Budaya-Tionghoa.Net | Belakangan ini timbul perdebatan yang hangat di kalangan komunitas Tionghoa tentang penggunaan bahasa Mandarin di Indonesia dan bagaimana Komunitas Tionghoa dan masyarakat Indonesia luas menyikapi penggunaannya yang kian populer ini. Ada yang mengaitkan penggunaan Mandarin ini dengan loyalitas seseorang terhadap Indonesia.
Argumentasi ini memang menarik. Akan tetapi kiranya orang perlu berkepala dingin dan menggunakan akal rasional dalam mengaitkan penggunaan sebuah bahasa dengan loyalitas seseorang atau sebuah komunitas terhadap tanah airnya.
|
Kevin Rudd, pemimpin Australian Labor Party yang diperkirakan akan menjadi Perdana Menteri Australia baru di ujung Pemilihan Umum sebelum akhir tahun ini, sempat menghebohkan dunia media pada acara APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang dihadiri banyak negara-negara besar di Sydney, Australia awal bulan ini. Mengapa?
Karena penggunaan Mandarin. Pada acara penyambutan Hu Jin Tao, Kevin Rudd berpidato dalam Mandarin secara fasih dan melanjutkan pembicaraannya dengan Hu Jin Tao dalam bahasa ini. Kemampuan Rudd ber-Mandarin selain membuat Hu Jin Tao dan delegasinya terkesima juga menempatkan Rudd sebagai bintang di dalam acara APEC yang berkaitan dengan RRT.
Dapatkah penggunaan Mandarin oleh seorang calon Perdana Menteri Australia pada acara resmi ini dikaitkan dengan loyalitas-nya terhadap bangsa Australia? Kiranya tidak. Menurut penulis, ia menggunakan Mandarin untuk memperdalam keakrabannya dengan Hu Jin Tao sehingga bilamana ia kelak berhasil menjadi Perdana Menteri hubungannya dengannya berjalan lancar.
Walaupun ini memiliki dampak politik penting, Kevin Rudd tentunya masih menitik beratkan kepentingan Australia. Jadi dalam hal ini, Ia tidak memiliki loyalitas berganda. Argumentasi yang serupa bisa digunakan untuk perkembangan di Indonesia, di mana penggunaan mandarin kian menyebar luas.
Penggunaan bahasa Mandarin atau, yang lebih luas lagi ruang lingkupnya — menjalankan ritual kehidupan yang berkaitan dengan kebudayaan Tiongkok atau agama kepercayaan Kong Hu Cu atau Tao — bisa tumbuh secara wajar atau karena kepentingan pribadi. Dekat atau tidaknya seseorang dengan kebudayaan leluhurnya merupakan hak pribadi yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, apalagi oleh negara. Ini merupakan salah satu dasar Hak Azazi Manusia yang harus dijunjung tinggi oleh kita semua.
Penggunaan bahasa Mandarin dan kedekatan seseorang dengan kebudayaan yang datang dari luar Indonesia merupakan kehadiran budaya pada diri orang yang bersangkutan. Kehadiran budaya dalam tubuh seseorang ini tidak sinonim dengan kesetiaan orang tersebut terhadap sebuah negara atau bangsa. Jadi ia bukan patokan yang bisa dipakai untuk mengukur loyalitas terhadap Indonesia.
Loyalitas yang diangkat di sini tentunya berkaitan dengan makna politik, kenegaraan dan kebangsaan. Ini yang penting. Bukan loyalitas yang berkaitan dengan makanan, lokasi hidup, hawa udara atau tim olah raga.
Salah satu ukuran yang efektif berkaitan dengan sikap seseorang terhadap Indonesia . Bilamana ia menganggap Indonesia sebagai tanah airnya, bilamana ia berbakti untuk Indonesia, dalam pengertian menaruh kepentingan bangsa Indonesia di atas kepentingan bangsa lain, bilamana ia memperjuangkan perbaikan nasib bangsa Indonesia secara keseluruhan dan bilamana ia rela
berkorban untuk bangsa Indonesia – apapun bentuk pengorbanannya, Ia adalah seorang yang loyal, setia terhadap Indonesia.
Ia bisa saja memiliki nama Tionghoa. Ia bisa saja memiliki mata sipit dan berkulit kuning langsat. Ia bisa saja fasih berbahasa Mandarin dan agak pelo dalam berbicara Indonesia . Ia bisa saja melakukan ibadah Konghucu. Ia bisa saja menggemari lukisan-lukisan Tiongkok dan menonton tarian-tarian Tiongkok. Ia bisa saja lebih suka berlibur di Guilin ketimbang Bali . Ia bisa saja lebih mendukung kemenangan seorang olahragawan Tiongkok yang tampan atau cantik ketimbang seorang olahragawan Indonesia . Bahkan ia bisa saja memiliki kewarganegaraan asing – karena berbagai alasan pribadi—dan menetap di luar Indonesia . Bilamana ia memiliki attributes yang terpapar di atas, ia adalah seorang yang loyal terhadap Indonesia .
Kita bisa menggunakan sebuah argumentasi klasik: Seorang yang bernama Oey Hay Djoen , yang pernah di buang ke Pulau Buru selama 10 tahun dan yang baru-baru ini dianugerahi gelar Tokoh Kebangsaan oleh Gusdur, adalah seorang yang jauh lebih loyal terhadap Indonesia, ketimbang seorang yang bernama Probo Sutedjo, yang memiliki predikat “pribumi” dan yang meringkuk sebentar di penjara karena tindakan kriminal korupsi yang merugikan bangsa Indonesia.
Satu contoh lagi. Cukup banyak orang, baik yang Tionghoa maupun non Tionghoa, terutama yang berdagang, kini belajar Mandarin. Bahkan cukup banyak penjual barang-barang kesenian di Bali yang non Tionghoa mulai fasih berbicara dalam Mandarin. Tapi tidak semua yang melakukannya ini ber-orientasi ke Tiongkok dalam arti politik, kenegaraan atau kebangsaan.
Akan tetapi posisi komunitas Tionghoa di Indonesia memang berbeda. Komunitas Tionghoa, sebagai akibat sistim penjajahan Belanda yang berlangsung sedemikian lamanya, kehadiran berbagai UU dan peraturan yang bersifat diskriminatif selama berpuluh tahun di zaman kemerdekaan dan adanya sikap rasis pimpinan pemerintahan, senantiasa berada di sebuah panggung.
Posisi ini memang tidak menguntungkan komunitas Tionghoa. Setiap gerak-gerik menjadi perhatian dan bisa menimbulkan persepsi negatif. Reaksi sekelompok Tionghoa terhadap persepsi negatif itu-pun mengundang berbagai respons masyarakat. Posisi Komunitas Tionghoa jauh lebih rawan ketimbang suku-suku lainnya di Indonesia .
Di dalam dunia politik, persepsi negatif – benar atau tidaknya basis persepsi itu — bisa menimbulkan bencana yang besar untuk sebuah komunitas. Inilah yang diangkat oleh beberapa pembicara di Seminar INTI di Jakarta pada tanggal 25 Agustus yang lalu. Yang dianggap sebagai tindakan kebablasan bukan adanya penggunaan bahasa Mandarin, atau kedekatan dengan Kedutaan
Besar RRT, atau kedekatan dengan pedagang-pedagang RRT semata-mata. Karena hal-hal yang disebut ini adalah sebuah kewajaran yang bukan saja harus diterima tetapi juga harus dianjurkan untuk terus berkembang. Yang dijadikan masalah adalah konteks yang berkelebihan di mana, sebagai contoh:
Pada acara perayaan HUT NKRI di Jakarta — di mana yang hadir adalah orang-orang Warga Negara Indonesia yang berbahasa Indonesia, oleh organisasi yang memiliki misi dan visi yang ber-orientasi ke Indonesia — bahasa pengantar acara yang digunakan adalah bahasa Mandarin, dinyanyikan lagu Indonesia Raya yang di Mandarin-kan, mengundang Duta Besar RRT sebagai key-note speaker.
Argumentasinya: Kalau ini diadakan di Beijing di mana yang hadir kebanyakan orang yang tidak bisa berbahasa Indonesia, tentu wajar bilamana yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah Mandarin, yang diundang sebagai key-note speaker adalah salah satu pejabat pemerintah Tiongkok. Bahkan cukup wajar bilamana lagu Indonesia Raya dinyanyikan dalam versi Mandarin, untuk mempertegas makna lagu agung itu.
Tetapi kalau acara yang sama di adakan di Jakarta, di mana cukup banyak hadirin tidak mengerti Mandarin, bukankah lebih wajar kalau yang dijadikan bahasa pengantar adalah bahasa Indonesia dengan sesekali ada terjemahan ke Mandarin? Juga patut mengundang Dubes RRT sebagai salah satu tamu kehormatan, tetapi lebih bijak bila yang dijadikan key-note speaker adalah seorang tokoh politik nasional Indonesia .
Hal-hal yang dianggap kebablasan ini bisa menimbulkan persepsi negatif yang merugikan, persepsi yang berkaitan dengan loyalitas berganda. Pernyataan ini tentu sangat berbeda dengan anjuran Komunitas Tionghoa menanggalkan semua identitas ke-Tionghoaannya, di mulai dari penggunaan bahasa dialek Tionghoa, nama panggilan, ibadah agama Kong Hu Cu dan Tao hingga larangan penggunaan huruf Tionghoa dan larangan perayaan Imlek.
Memang dalam hal ini diperlukan adanya keseimbangan antara kewajaran dan upaya mengurangi persepsi negatif.
Makan-makan enak adalah tindakan wajar. Menghamburkan uang secara berlebih-lebihan, kalau ada uangnya, juga merupakan tindakan wajar. Menonjolkan ke Tionghoaan, termasuk penggunaan bahasa Tionghoa – Mandarin atau dialek lain di berbagai acara secara umum 100% wajar. Mengucilkan orang yang tidak bisa berbahasa Mandarin-pun merupakan tindakan wajar. Mau dekat dengan RRT atau Kedubes RRT, itu wajar. Mengutamakan pembangunan RRTketimbang ber-investasi di Indonesia juga merupakan kebijakan dagang setiap pedagang. Yang namanya “pribumi”-pun menjalankan hal yang sama, kalau dasar hidupnya berdagang.
Tetapi apakah kewajaran-kewajaran tersebut bijak? Apalagi kalau kewajaran itu menimbulkan persepsi negatif – di saat Indonesia sedang dilanda kesenjangan ekonomi?
Tidak adil? Yah itulah kenyataannya dan pengubahannya memerlukan perjuangan bersama. Perjuangan yang bersifat konstruktif, tidak destruktif. Bukan melawan rasisme dengan rasisme. Bukan melawan rasisme dengan kecaman-kecaman terhadap agama Islam. Bukan mendemonstrasikan segala kekayaan. Bukan dengan menunjukkan bahwa RRT adalah negara leluhur yang
harus didekati untuk memperoleh perlindungan. Bukan dengan memusuhi semua elemen yang berbeda pendapat. Dan bukan sekedar menunjukkan militanisme dengan modal kegagahan sekelompok orang saja.
Para pemimpin Komunitas Tionghoa harus aktif meyakinkan semua lapisan masyarakat Indonesia bahwa Komunitas Tionghoa menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Kedekatan dengan RRT dan segala yang berkaitan dengan kebudayaan-nya adalah sikap wajar kehadiran budaya di dalam diri komunitas ini. Tetapi loyalitas yang bermakna politik tetap ke Indonesia .
Dan ini dimanifestasikan dengan berbagai tindakan kongkrit yang merakyat. Tindakan yang mampu mengubah hukum yang ada. Tindakan yang mampu menarik dukungan luas masayarakat mayoritas. Tindakan yang menghilangkan berbagai persepsi negatif.
Siauw Tiong Djin via HKSIS ,, 27648
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua