Budaya-Tionghoa.Net | Masalah totok dan peranakan kadang menyebalkan untuk saya. Mereka yang merasa peranakan seharusnya ingat bahwa leluhur mereka juga adalah totok dan yang totok harus ingat bahwa keturunannya nanti akan menjadi peranakan. Peranakan sering menyebut sengkek dan totok menyindirnya dengan istilah kiaw seng. Apa ini bukan menghina leluhur mereka dan meludahi keturunan mereka ?
|
Orang yang merasa Totok kadang sombong dan merasa paling berbudaya, tapi ketika anak mereka menikah, banyak yang mengenakan jas dan gaun pengantin ala Barat. Sedangkan kiawseng di Tangerang, Kemang, Ciampea masih mau upacara
shangtou, qiqiao, lidou, pai Tiandi. Bisa dikatakan mereka yang disebut kiaw seng Tangerang melaksanakana 6 tata cara menikah dalam kitab Liji.
Perselisihan Totok dan Peranakan yang terjadi pada masa lampau sebenarnya menurut saya adalah politik pemecah belah. Coba lihat pernyataan kaum peranakan yang menghina penganut Khonghucu. Dan kita juga harus lihat kaum Totok memandang mereka seperti orang barbar. Terkadang ditambah sebutan ular berkaki empat.
Pada masa dahulu memang kaum Peranakan banyak yang mendapat pendidikan Barat sedangkan kaum Totok mendapat pendidikan Timur. Nasib malang pada masa itu, Tiongkok sedang dalam keadaan hina dina. Kita jangan lupa kondisi perasaan rakyat Tiongkok yang dianjingkan oleh pihak barat di konsesi mereka di Tiongkok. Jadi tidak aneh ada perasaan inferior dibeberapa kalangan Tionghoa pada masa itu dan memandang rendah kaum Totok serta beranggapan bahwa budaya leluhur merekalah yang menyebabkan keterpurukannya. Selain itu juga ada faktor kekaguman akan budaya Barat dan ada bebeberapa Peranakan yang tidak melepaskan tradisi leluhur tapi menyerap budaya setempat.
Sedangkan bagi kaum Totok, mungkin dengan mempertahankan budaya mereka adalah suatu cara mereka melawan penghinaan dari Barat dan Jepang. Dan selain itu juga ada rasa kebanggaan terhadap budaya leluhur mereka. Tapi banyak juga yang disebut Totok berduit dari Tiongkok yang juga malu jika berbudaya leluhur.
Pandangan yang beranggapan bahwa kaum Peranakan adalah mereka yang berpendidikan Barat, beragama non Tridharma, telah bergenerasi lahir di Nusantara ini, lepas dari adat istiadat mereka, berbahasa Mandarin atau dialeknya sebenarnya pandangan yang salah . Kalau kita lihat, bagaimana mereka yang di Singkawang atau Tangerang yang terdekat ? Apakah mereka totok atau peranakan ? Saya sempat melihat film ritual Tatung mereka dan melihat ada beberapa ritualnya jelas terpengaruh oleh budaya setempat.
Pandangan bahwa kaum Totok perusak ekonomi Indonesia mungkin melekat kuat disebagian kaum Peranakan. Tapi kaum Peranakan ini lupa bahwa dahulu leluhur mereka yang jelas- jelas totok mayoritas hidup dari berdagang, bertani atau menjadi
buruh. Dan kaum totok jelas mayoritas berpendidikan lebih rendah, modal lemah bahkan dikatakan tidak ada, mau tidak mau harus memasuki jalur perdagangan, buruh atau petani sebagai salah satu cara mereka mengatasi kemiskinan dan bertahan hidup.
Jika menjadi besar kemudian dituduh menjadi binatang ekonomi jelas tidak adil. Karena kerusakan ekonomi tidak bisa bertepuk sebelah tangan, harus ada tangan lain yang juga memiliki andil merusaknya.
Mungkin kaum Peranakan lupa pada masa jaman Belanda, banyak kaum peranakan yang memiliki CV, NV atau bekerja di perusahaan asing yang juga secara tidak langsung maupun tidak langsung dianggap memiliki andil “merusak” atau “memeras” ekonomi dimata rakyat setempat. Sejatinya pengusaha hitam memerlukan pejabat bejat agar bisa memperkaya diri. Hal ini yang tidak pernah terpikir atau tidak mau dipikir ? Disertasi Twang Peckyang mungkin bisa memberikan gambaran sedikit mengapa dominasi ekonomi kaum Peranakan pada masa jaman Belanda bisa tergeser pada masa Republik.
Akhir kata, sekarang ini siapa yang bisa menyebut dirinya Totok ? Jika ada, mungkin umur sudah uzur atau masuk ke liang lahat.
Juga masih maukah kita berkelahi gara-gara sebutan itu ? Jika ya, kita galakkan kembali larangan menikah antara orang Hokian
dan Khe saja. Kemudian bangkitkan chauvinist orang Khonghu di Indonesia yang merasa mereka adalah keturunan Han yang asli. Tunggu saja orang Shandong menghina orang-orang Hokian dan Khe sebagai orang barbar atau rendahan. Kobarkan lagi permusuhan antar marga seperti leluhur mereka di kampung halamannya. Perdalam lagi perang antar Totok dan Peranakan.
Mau seperti itu ?
Sejatinya manusia itu memiliki keterkaitan batin dengan tempat mereka dilahirkan. Jika ada sekelompok orang yang datang ke suatu
tempat dan memiliki keterkaitan dengan tempat kelahiran mereka, ini adalah hal yang wajar. Kaum Totok hingga tiga generasi masih bisa memiliki rasa keterkaitan dengan tanah leluhur mereka. Tanah leluhur itu bisa Xia Men, Quanzhou, Chaozhou, Meixian. Dan hanya segelintir dari mereka yang datang ke Beijing menghadap kaisar atau mencari Sun Yatsen. Jika tanah kelahiran mereka mengalami bencana, musibah, ikatan emosional bisa menguat.
Dan hal ini tidak hanya berlaku untuk etnis Tionghoa saja, tapi berlaku untuk etnis-etnis lainnya. Pada jaman lampau, pulang pergi
kembali ke kampung halaman tidak semudah seperti sekarang ini. Mereka akan bernostalgia dengan menceritakan kepada anak cucunya, merawat budayanya dan tradisinya.
Kita juga bisa lihat mereka dari Indonesia yang merantau keluar negri, entah ke Asutralia, Belanda, Amerika. Pasti menyimpan
kenangan dan ikatan batin terhadap tempat kelahiran mereka. Tidak aneh jika mereka juga berkumpul bersama, senang jika bertemu sesama dari Indonesia, batin gelisah jika kampung halamannya terkena bencana, risau hati mereka terhadap kondisi negara Indonesia. Lantas apakah mereka menjadi seorang pengkhianat di negara tempat mereka tinggal sekarang ?
Jika tolok ukur perlakuan mayoritas terhadap minoritas sebagai acuan pokok dan utama atas “kegagalan” suatu etnis hidup bersama. Maka mindset saya akan berubah menjadi sangat sederhana. Jika ada gereja dibakar, artinya umat Kristiani yang minoritas memiliki “salah” besar dalam bersikap terhadap mayoritas.
Jika ada seorang tua yang membakar hio di depan rumahnya dan ditertawakan oleh mayoritas penduduk sekitarnya, artinya orang tua itu “salah” dalam melaksanakan keyakinannya. Jika etnis Madura bentrok dengan etnis Dayak di Kalimantan, maka kesalahan ada ditangan etnis Madura. Jika terjadi pembantaian oleh Hitler terhadap kaum Gypsi, Yahudi, maka kesalahan ada ditangan kaum Gypsi dan Yahudi. Jika ada vihara yang dibakar oleh kaum Kristiani di Korea, maka kesalahan ada ditangan kaum Buddhist. Begitu analoginya ? Benarkah ?
Bahwasanya ikatan batin dengan tanah kelahiran begitu kuat, kita tidak usah berdongeng ria memberikan kontribusi terhadap negara. Itu terlalu mengambang jauh tinggi ke langit. Tanyakan saja pada diri sendiri, kontribusi apa yang telah saya berikan untuk lingkungan tempat saya dilahirkan, kontribusi apa yang saya berikan untuk lingkungan tempat saya mencari nafkah. Jika sudah bisa seperti ini, melangkahlah keluar, kontribusi terhadap provinsi, baru negara.
Kita lihat sekarang ini, ketika Imlek, banyak etnis Tionghoa pendatang di Jakarta atau pulau Jawa secara luasnya. Mereka akan berbondong-bondong kembali ke tanah kelahiran mereka, yaitu Singkawang, Medan, Pontianak, Bangka dan banyak daerah lainnya di Indonesia. Mereka sudah tidak kembali lagi ke Guangzhou, Meixian. Mereka semua kembali ke tanah kelahiran mereka yaitu ke wilayah- wilayah yang menjadi bagian dari Indonesia.
Bahwasanya etnis Tionghoa rapuh, benar adanya. Karena mereka tidak memiliki konsep etnis yang kuat. Bagi saya, YanHuang adalah simbol pemersatu etnis Tionghoa dimanapun. Bukan Sun Yatsen, Mao Zedong, Deng Xiaoping.
Ada milist yang membawa nama Tionghoa Indonesia dengan bangga mengusung gambar Sun Yatsen sebagai bapak bangsa.
Saya terus terang tertawa melihat itu, apakah owner dan pendirinya milist tersebut tidak tahu siapa Sun Yatsen dan tidak kenal siapa
YanHuang ? Jadi menurut saya, banyak orang Tionghoa sendiri tidak paham akan hal itu.
Xuan Tong , 27369
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa