Budaya-Tionghoa.Net | Nama Tionghoa pangeran Setyodiningrat adalah TAN JING SIN dan inilah sejarah hidup beliau. Hal-ikhwal yang mencuat dalam latar belakang protagonis ceritera ini adalah semangat pembaurannya. Pergaulan luasnya dengan orang berbagai etnis, cintanya yang sama terhadap budaya berpusparagam – Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat (1760-1831) merupakan yang barangkali dapat menjadi contoh layak untuk bangsa Indonesia sehubungan upayanya mengukuhkan tersusunnya persatuan di antara para warganya dalam rangka menyadarakan secara maujud cita-cita mulia reformasi ibu pertiwi kita.
|
Niscaya ketika masih kecil, dikenal dengan nama Tan Jin Sing, lantas menjadi wiraswastawan sukses yang sewaktu berusia 30 tahun, mencapai pangkat Chinesche Kapitein (Kapten Cina) di Kedu, Jawa Tengah. Beberapa tahun kemudian, menjabat dengan pertanggungjawaban serupa di Yogyakarta. Lantaran sudah terjun dalam kancah politik, demikianlah mempertaruhkan jiwa serta hartanya, membantu Pangeran Suroyo dan Sri Sultan Raja memperoleh kenbali singgasana kiani Ngayogyakarta Hadiningrat, lalu dinobatkan dengan gelar Khalifah Ngabdurrachman Sri Sultan Hamengkubuwono III. Sesudah itu, Kapten Tan Jin Seng dilantik sebagai pembantu utama diraja dengan gelar rudah keningratan Raden Tumenggung Secodiningrat, walaupun masih mempertahankan kedudukannya sebagai Kapten Cina Yogyakarta.
Akibatnya, K.R.T. Secodiningrat sepanjang hidupnya dianggap orang Jawa, Tionghoa maupun Eropa seorang keturunan Tionghoa, suatu praduga rancu yang hingga dewasa ini masih dianut sebahagian rakyat jelata Jawa.
Sementangpun, keunikan riwayatnya, yaitu bahwa K.R.T. Secodiningrat dilahirkan di desa Kalibeber, Wonosobo, dalam keluarga berkulasentana Jawa dan, oleh karena ayahnya wafat ketika masih menjejaki masa kanak-kanaknya, lantas diangkat anak oleh Tek Yong yang sangat akrab dengan kulawangsanya. Ibunya R.A. (Raden Ayu) Patrawijaya, salah satu putri R.M. Kunting, keturunan ke-tiga Sri Paduka Sunan Mataram Mangkurat Agung (Tegal Arum), dari ibunya belajar tata-istiadat dan kromo inggil/bagongan Kraton Jawa sentiasa tanpa mengetahui sedikitpun identitas sebenarnya wanita yang begitu menyayanginya. Dari keluarga angkat Tionghoanya, mengkaji resam-rasam serta bahasa tamaddun Cina. Bahasa Melayu dan Jawa madya/ngoko terserap melalui percakapan sehari-hari dengan kawan- kawan dan para pembantunya.
K.R.T. Secodiningrat bisa menyesuaikan diri dengan mudah ke dalam tiga dunia, yakni: Tionghoa, Jawa dan Eropa Barat, orang Barat yang mengenalnya sebagai karib atau musuh mengakui tingkat tinggi kedhyaksaan dan kepandaiannya. Orang-orang Tionghoa bergagasan K.R.T. Secodiningrat mempunyai bakat dalam hal memadukan antara kepiawaian Cina dan unggah-ungguh (sopan-santun) Jawa. Adapun mereka yang tidak senang kepadanya, acapkali menyindirkannya dengan ungkapan berlanggam senada: “Cino wurung, Jowo tanggung, Londo pun durung” atau dengan kata lain, Cina ya tidak lagi, Jawa ya tanggung, jadi Belanda pun belum. Sebagai Bupati Yogyakarta, K.R.T. Secodiningrat berusha keras agar Kesultanan ini dapat maju dan jadi makmur, namun manakala mulai menunjukkan tanda-tanda sukses, terjadinya gejolak-gejolak politis mengganggu-gugat sebagian banyak upaya rajinnya.
Semenjak tahun 1798, Inggris sudah terlibat perang dahsyat melawan Perancis di bawah kuasa Napoleon Bonaparte, pertempuran-pertempuran konon siap membentang ke Asia. Kerajaan Belanda telah menyerahkan diri pada Perancis, alhasil, Hindia Belanda Timur yang saat itu dipimpin Gubernur-Jenderal Willem H. Daendels, sesuai ketentuan syah wajib menyerah pada hak kedaulatan wilayah Perancis. Letnan- Jenderal koloni Permukiman Perselatan yang berpangkal di Melaka, semenanjung Melayu, Sir Thomas Stamford Raffles, langsung diberi prerogatif memprakarsai dan melaksanakan pengambilalihan lekas pulau Jawa, pusat nadi operasi militer-ekonomis Belanda, karena orang Inggris khawatir balatentara-balatentara Perancis dapat mendarat di sana terlebih dahulu. Demikianlah seluk-beluknya, suka atau tidak,
kawula Yogyakarta diharuskan menentangkan petualangan bersenjata Inggris yang dinanti-nantikan, sementara itu K.R.T. Secodiningrat berikhtiar sebisa mungkin guna meraih kesepakatan berdamai antar Kesultanan Yogyakarta dan penguasa Inggris.
Percobaan ini malah tersia-sia, semenggahnya terjadi karena pencegatan pesuruh R.T. Secodiningrat kepada Sir Raffles, akibat intrik bertele-tele dalam lingkaran istana, ditopang penguasa administratif Belanda tertentu yang hendak mempertahankan kuasanya…peristiwa ini didahului dan disusul pelbagai kejadian tragis, seumpamanya asasinasi Patih Danurejo II yang dianggap telah mengkhianati Sultan Raja, meskipun kalau perbuatan hina ini tentu saja memedihkan hati Yang Mulia yang sendirinya akan menemui nasib semacam itu, di mana dima’zulkan dari singgasana kianinya, dikarenakan pertengkaran intern di lingkungan astana. Mulai kala itu, demi keselamatan Sultan Raja mengambil keputusan turun takhta dengan mengembalikan mahkota kepada Sultan Sepuh yang tidak ayal lagi, menerimanya dengan sukacita. Segenap hak luar biasa Pangeran Suroyo dilucutkan dan Sultan yang baru naik takhta menunjuk Pangeran Mangkudiningrat, putra ke-11 dari permaisurinya, Ratu Hemas, sebagai wakilnya.
K.R.T. Secodiningrat amat menghelaskan kerama ini karena anggap kezaliman Sultan Sepuh itu berkukarma, sebagaimana terlihat jelas dari perlakuannya yang keji terhadap kaum menak baik terhadap wong cilik, berjanji kepada Pangeran Suroyo bahwa dirinya akan mengatasi masalah serba sulit ini. Isbat, ketabahan teguhnya mendapat pahala dengan penobatan kembali Sultan Raja seusai mangkat mandat Inggris atas pulau Jawa.
Di kelak hari, pada usia lebih lanjut, sebuah pagelaran wayang kulit sedang dipentaskan di kediaman K.R.T. Secodiningrat yang menjudulkan secara tematis wiracarita tokoh pelaku utama-pahlawan Bima, terkenal untuk kejujuran dan watak ksatryanya, setelah terima wejangan dari Maharesi Durna – ustadnya, supaya mencari tirta amarta (air suci) kehirupan. Selama tamasyanya yang penuh akan mara dan rintangan, Bima terhimpit membanteraskan lawan makhluk bangsat yang terpaksa harus dibasmi. Akhirnya, Bima menyeberangi samudra dan sehabis mengadu seekor naga beringas, bertemu dengan manusia kerdil bernama Dewa Ruci yang kemudian memerintahkan Bima yang berperawakan besar masuki tubuh kecilnya lewat liang kupingnya. Dalam badan Dewa Ruci, Bima menjumpai berbagai macam gejala, warna, pola dan ujud; Satu per satu yang Dewa Ruci menerangkan.
Dari perbincangan ini, Bima akhirnya memahami apa itu makna berintisari kehidupan dan kepentingan mawas diri. Dengan rendah hati, Bima menyampaikan rasa terima kasihnya yang setulus-tulusnya kepada Dewa Ruci. Makhluk kecil ini dikagumi lantaran mengetahui semua tentang rahasia kehirupan, kebijaksanaan, ketenteraman dan teka-teki kebahagiaan langgeng, segera sesudahnya, Dewa Ruci menghilang dari layar sebeng pewayangan.
Kini, K.R.T. Secodiningrat nyampang sadar bahwa ibarat mencari tirta amarta itu dimaksud sebagai lambang perjuangan insan dalam hal mendambakan ketenteraman dan kebahagiaan abadi, apa yang pada hakekatya sesuatu yang ditemukan dalam diri batin seseorang. Namun untuk menggapai jajaran dasar guna sedemikian, mutlak perlu agar
seorang mengekang dan mengendalikan indra pencium, pendengar, perasa, peraba dan pelezat. Manakala seberhana indra ini dikuasai, seseorang tidak mudah terimbit oleh alam fana loka ini yang gelap gulita. Oleh sebab itu yang jasmaniah bisa sepadan dan bergabung dengan yang rohani, selanjutnya memperbolehkan perhubungan langsung dengan yang Maha Tunggal – Tuhan.
10 mei 1831, jam menunjukkan pukul 6 dinihari, almarhum K.R.T. Secodiningrat dimakamkan di Rogocolo, Mrisi, acara penguburan itu dihadiri ribu-ribuan pelayat.
Adapun keturunan K.R.T. Secodiningrat atau Tan Jin Sing, dalam kurun waktu satu setengah abad telah membuahkan dua golongan, yakni Jawa dan Tionghoa; Raden Dadang menggantikan ayahnya baik sebagai Kapten Cina dan Bupati, kelak menyandangkan gelar R.T. Secodiningrat II; Seperti diizinkan tradisi Islam, mempunyai tiga istri: (1) wanita Tionghoa Peranakan setempat dengan sebutan Nyonya Kapitein, (2) wanita Jawa bergelar Mas Ajeng Secodiningrat (3) seorang wanita Jawa yang disapa Raden Nganten Secodiningrat. Salah satu putri Raden Dadang – B.R.A. Kumaraningrum (Putri Bhe Siu Kai) menikahi Pangeran Mangkusuno dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sebermulanya, sehubungan bujukan residen Belanda yang mewakili administrasi Hindia Belanda Timur, terhadap diri Sri Sultan Hamengkubuwono VI, semua warasa syah K.R.T. Secodiningrat dianjurkan olehnya memindahkan tanah warisannya pada Kesultanan, lagi pula akan diberi ganti rugi finansial sebesar f 7.800 per tahun, atau f 650 per bulan. Jika jumlah ini digabungkan sama ganti-ganti kerugian atas tanah-tanah di luar keresidenan Yogyakarta yang telah diterima
K.R.T. Secodiningrat sejak tahun 1824, maka jumlah senilai f 1.500 per bulan mungkin dibagi-bagi antara segenap ahli warisnya. Persetujuan ini tertera dalam Akte Notaris no. 57 tertanggal 24 april 1861.
Dalam risalat singkat ini riwayat K.R.T. Secodiningrat (Tan Jin Sing) dikissahkan, seseorang melihat bahwa dirinya telah berhasil pada zamannya melakukan apa yang dewasa ini jadi angan-angan dan dianggap sangat genting bagi masa depan proses pembangunan wawasan kebangsaan Indonesia, yaitu pembauran yang merupakan alur berjalur ganda di mana baik mazhab integrasi dan peleburan (asimilasi) dipandang sama, tidak salah satu pun di antaranya dapat melebihi yang lain, tidak satu pemerintah pun disahkan menimbrung dalam hak azasi seorang manusia untuk hidup sesuai pilihannya asalkan serasi dengan kesusilaan baik yang tercantum dalam Undang-Undang. Sebelum pemasukan dan pemberlakuan susunan hukum semi-aparteid oleh Pemerintahan kolonial Belanda sedari akhir Perang Jawa yang sangar, seantero pulau Jawa memang masyarakat amat kosmoplitan di mana terdapat rasa kesetiakawanan kuat warga masyarakat yang berlatarbelakang, beragama dan berketurunan etnis majemuk.
—————-
Salam
RM Danardono HADINOTO , 2005 , 13895
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua