|
Sebenarnya yang disebut dengan kelenteng di tulisan ini, ada bermacam macam aslinya , ada yang di sebut miao, si, guan, ting dllsb. Tetapi untuk memudahkan semuanya di sebut kelenteng, karena yang di Indonesia (dalam bahasa Indonesia atau bahasa lokal populer) semuanya di sebut kelenteng. Walaupun sebenarnya dari sebutan aslinya sudah menunjukkan paling tidak sedikit perbedaan. Agar tidak larut dalam masalah perbedaan penyebutan nya, maka semua disebut kelenteng.
Jadi kelenteng dalam hal ini lebih merujuk kepada semua bangunan yang digunakan orang Tionghua untuk melakukan kegiatan keagamaan atau kepercayaannya diluar dari agama yang datang dari barat seperti Kristen, Katolik dan Islam.
Di Beijing ada kelenteng Buddha, ada kelenteng Tao, tetapi sedikit susah untuk mencari kelenteng Khong Hu Cu. Di Qu Fu, kota kelahiran Khong Hu Cu, di samping rumah Khong Hu Cu ada sebuah kelenteng yang dipersembahkan untuk menghormati Khong Hu Cu.
Di Tiongkok sebelah utara, baik di Hebei, Shanxi, Shaanxi, Gansu, XinJiang, LiaoNing, kebanyakan terdapat pemisahan yang jelas kelenteng Buddha dan kelenteng Tao. Mungkin hanya ada satu pengecualian yang teramati di Xuankongsi, kelenteng yang termasyhur karena tergantung di tebing di Hunyuan dekat Datong, Shanxi.
Situasi pemisahan yang jelas antara kelenteng Budha dan kelenteng Tao juga masih terlihat dengan jelas sampai di Tiongkok tengah, seperti di Shanghai, Jiangsu, Jiangxi, Henan, Hubei, Hunan, Anhui dan Sichuan. Juga di zhejiang, kecuali di Tiantaishan, yang dikatakan tempat lahir Zen, dimana ajaran Budha dan Tao bersinggungan, dalam banyak hal menyatu dan membentuk Zen.
Sebenarnya di luar kelenteng Tao dan dan kelenteng Budha, ada lagi kelenteng dengan obyek pemujaan leluhur. Kelenteng seperti ini mempunyai obyek pemujaaan dengan tokoh tokoh yang terkait dengan sejarah Tiongkok, seperti KwanKong, dan kebanyakan memang kelenteng ini mempunyai obyek pemujaan Kwan Kong. Tentu saja obyek pemujaan nya tidak hanya terbatas Kwan Kong saja, bisa juga leluhur satu kelompok atau satu she tertentu atau figur bersejarah yang mempunyai jasa tertentu. Atau bisa juga dengan obyek ritual tunggal seperti Kwan Im saja. Walaupun Kwan Im adalah obyek ritual Budha, tetapi agaknya menempati tempat khusus di kalangan orang Tionghua. Karena situasi yang banyak tertinggal justru kelenteng yang Kwan Kong ini.
Entah berapa banyak kelenteng yang dihancurkan pada waktu revolusi kebudayaan dulu. Ada yang mengatakan yang banyak hancur justru type kelenteng yang ketiga, kelenteng pemujaan leluhur itulah. Kelenteng pemujaan leluhur biasanya lebih kecil, populasinya lebih banyak dan tersebar di lingkungan perumahan penduduk. Kalau kelenteng kelenteng yang lebih besar masih terselamatkan sampai sekarang, kelenteng kelenteng pemujaan leluhur yang kecil kecil ini sudah hilang tanpa bekas. Apa lagi dengan derap pembangunan yang sangat cepat seperti di alami beberapa tahun terakhir. Yang tersisa adalah apartemen2 dan bangunan gedung berlantai banyak seperti di kota besar di Amerika sana, atau kota besar dunia lainnya.
Di Hokkian (Fujian) khususnya, yang teramati di Quanzhou barulah ada kelenteng dengan setting seperti kelenteng di Indonesia, dengan obyek ritual, baik dari Buddha, Tao maupun leluhur. Di Fujian relatif masih banyak kelenteng pemujaan leluhur terutama yang berkaitan dengan she tertentu. Agaknya (mungkin) karena banyak orang Tionghua perantauan yang berasal dari daerah Hokkian turut menyelamatkan banyak kelenteng itu dari Revolusi Kebudayaan dulu.
Keadaan kelenteng di Tiongkok yang demikian agaknya sejalan dengan sejarah itu sendiri. Agama Buddha memasuki Tiongkok pada abad ke 3 atau 4, dimulai dengan jelas pada saat dinasti Wei utara, yang ibukotanya berada di Datong, Shanxi sekarang. Dari Utara merembes ke selatan. Bahkan pada saat Kwan Kong hidup (pada jaman Sam Kok) Budha belum masuk dan belum menjadi agama kebanyakan rakyat Tiongkok waktu itu.
Pada waktu Khong Hu Cu lahir kurang lebih abad 6 sebelum masehi, Khong Hu Cu tidak lahir di masyarakat yang belum bertatanan atau belum mempunyai ritual. Walaupun pada saat itu (periode ini) kemudian disebut Warring States (Spring and Autumn, CunCiu), masyarakat sudah mempunyai tatanan yang rapi dan ritual yang sudah dijalankan, bahkan beberapa ratus tahun sebelumnya. Lo Cu
(Laotze) pun diduga lahir di sekitar abad abad ini juga. Baik Khong Hu Cu maupun Lo Tju (Laotze) lahir pada masyarakat seperti ini yang sudah mempunyai tatanan dan kehidupan ritual.
Ada yang mengatakan bahwa Khong Hu Cu dapat menangkap esensi tatanan masyarakat Tionghua waktu itu, memuliakan dan kemudian mengkodifikasikan menjadi ajarannya yang termashur. Sedang Lo Cu dikatakan menangkap esensi kejiwaan masyarakat Tionghua waktu itu, merenungkan dan menuangkan menjadi konsep Tao dan menuliskannya menjadi Tao Te King. Pendapat ini lebih untuk menunjukkan bahwa baik Khong Hu Cu maupun Lo Cu, tidak menciptakan ajarannya dari nol atau scratched sama sekali, tetapi memang itu adalah esensi dari apa yang sudah berkembang di masyarakat.
Popularitas ajaran Khong Hu Cu maupun Lo Cu seakan silih berganti, terutama setelah kemudian mulai masuk ke sistim pemerintahan, dimulai dengan penerapan banyak prinsip Khong Hu Cu di dinasti Han. Banyak juga yang kemudian mengatakan bahwa karena baik Khong Hu Cu maupun Lo Cu mengambil esensi ajarannya dari masyrakat Tionghua sendiri, dengan ajaran mereka adalah apa yang kemudian ’embedded’ (tertanam) di ‘way of life’ (gaya hidup) masyarakat Tionghua itu sendiri
Persinggungan dengan agama lain (masuknya agama Budha) akhirnya juga membawa perkembangan yang lain. Agaknya perkembangan ajaran Khong Hu Cu, Lo Cu maupun Buddha bisa jadi mempunyai kadar yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Belum lagi di tambah dengan popularitas satu ajaran dari masa ke masa juga berubah.
Ketika tiba di Indonesia, kelenteng dibawa oleh masyarakat Tionghua dan terbentuk tidak dalam satu generasi saja. Sehingga kelenteng di Indonesia atau di Asia Tenggara lainnya agaknya merupakan bentukan dari masyarakat yang walaupun sama sama Tionghua, bisa jadi cukup heterogen juga. Katakan misalnya kelenteng X di satu tempat, karena umurnya misalnya sudah lebih 700 tahun, masyarakat Tionghua pendukungnya bisa jadi sedikit berbeda pada saat didirikan dan setelah 200 tahun kemudian misalnya dan juga dengan masyarakat yang sekarang. Mungkin karena inilah kelenteng kelenteng di Indonesia justru tidak menampakkan perbedaan obyek ritual separti yang jelas kelihatan di kelenteng Tiongkok.
Salam,
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua