemaknaan secara menonjol, yang menjadikan karakternya berbeda dengan saat diperkenalkan pada awal-awal abad masehi. Istilah yang sarkastis seperti Cina Loleng dan pemerasan oleh Cina Mindring bahkan baru ditemukan di abad ke- 19, ketika faktor pembeda menjadi semakin menonjol dan ketegangan rasial meningkat.
Ketika terjadi hubungan dengan negara-negara luar, Tiongkok secara resmi mempergunakan nama kekaisarannya dan tidak memakai istilah lain. Ketentuan ini dapat dibaca dalam dokumen-dokumen resmi kekaisaran yang salinannya dapat ditemukan dalam buku catatan kekaisaran. Ada istilah (sekarang) mengenai Da Tang, Da Ming dan Da Qing. Itu adalah nama resmi negara. Istilah Tiongkok justru tidak dipakai oleh orang Tiongkok sendiri (apapun dinastinya), TAPI istilah HUAREN sudah mereka pakai. Sebagai contoh, untuk membedakan mana yang penduduk “Tiongkok dinasti” itu dengan mereka yang berada di luar (meskipun keturunan suku Han), dinasti Ming (abad 13-17 M) sudah menyebut-nyebut istilah Huaren “pembangkang”.
Dari titik itulah kelihatan sekali bahwa istilah yang terkait dengan Hua/Hoa (qiao, yu, yi dan sebagainya) mulai meningkat secara signifikan penggunaannya dalam dokumen-dokumen resmi, dan nantinya di abad ke- 17 lewat semacam lembaga pemantauan huaqiao. Hal itu makin diperkuat kenyataan bahwa kertas/kain surat sudah mulai banyak dipakai sehingga sebuah surat kerajaan dapat dibuat dan dikirimkan dengan kurir dengan isi yang lebih mendetail, begitu juga buku dan tulisan mengenainya.
Dari penelusuran itu, sudah ketemu sedikit ujung pangkalnya, yaitu istilah China sudah dipopulerkan oleh orang di luar Tiongkok dan sudah pula dipakai secara meluas di bagian dunia Asia, Eropa dan Afrika. Sebaliknya negara Tiong (Tiongkok) sendiri tidak pernah mempergunakan nama Tionghoa secara resmi dan lebih berkutat dengan istilah Hoa-nya sebagai nama pemersatu bangsa Han sampai dengan tahun 1911.
Sekarang, bagaimana sikap orang “Hua” itu sendiri?
Sampai dengan abad ke-19, kelihatannya kalangan yang keluar dari Tiongkok lebih banyak berkutat dengan nama daerah atau nama dinasti yang dikenalnya. Pada masa-masa itu orang Tionghoa menyebut dirinya sebagai Teng Lang, Tong Nyin, Han Jen, Min Lang, Hak Nyin, dan sebagainya. Sulit sekali ditemukan literatur yang dalam bahasa Tionghoa menyebut dirinya sebagai Tionghoa Lang, Chunghwa Ren apalagi China Ren, Cina Lang, Qi Na Nyin dan sebagainya.
Dikotomi terjadi antara pemakai bahasa Tionghoa (yang dimanifestasikan lewat huruf-huruf Tionghoa) dan non-Tionghoa yang didominasi oleh pengguna bahasa-bahasa Latin, Arab dan Sansekerta.
Seiring dengan perubahan sistem pemerintahan, maka revolusi 1911 praktis membentuk istilah hukum Zhonghua Minguo (bahkan nantinya tahun 1949 pun nama Zhonghua juga tidak hilang). Sekali lagi, karena dikotomisasi, maka pengguna huruf Latin pada khususnya tetap menyebutnya berdasarkan referensi yang mereka kenal, yaitu Republic of China (dibacanya Caina). Apakah dengan demikian Chunghua Minkuo, Tionghoa Binkok, Cina, China dan Caina menjadi istilah yang berbeda? Jawabannya adalah TIDAK.
Istilah tadi bisa dikatakan tetap netral, meskipun juga agak berprasangka. Sama halnya mengapa ada nama Mesir tapi ada Egypt yang sangat berbeda, Yunani dan Greece, Srilanka dan Cheylon, Myanmar dan Burma, dan sebagainya, mengapa tidak mengikuti maunya negara yang punya nama tadi. Hal yang sama berlaku untuk Huaren, Tionghoa dan Chinese untuk merujuk kepada orangnya. Adapun kata sifat tambahan (qiao, yu, yi, dan sebagainya dikesampingkan dulu karena sebenarnya adalah pelengkap terhadap istilah aslinya, Hua[ren]).
Mengapa kalau istilahnya netral, kalangan Tionghoa di Indonesia mempopulerkan istilah TIONGHOA menggantikan CHINA/CHINEES/CHINEZEN/CINA/CHINESE? Hal itu terjadi tahun 1900 atau setidaknya sudah dimulai akhir abad ke-19. Memang hal itu tidak dijelaskan secara eksplisit, namun ada hubungannya dengan gelora emansipasi di Asia. Ada dugaan bahwa istilah China dengan beragam dialeknya sudah diselewengkan sedemikian rupa.
Apabila China (dengan beragam variasi huruf latin) nampaknya tidak punya arti khusus selain pada suatu nama negara dan bangsa, namun hal itu tidak terjadi dengan huruf gambar (pictograf) yang dipakai di Tiongkok dan Jepang! Jangan lupa bahwa setiap bunyi bisa dicarikan huruf yang berbeda, dengan konsekuensi arti yang berbeda juga. Seiring kolonialisasi, nasib orang Tionghoa di ujung tanduk. Satu demi satu penghinaan terpaksa diterimanya, sampai-sampai kemenangan Zheng Cenggong melawan Belanda di Taiwan jadi tidak ada artinya. Tiongkok dan bangsa Tionghoa tiba-tiba dihajar opium, di mana setelah kemenangan kecil kemudian menghadapi kekalahan besar yang sangat menyakitkan hati. Itu terjadi di pertengahan abad ke-19!!!
Berturut-turut daerah-daerah pesisir diserahkan, begitu juga harga diri bangsanya, dan runyamnya, salah satu negara Eropa yang ikut berperan adalah Jepang yang juga punya huruf pictograf tadi. Yang tadinya adalah kekalahan fisik, berubah menjadi penghinaan mental berkepanjangan. Jepang memainkan huruf-huruf pembentuk kata China menjadi ƒXƒX yang artinya adalah orang (bangsa) sakit, dan bisa juga pengertian buruk lainnya. Kemudian perang Tiongkok-Jepang 1894-1895 menjadi tambahan keterhinaan (humiliation) yang sangat parah. Patut diperhitungkan bahwa penghinaan oleh Jepang sangat menyakitkan karena dari sejarahnya, banyak unsur kebudayaan Jepang dibentuk oleh orang Tionghoa, misalnya dalam segi bahasa, tulisan dan agama. Ketika bangsa “yang dibantu” ini menjadi melunjak, efek sakitnya menjadi berlipat ganda. Sudah jatuh di tangan Barat yang “barbar” itu, ketimpa tangga Jepang pula.
Tidak mengherankan apabila tumbuh rasa kebangsaan yang mengalahkan rasa sakit dipimpin oleh orang Manchu. Setidaknya Manchu terasimilasi menjadi Tionghoa secara damai meskipun mereka menduduki Tiongkok dengan kekerasan. Jadi ketika berhadapan bangsa-bangsa yang “lebih buas” dan meng-hegemoni, ada problem lain yang mencuat.
Itulah sebabnya pemakaian istilah Huaren menjadi kuat dan mengemuka. Faktor umum kesamaan nasib dan budaya mempersatukan bangsa yang sudah terbentuk beribu tahun lamanya ini. Oleh karena itu juga, kedatangan tokoh semisal Kang Youwei di Asia Tenggara memperoleh sambutan yang luar biasa dan menepis perasaan rendah diri yang juga muncul di daerah yang praktis dikuasai oleh bangsa Barat ini. Faktor integrasi damai sudah dilakukan oleh kalangan Tionghoa, namun ketika mereka dihadapi dengan keras, kesatuan nasib itulah yang membuat perekat sosial yang kuat.
Kenapa Tionghoa dan Bukan Huaren ?
Jangan dilupakan bahwa istilah resmi Zhonghua baru muncul 1911, dengan pembahasan yang konon difasilitasi sejak awal abad ke-20 melalui serangkaian pembicaraan rahasia di kalangan kelompok pembaruan (mirip sumpah Pemuda Indonesia yang dipakai 1928 namun resminya baru 1945). Adapun THHK mempergunakan istilah itu secara resmi pada tahun 1900, mendahului 11 tahun. Meskipun tidak dijelaskan terbuka, istilah Tionghoa di nusantara adalah identik dengan Zhonghua di Tiongkok, jadi ada dugaan bahwa serangkaian perjalanan tokoh akhir dinasti Qing dengan kalangan Huaren di Asia Tenggara memiliki kekaitan sinergis, meskipun hasil akhirnya belum tentu sama. Kalangan Huaren Asia juga terbagi antara pelopor reformasi dan penjunjung kekaisaran.
Pilihan istilah yang salah artinya membuka konflik serius di dalam tubuh Huaren sendiri. Misi Tiongkok dalam surat-suratnya selalu mempergunakan kata Huaren, dan jangan lupa bahwa THHK menerjemahkan huruf Huaren itu menjadi sebagai Tionghoa!!!
Mengapa Huaren diterjemahkan sebagai Tionghoadan bukannya Hoa Lang atau Hoa Jin atau orang Hoa? Mengapa THHKtidak bernama Hoa Jin Hwee Koan atau Hoa Lang Hwee Koan? (faktor
dialek kita abaikan dulu) Kemungkinan besar karena itulah istilah yang bisa mempersatukan spektrum yang sangat majemuk di kalangan Tionghoa. Hoa Jin atau Hoa Lang tidak populer dipakai pada masa itu, tapi kata Tionghoa dipertimbangkan memadai untuk menjadi wadah pemersatu.
Tidak mengherankan bilamana kemudian istilah Tionghoa menjadi istilah yang baru, diserap oleh sebagian besar organisasi Huaren, dengan berbagai namanya, mulai dari istilah Tionghoa sendiri, Chunghwa (keduanya terjemahan resmi dari huruf Zhong dan Hua) dan juga dalam sebutan campuran seperti Partai Tionghoa Indonesia, Partai Demokrat Tionghoa Indonesia, Perkumpulan Warga Indonesia Turunan Tionghoa (yang kesemuanya tidak didasari huruf Tionghoanya terlebih dahulu). Dalam hal ini Tionghoa masuk menjadi istilah serapan bahasa Indonesia.
Kenapa Istilah Tionghoa Tidak Populer Di Negara Asia Tenggara Lainnya ?
Mengapa istilah Tionghoa tidak populer di negara Asia Tenggara lainnya, meskipun sama-sama “dihubungi¨ oleh kelompok reformis? Kemungkinan besar karena di daerah-daerah tersebut yang nota bene berbahasa Inggris dan Perancis, istilah Chinese tidak memiliki konotasi sejelek Chineezen di Indonesia. Mereka sama-sama Huaren, namun kadar terberat dirasakan oleh Huaren di Hindia Belanda karena statusnya yang tidak setara dengan Huaren di Asteng yang lain.
Chinese di sana meskipun tidak dimasukkan sebagai golongan pertama (tetap ada pembedaan) namun bisa menduduki posisi birokrasi tertentu dan pada umumnya punya hukum istimewa yang setara untuk golongannya. Lagipula tidak ada pembedaan status hukum antara mereka dan kalangan bangsa lainnya selain Eropa. Chineezen di Hindia Belanda justru digolongkan sebagai golongan kedua secara status sosial (menjadi pedagang perantara atau pemetik cukai) namun golongan ketiga secara status hukum (perkara mereka disidangkan oleh landraad yang secara status punya posisi terendah, jadi bertentangan dengan prinsip pengaturan golongan masing-masing yang dicetuskan oleh Belanda sendiri), dan tidak bisa memegang birokrasi pemerintahan.
Apakah ini buntut dari kekalahan Belanda di Taiwan yang berimbas kepada kalangan Huaren di luar Tiongkok, yaitu di Hindia Belanda? Patut juga diperhitungkan efek Pembantaian Angke
1740 yang jelas ditujukan kepada satu golongan dan menimbulkan perasaan berjarak yang mendalam. Perbedaan status ini menyebabkan kalangan Huaren di daerah Asteng non-Belanda tetap nyaman mempergunakan istilah semacam Huaren dengan berbagai dialeknya karena kekhasan budayanya tetap bisa dipertahankan dan tidak memerlukan istilah baru, namun keadaan semacam itu justru sulit diterapkan di Hindia Belanda yang faktor sejarahnya berbeda, sehingga harus dicetuskan istilah yang pas pula, dan pilihannya jatuh kepada Tionghoa. Belanda menerapkan keharusan setiap orang untuk masuk ke golongannya, jadi untuk melawan penamaan Chineezen tadi, diperlukan istilah yang mempersatukan Huaren yang majemuk dan tersebar dengan berbagai nama dan dialek tadi. Istilah Tionghoa akhirnya menembus kebuntuan.
Mengenai bagaimana setelah tahun 1966 ada tekanan rasial yang luar biasa, saya tidak uraikan lagi karena sudah banyak yang membahas. Intinya adalah bahwa kesepakatan umum penggunaan istilah Tionghoa menggantikan istilah China dan sejenisnya, alih-alih menggunakan istilah Hoa Lang dan sejenisnya, yang sudah dimulai sejak tahun 1900 dan dirasakan efektif dipakai tahun 1913-an di seluruh Nusantara, tiba-tiba dikalahkan oleh alasan politik (yang ditengarai mengandung unsur penghinaan dalam derajat tertentu).