BAGIAN II
SECARA SOSIOLOGIS-POLITIS
Istilah”Tionghoa” yang dipopulerkan orang Hokkian yang memang dominan jumlahnya di Jawa, sudah menjadi semacam ¡§istilah resmi¡¨ dalam masa-masa awal abad ke-20 hingga titik antiklimaks tahun 1965-an (sebelum kemudian tiba-tiba dipaksakan digantikan oleh rezim saat itu). Istilah ¡§Tionghoa¡¨ dipakai dalam kosa kata serapan di daerah lainnya di Indonesia dalam periode 1900-1965-an, bahkan di daerah yang pemakainya memiliki bahasa yang memiliki jarak terhadap istilah tersebut.
Di Pontianak, istilah itu sudah ditemukan sebagaimana juga istilah Khonghucu atau Siekkauw (dari dialek Hokkian) di kalangan orang Hakka, meskipun bisa jadi dipengaruhi oleh orang Tiociu (yang jumlahnya juga banyak) yang dialeknya ada persamaan dengan kalangan Hokkian (faktornya banyak, namun khususnya karena masuknya buku-buku berhuruf latin terbitan Jawa yang dipakai untuk bahan bacaan).
Bisa dikatakan bahwa istilah ¡§Tionghoa¡¨ menjadi pemersatu dan semacam ¡§genus¡¨ yang mengatasi berbagai kelompok dialek dan daerah seperti Hakka, Tiociu, Hokkian, sebagaimana juga
Inghua, Hainan, Hokciu, Hokcia dan sebagainya. Ke dalam mereka menjadi pendukung dialek dan istilah masing-masing, namun keluar mereka dikenali sebagai Tionghoa.
Istilah ¡§Tionghoa¡¨ telah dipakai untuk menggantikan istilah Tjina (ejaan lama)/Chinese yang banyak menjadi judul buku-buku terbitan abad ke-19. Tidak ada keraguan bahwa istilah Tjina dalam
kosa kata Melayu Pasar perlahan-lahan tergantikan oleh istilah Tionghoa yang dirasakan lebih bagus dalam arti dan punya semangat.
Mengapa RRT tidak meminta dunia mengganti nama China dan sejenisnya kepada istilah yang lebih disukai mereka? Saya pikir sulit untuk mencarikan istilah pengganti yang mudah diucapkan oleh kalangan pengguna bahasa “Barat”, apalagi menggantikan istilah China/Chinese dan semacamnya yang sudah menjadi sangat populer di dunia.
Apakah Chungkuo, Cungkwo atau bisa disederhanakan menjadi Cungkoo, saya tidak berani mencarikannya sekedar untuk mudah dilafalkan secara internasional. Yang pasti, problem selama ini
kebanyakan diakibatkan juga adanya dualisme penggunaan istilah China versus Zhongguo. Namun jangan juga dilupa kemungkinan politik akibat perubahan nama ini. Kalau mengikuti ribut-ribut di milis Budaya Tionghoa ini, saya juga kawatir bahwa penyamaan istilah China kepada Zhongguo daratan untuk membedakannya dengan Tiongkok (“Tionghoa …. Kok”; “Zhonghua….guo” ; apapun nama di tengahnya) dan khususnya terhadap Tionghoa di Indonesia membukakan kerumitan baru.
Taiwan adalah propinsi atau negara? Pandangan Daratan (mainland) dalam hal ini cukup jelas. Kalau dianalisis lebih jauh, meskipun Daratan punya peluang memintakan perubahan penyebutan China dan sejenisnya menjadi Chungkuo dan sejenisnya sebagaimana halnya Myanmar atau Ethiopia, hal tersebut rasanya memancing kontroversi yang tidak perlu, karena tiba-tiba saja Taiwan bisa mengklaim penggunaan istilah China bagi ¡§negara¡¨-nya.
Rebutan nama ini juga tidak sehat dan memancing konflik serius yang berdampak lagi-lagi kepada Huaren di dunia. Kita sudah melihat ramai-ramai soal pemakaian istilah “China” ini mengenai keikutsertaan di Olimpiade dan forum-forum dunia sejak tahun 1990-an, sehingga ada beberapa modifikasi dan kompromi. Saat ini kondisi status quo adalah keadaan paling baik sampai adanya perundingan yang dialogis dan konstruktif. Kita tidak bisa melupakan kenyataan tahun 1950-1960-an ketika konflik antara Kuo Min Tang dan Daratan dibawa-bawa ke Huaren di sini, menggantikan isu tahun 1930-an antara Londo, Indi dan Kosmo.
Terjadilah usir-mengusir di antara sesama Huaren. Saudara menjadi musuh, pihak yang lain mengompori sehingga akhirnya Indonesia terbawa dalam situasi yang tidak harmonis lagi karena menjadi pertarungan ideologi yang imbasnya masih terasa hingga sekarang. Perang dingin dan apa yang dinamakan China containment bukannya sudah sepenuhnya berakhir. Kalau pertarungan ideologisnya dilakukan secara sehat untuk keperluan konstruktif bangsa, hal itu memang baik.
Namun ketika faktor luar telah menghasut dan memanfaatkan kerenggangan situasi untuk merusak ketenangan hubungan kawasan dan perbaikan kondisi masyarakat, maka yang tersedia hanyalah gontok-gontokan yang tidak produktif karena hanya didasari apriori. Atas dasar itulah maka secara sosial politik, pilihan sementara untuk status quo mengenai nama Zhongguo dan China di dunia internasional dirasakan lebih baik daripada diakselerasi ke salah satu sebagaimana diinginkan beberapa orang.
Untuk dunia internasional, dibiarkan dulu dengan nama yang sudah dikenal dan netral, yaitu China (sebagai nama) dan sejenisnya. Bahkan Jepang saja tidak mau lagi mempergunakan padanan huruf dari bunyi “China” yang melecehkan (yaaaa, jangan disamaratakan pendapat kalangan ultra yang misalnya sampai saat ini masih menyebutkan pembantaian Nanjing sebagai omong kosong).
Berkaca dari itu semua, dunia masih boleh-boleh saja (dalam bahasa nasionalnya sendiri tentunya) untuk menyebutkan istilah China atau sejenisnya dengan resmi. Sebaliknya juga harus dipahami bahwa kalau mereka menuliskan dan mengucapkannya dalam bahasa Tionghoa, mereka tidak menuliskan atau mencarikan padanan huruf dari bunyi China, melainkan mereka harus mempergunakan huruf dan hanyu pinyin sebagai Zhonghua¡K.guo, atau disingkat menjadi Zhongguo.
Dengan demikian, orang Hokkian akan mempergunakan istilah Tionghoa¡KKok, disingkat Tiongkok (jangan diplesetkan menjadi Chungkuok di Mangga Besar. Dalam hal ini istilah Chungkuo yang belakangan, bagi saya telah diberikan makna merendahkan).
Tentunya akan lebih baik kalau negara-negara di dunia juga tanpa diminta-minta, memakai istilah yang memberikan penghargaan meskipun tidak diminta-minta oleh negara bersangkutan. Meskipun sebal dengan Malaysia misalnya, akan sangat tidak sehat kalau Indonesia mengganti-ganti namanya menjadi Malaysia atau Malon. Juga tidak ada untungnya memakai nama Timor Timur untuk negeri yang punya nama resmi Timor Leste (meskipun Timor Leste tidak pernah minta namanya diganti dan dunia pun sebelumnya tetap memakai istilah East Timor), dan sebagainya.
Bagaimana dengan Indonesia? Karena ada nuansa sejarah dan sosial yang panjang, apalagi sebagai negara di daerah Asia yang tidak kagok ketika mengucapkan dialek Tionghoa khususnya Hokkian (sebagaimana terlihat dalam berbagai nama barang, makanan dan pecahan nilai uang), perlu dipertimbangkan bahwa pemakaian istilah Tionghoa juga tidak memiliki permasalahan.
Memakai istilah China maupun Tionghoa sebenarnya tidak memiliki efek apapun kalau tidak ada beban sejarah yang menyertainya, namun bagaimanapun patut dicatat bahwa istilah Cina dan Tionghoa juga sama-sama kata serapan, yang artinya pemakaiannya bisa disesuaikan dengan kebutuhan pemakaian. Tinggal mau pakai yang berasal dari India atau yang berasal dari Tiongkok sendiri, toh sama saja (atau istilah baru, tapi apa?). Hanya saja karena ada unsur lain yang harus dipertimbangkan, maka pilihan yang lebih baik adalah kembali ke istilah Tionghoa yang sudah dipergunakan lama dan lebih sesuai dengan maksud hubungan baik antar bangsa, antar suku bangsa dan antar komponen bangsa Indonesia.
III . Pandangan Pribadi
Saya rasa Zhou Fuyuan tidak bermaksud memaksakan istilah Tionghoa menggantikan China (ataupun Cina dan Caina). Bagi saya sah-sah saja dia berpropaganda mengenai pemakaian istilah yang sesuai, masalahnya kemudian saya justru melihat bahwa pihak yang berseberangan pendapat dengannya menudingnya memaksakan kehendak.
Tuduhan semacam itu saya pikir berlebihan. Kalau Zhou Fuyuan berpendapat bahwa istilah Tionghoa lebih baik daripada China dan meminta yang lain mengikutinya, apa salahnya? Kebingungan terjadi ketika analisis muatan dalam istilah tadi dianggap sarkastis. Tapi coba kita baca secara hati-hati. Saya cukup yakin Zhou menguasai dengan baik frase-frase Tionghoa dan karenanya akan sangat tidak sreg dengan istilah China yang diuraikannya punya beban negatif.
Makanya dia sendiri menegaskan bahwa istilah manapun selain Tionghoa (asal bukan China, ABC) masih bisa diterimanya (tentunya asalkan tidak memiliki muatan negatif). Pemakaian Tionghoa pun bisa saja punya makna negatif-relatif (lihat istilah Chungkuok belakangan ini), tapi kita tentunya bisa menilai sejumlah faktor.
Problemnya kita mau pakai istilah apa? Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa hak penyebaran pengetahuan dan sikap ini telah ditanggapi secara kurang proporsional, lebih karena apriori, ¡§kalau saya tidak keberatan dibilang Cina, ya sudah dong jangan paksa saya¡¨. Memang Zhou bisa bilang dengan mudah bahwa “di tubuh anda ada kanker karena kulit anda menunjukkan simptomnya” tapi sulit menjelaskan¡¨di pikiran anda ada kekeliruan karena sikap anda menunjukkan simptomnya¡¨, karena soal ini sulit dipahami oleh mereka yang tidak mendalami konteks yang dimaksud Zhou .
Kalau dalam contoh kanker tadi, kita bisa memeriksakannya dengan alat fisik dan datang ke dokter kulit (bahkan meskipun kita tidak sebegitu yakin kebenarannya, umumnya kita percaya dengan apa yang dikatakan orang yang dianggap ahlinya), namun dalam hal yang kedua ini, yang lebih banyak diuji adalah kepekaan dan sikap. Kalau orang tersebut tidak meyakini Zhou Fuyuan, seakan-akan itu adalah hak pribadi dan keyakinannya yang tidak bisa dilanggar dan Zhou seakan-akan telah memaksanya berubah sikap.
Saya sendiri melihat dikotomi antara generasi muda dan tua mengenai peyoratif istilah Cina juga tidak sepenuhnya tepat. Masih ada faktor lain yang membedakan dan mempengaruhinya. Ada fakta yang; sulit dibantah bahwa organisasi “Tionghoa” kebanyakan mempergunakan istilah Tionghoa ketimbang China dalam nama resmi bahasa Indonesia (Inti, PSMTI, MABT, LPIT, PPIT, dan sebagainya bahkan Kadin pun menyebut seksi hubungan Indonesia-Tiongkok) menunjukkan istilah itu lebih diterima.
Apakah ini dikarenakan faktor pendirinya yang tua-tua atau apa? Saya pikir karena istilah Tionghoa lebih diterima, bukan karena pendirinya tua-tua. Bagaimana dengan organisasi di kalangan muda? Kenyataannya organisasi semacam itu juga kebanyakan memakai istilah Tionghoa ketimbang China (tentunya bukan karena dijadikan taktik untuk mengharapkan sumbangan dari yang tua).
Malahan dalam beberapa nama khusus, dipergunakan istilah Mandarin ketimbang China (meskipun bagi saya secara etimologis keliru karena Mandarin sebenarnya menunjukkan kelas sosial kebangsawanan dan bukan nama genus etnis. Kalaupun mendekati, lebih kepada bahasa. Itupun karena proses penamaan yang juga agak dipaksakan seakan bahasa Keraton di daerah Utara). Untungnya belum ditemukan yang menamakan organisasinya dengan imbuhan Cathay, Karakitai untuk memadankannya dengan Huaren.
Ada juga kenyataan lain bahwa meskipun istilah China pada umumnya tidak dianggap peyoratif di kalangan muda, banyak generasi muda di sejumlah kota “tradisional”, tetap lebih suka disebut Tionghoa ketimbang dipanggil China (entah karena memahami permasalahan atau sekedar selera atau malahan cuma ikut-ikutan). Coba saja diuji di Tangerang, Singkawang, Medan dan sebagainya. Jangan hanya yang di kota Jakarta saja. Dalam proses ini berlaku dua lapisan istilah, secara intern mereka membentuk istilah sendiri yang didasarkan kebiasaaan (lihat uraian mengenai Teng Lang, Tong Nyin dan sebagainya di muka), di lapisan berikutnya, mereka membentuk penamaan generik untuk panggilan oleh orang luar. Mengenai masalah apakah baik “Tionghoa” ataupun”Cina” juga bisa dipakai untuk menghina dengan intonasi dan bentuk kalimatnya masing-masing, saya pikir adalah kemungkinan hipotetis yang tidak bisa dielakkan, namun bukan yang benar-benar prinsipil. Saya sendiri tetap berpandangan dan juga ingin orang menerima bahwa istilah Chungkuok (bahkanpun ada yang bilang sebagai penghalusan dari kata Chungkuo untuk mereka yang asalnya memang dari Chungkuo) untuk pekerja seks komersial adalah merendahkan. Apakah saya dianggap memaksakan kehendak? Saya masih ngotot soal ini. Mengenai istilah “Tionghoa” nantinya juga akan menjadi atau dianggap buruk, biarlah jaman yang membuktikannya.
Saya berharap bahwa latar belakang masing-masing juga perlu diuji dan direfleksikan. Zhou Fuyuan) jelas pengguna Huayu yang aktif dan mendalam, sehingga kepekaannya terasah dengan istilah yang digunakan. Kalangan tua pada umumnya juga merasakan makna peyoratif dari istilah China. Saya harap Julia Lau juga bisa dilihat sebagai seorang muda berpendidikan nasional Indonesia dengan budaya kosmopolitan, dengan penguasaan bahasa tambahan Inggris namun tidak dekat dengan Huayu sehingga tidak peka dengan perbedaan pemaknaan itu dan mungkin tidak terlalu peduli.
Dia bisa mentransformasikan istilah China (dalam pengertian Indonesia untuk orang) sebagaimana ditemukannya dalam istilah Chinese dan “enjoy” sehingga bisa membalikkan olok-olok kepadanya, “memang gue china, elu mau apa?” Saya coba menyarankan untuk bertanya kepadanya, ketika di Hongkong, dia bertanya dalam bahasa apa, kepada orang seperti apa pertanyannya diajukan, dan kemudian bagaimana respons yang diberikannya? Hal mana tentunya juga perlu dipertanyakan kepada rekan Liquid, apakah konteks situasi tidak diperhitungkan saat dikomentari fanngin.
Dalam hal ini saya berharap pengalaman pribadi akan menjadi bahan pelajaran bagi yang lain, namun bukan untuk menciptakan ketakutan yang tidak perlu. Ketika ada yang ditodong di dalam taksi di Sudirman, tentunya ketika diceritakan ulang bukan dimaksudkan agar tidak ada orang yang mempergunakan taksi, namun bisa jadi mendorong orang lebih hati-hati dan yang lebih benar tentunya adalah untuk mendorong supaya pelanggaran ditindak dan tidak ada lagi kejahatan di dalam taksi. Menangkap tikus rasanya tidak perlu membakar lumbung padi hanya karena pengalaman bahwa menangkap tikus itu sulit.
Saya tidak terlalu kenal pemberi komentar yang lain, namun yang saya rasakan bahwa suasana lontaran pendapat pada umumnya banyak yang menjadi debat kusir dan seakan penghakiman dari yang satu kepada yang lain. Sampai-sampai ada yang memang harus diperingatkan oleh moderator karena menyerempet hal personal. Lucunya ada pengirim lain yang mengomentari dan menyebut nama jelas dari nama yang tadinya anonim, sehingga saya jadi berpikir lho yang dimaksud dalam posting awal kan bisa siapa saja dan sudah diperingatkan, kenapa harus membukakan nama tertentu kepada umum, bukankah yang berpraduga buruk itulah yang justru menyebarkannya?¡¨.
Saya sudah menyampaikan dalam tulisan saya terdahulu bahwa yang dinamakan Tionghoa itu tidak sesederhana memeriksa darah. Tionghoa adalah sesuatu “yang ada di dalam darah”. Ini memang problem klasik bahasa, enkoding dan dekoding dan wawasan yang diperlukan untuk menerima pesan tadi dalam konteksnya. Saya pikir bukan maksud Zhou Fuyuan untuk mengklasifikasikan darah Tionghoa itu sebagai sesuatu yang fisik sifatnya. Banyak frase yang harus dikenal dan tidak dibaca secara fisik belaka, darah pahlawan, darah juang, jiwa ksaria, keturunan Jawa, darah Tionghoa, naluri hewani, urat nadi Papua, tulang punggung Indonesia dan sebagainya hanyalah bagian kecil dari pengertian bahasa dan budaya. Mungkin yang kita butuhkan adalah pendapat konstruktif ketimbang debat kusir yang bombastis.
Sikap saya sendiri? Saya cenderung memilih istilah Tionghoa. Apa yang sudah menjadi kosa kata umum seperti Pondok Cina, Petai Cina dan sebagainya tidak perlu diubah dan dijadikan Pondok Tionghoa atau Petai Tionghoa. Menerjemahkan masakan? Ya bisa jadi “babi panggang ala Tionghoa” ketimbang “babi panggang China”, “babi panggang Caina”, “babi panggang ala Tiongkok” ataupun “babi panggang ala Chinese” . Tionghoa Indonesia atau Indonesia Tionghoa? Hal itu bagi saya penting secara akademis, namun tidak terlalu berguna dalam pemakaian sehari-hari dan tidak bisa didikotomikan begitu saja.
Tiongkok atau China? Seiring pemakaian Tionghoa karena faktor-faktor dasar tadi, tidak nyaman juga untuk memakai istilah China dalam bahasa Indonesia (bahkan seandainya pun nantinya ada konflik antara kedua negara). Pendikotomian semacam itu menjadi kontraproduktif, satu memakai pendekatan bahasa ke sumber, satu lagi ke istilah umum dari lain sumber. Bagaimana kalau disepakati saja untuk memakai istilah Tiongkok atau RRT agar lebih dekat ke sumber dasarnya. Kalau pakai bahasa Inggris ya, kita pakai PRC, kalau bicara Perancis ya RPC, dengan India ya pakai istilah India, kalau Thailand ya pakai istilah mereka. Gitu aja kok repot, hehehe. Sama saja kenapa Indonesia mempergunakan istilah Mesir ketimbang nama resmi dalam bahasa Inggrisnya. Sebagai wacana, mungkin ada baiknya juga Nipon nantinya dituliskan Nipong, Korea bersatu dicarikan padanan yang mereka pakai nantinya dan sebagainya. Bahasa dunia kan bukan cuma Inggris.
Suma Mihardja , 28746
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua