Budaya-Tionghoa.Net | Sofian Tan adalah seorang Tionghoa asal desa Sunggal-Medan . Dia tidak hanya mengalami diskriminasi rasial tetapi juga keluarganya dikejar-kejar dengan tuduhan PKI pada tahun 1965. Akan tetapi dia tetap berhasil menjadi pemuda pertama yang menyandang gelar dokter di Sunggal. Seorang pemuda yang lebih terdorong lebih baik mengatasi kemiskinan didaerah dimana dia hidup dengan membangun sekolah. Berusaha mengatasi kemiskinan dengan meningkatkan pendidikan rakyat disekitar dan berusaha mengatasi diskriminasi rasial yang masih ada.
|
Sofyan dilahirkan pada 25 September 1959 di desa Sungal , Medan , Sumatera Utara. Ayahnya kelahiran Pangkalan Brandan dan ibunya asal Belawan. Sofyan memiliki sembilan saudara kandung dalam situasi ekonomi keluarga yang miskin dengan rumah yang masih berlantai tanah . Keluarga Sofyan juga pernah dituduh PKI pada tahun 1965. Disekitar tempat tinggal mereka dipenuhi penjudi dan pemabuk. Dalam kondisi yang serba tidak nyaman itu siapapun akan ragu dengan masa depan. Nyatanya Sofyan berhasil keluar dari kondisi tersebut melalui pendidikan.
Dia menempuh pendidikan menengah atas di SMA Sutomo Medan (1977) . Setelah itu dia melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Methodist di Medan. Di masa kuliah Sofyan mengalami diskriminasi pada saat ujian negara. Dimasa kuliah ini Sofyan juga berkerja sebagai guru eksakta di almamaternya , SMA Sutomo. Pada saat Sofyan lulus, dia menjadi satu-satunya lulusan dokter dilingkungan keluarga dan desanya.
Walau menyandang gelar dokter tetapi dia tidak memilih praktek dokter. Lebih baik jadi dokter “masyarakat” daripada menjadi dokter medis. Sofyan punya cita-cita agar anak miskin bisa menempuh pendidikan disekolah yang bermutu. Banyak pihak yang meragukan cita-citanya bisa terwujud karena kondisi ekonomi Sofyan Tan sendiri belum menggembirakan. Secara bertahap Sofyan mulai mewujudkan impiannya.
Pada tahun 1987 , Sofyan bersama rekannya mulai membangun sekolah Iskandar Muda. Pendanaan diperoleh dengan mengutang material bangunan dan meminjam uang sebesar 60 juta kepada pihak bank. Dana sebesar itu dialokasikan untuk tanah , “uang pelicin” untuk petugas bank dan komisi untuk para tetangganya . Selama setahun Sofyan pontang panting mengurus pendirian bangunan ini .
Pada tahun 1988 , bangunan sekolah selesai dengan kapasitas 11 ruang kelas diatas lahan seluas 1500 meter persegi . (Situs Yayasan Pendidikan Iskandar Muda) Bangunan awalnya didominasi papan , jendela anyaman kawat dan atap seng. Sekolah itu ditujukan untuk anak-anak dari kalangan tak mampu dengan asas pembauran dari berbagai kelompok masyarakat seperti masyarakat Tionghoa , Melayu , Batak dan India. Masa awal sekolah ini diikuti oleh 171 siswa dan 15 guru. Di tahun awal pendidikan mulai bergulir Sofyan mulai kesulitan mencicil hutangnya dan juga membayar honor guru. Ditambah lagi banyak siswa yang mengalami kesulitan untuk membayar uang sekolah. Sofyan terus bertahan dan untuk usaha kerasnya ini Sofyan masuk sebagai contoh figur dari “Perjalanan Tujuh Orang Gila” (Kompas ,22 Agustus 1992).
Di tahun 1989 , Sofyan mendapat penghargaan dari Asokha International dalam kategori Ashoka Inovator for Public karena telah dianggap melakukan berbagai inovasi untuk mengatasi problema pluralisme . Di tahun 1990 , Sofyan dianugrahi penghargaan sebagai “Pemuda Pelopor Tingkat Nasional dibidang Kesetiakawanan Sosial” oleh Menpora Akbar Tanjung. Pada tahun 1994 , BJ Habibie mengunjungi sekolah Iskandar Muda dan hatinya tergetar atas perjuangan Sofyan Tan. Habibie tak ketinggalan untuk mengambil 25 anak asuh untuk mengikuti pendidikan di Iskandar Muda.
Di tahun 2002 , Gubernur Sumatera Utara , Rizal Nurdin memberikan penghargaan kepada Sofyan Tan dengan “Anugrah Wiyata Mandala” sebagai tokoh pendidikan di Sumatera Utara. Di tahun 2007 , sistem pendidikan multicultural ala Iskandar Muda dipresentasikan dalam sebuah symposium di Selandia Baru , berharap agar sistem ini dapat juga dijadikan model PBB untuk mengatasi permasalahan prasangka di masyarakat Eropa terhadap kaum Muslim.
Sekolah yang didirikannya terus berkembang dari jenjang SD , SMP , SMA dan SMK Iskandar Muda dan juga bangunan baru di tahun 2007 . Pembiayaan pendidikan disiasati dengan sistem anak asuh . Inovasinya adalah program anak asuh berantai dimana kalangan bumiputera mengangkat anak asuh dari kalangan non-bumiputera , vice versa. Tak kurang dari Nurcholish Madjid dan tokoh dari berabagai agama turut menandatangani prasasti di bangunan Iskandar Muda. Tenaga pengajar diperkuat juga oleh para alumnus perguruan tersebut.
Di tahun 2008 , Sofyan mengajak para dermawan untuk memfasilitasi pendirian Waroeng Pintar. “Warung Pintar” difungsikan sebagai wadah interaksi warga Medan dengan fasilitas penunjang perpustakaan mini . Dasar pemikirannya bahwa Medan adalah kota dengan keragaman etnis , agama dan kultural. Sampai di tahun 2011 , sudah berdiri tiga “Warung Pintar” di Medan dan ditambah bantuan buku-buku dari para dermawan. Seputar Indonesia menobatkan Sofyan Tan sebagai tokoh Social Entrepeneur 2011. (Seputar Indonesia , 16 Januari 2012)
Menurut Sofyan , setiap warga negara berhak mendapatkan kedudukan yang sama dan hal ini terhambat oleh masih adanya diskriminasi yang sudah terjadi sejak masa kolonial. Masih ada jurang pemisah yang terbentuk dari stereotip dan prasangka negative . Seperti Tionghoa yang merasa menjadi sapi perahan dan non-Tionghoa yang merasa Tionghoa sebagai penguasa perekonomian di Indonesia . Itu semua mudah untuk digosok dan merekayasa kerusuhan. Solusinya adalah melalui pendidikan sejak dini sebagai langkah awal dan ditargetkan untuk generasi muda yang belum sempat mengalami trauma politik.
Sofyan membuat sejarah dengan orang Tionghoa pertama yang mencalonkan diri dalam pemilihan walikota Medan . Sofyan berpasangan dengan calon wakil-walikota , seorang wanita asal Padang , Nelly Armayanti , dengan dukungan PDI-P. Sebelumnya , Sofyan dinominasikan sebagai wakil walikota dengan pasangan walikota incumbent , Rahudman. Dimenit-menit terakhir Rahudman meninggalkan Sofyan tanpa alasan yang jelas . Sofyan dengan pasangan barunya membuat sejarah berikutnya dengan lolos ke pemilihan putaran kedua. (Jakarta Post , 7 Agustus 2010). Sofyan akhirnya kalah dalam pemilihan tersebut. Di tahun 2012 , Konjen Republik Rakyat Tiongkok , Mrs Yang Lingzhu menyatakan mendukung model pendidikan di Sekolah Iskandar Muda saat menerima kunjungan Sofyan dan rekan-rekannya.
Penutup
Salah satu member forum Budaya Tionghoa , mengatakan bahwa sekalipun istilah yang digunakan Sofyan Tan adalah pembauran, tapi jelas konsep pembauran bukan lagi dalam pengertian melting-pot. Penekanannya adalah pluralisme, gado-gado dimana setiap orang dan setiap anak sekolah harus bisa bersama-sama sekolah dengan mempertahankan segala perbedaan yang ada, ya beda suku, beda etnis, beda agama. Sungguh indah seandainya sejak anak-anak di sekolah Taman-kanak-kanak sudah dibiasakan hidup bersama, disekolah belajar dan main bersama tanpa merasa adanya diskriminasi dengan segala perbedaan yang ada. Dan itulah yang diperjuangkan pemuda Sofian Tan di Sunggal dengan membangun sekolah TK sampai SMA sejak tahun 1987 itu. Dan usaha demikian inilah yang seharusnya mendapat dukungan kuat dari Pemerintah, sedang tokoh seperti Sofian Tan demikian inilah yang sangat dibutuhkan bangsa ini. (Chan CT , 28739)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua