Budaya-Tionghoa.Net | Memang di Malaysia dan Singapura budaya Peranakan sudah sangat dikenal, perhatian pemerintah juga cukup besar, berbeda dengan di kita. Maka tak heran apabila kita bisa menemukan mulai Museum Pusaka Baba-Nyonya di Malaka dan Museum Peradaban Asia di Singapura, sampai rumah makan yang menyajikan kuliner Peranakan.
|
Tentu bisa melihat sendiri, betapa di sana bangunan-bangunan tua peninggalan masa lalu dipelihara bagi generasi mendatang, bukan dihancurkan atas nama kepentingan bisnis, untuk dibangun apartemen di atasnya, seperti kasus Gedung Candra Naya (Sin Ming Hui) di Jalan Gajah Mada 188!
Melalui museum kita bisa melihat dan mempelajari berbagai hasil budaya Peranakan. Kebaya Nyonya, yang di Indonesia diberi nama Kebaya Encim, salah satunya.
Pada 2002 Almh. Datin Sri Endoon Mahmood sempat menulis “The Nyonya Kebaya: A Century od Straits Chinese Costume” yang cukup keren disain maupun cetakannya. Buku setebal 176 halaman yang ditulis isteri Perdana Menteri Malaysia Ahmad Badawi itu menunjukkan betapa besarnya pengakuan dan perhatian pemerintah terhadap kostum kaum Peranakan di sana, yang nota bene berasal dari Jawa.
Saya sungguh menyayangkan, hasil budaya kaum Peranakan Indonesia masih kurang dikenal apalagi disayang di negeri sendiri. Padahal, apa yang secara umum disebut Tionghoa/Cina, pada hakekatnya adalah Peranakan, artinya tidak murni Tionghoa atau hanya dibuat di Indonesia, dari bahan baku lokal dan untuk konsumsi kaum Peranakan, yang berbeda selera setiap daerah.
Contohnya, mebel (ranjang pengantin, lemari, meja sembahyang) Tionghoa. Ranjang pengantin yang bertiang delapan (ranjang Banji) berikut lemari dan mejanya ala Peranakan Jakarta-Jawa Barat berbeda model dengan yang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Akibat kurang dikenalnya budaya Peranakan, sepengamatan saya, ternyata sudah banyak artefak kaum Peranakan di Jawa yang telah “lari” ke luar negeri, di antaranya batik Nyonya.
Sebagaimana kita ketahui banyak dari batik Nyonya yang terhalus, yang pernah dihasilkan produsen batik Tionghoa Peranakan di Cirebon, Pekalongan, Kudus, Lasem dan Tuban, tetap yang dipakai para Nyonya di kota-kota di Jawa.
Batik-batik tersebut kini sangat disukai para kolektor di kedua negara jiran tersebut. Batik Nyonya terbukti telah memperkaya khazanah perbatikan di Nusantara, khususnya Jawa.
Selain itu, saya juga melihat sebuah “kembang goyang” pengantin Peranakan yang dipamerkan di Museum Peradaban Asia di Jalan Armenia ternyata berasal dari wilayah Jabodetabek yang kurang-lebih mirip “kembang goyang” pengantin Betawi namun pada keterangan di bawahnya dikatakan berasal dari Palembang!
Kawasan Bukit Cina sebagai Pemakaman Tionghoa terbesar di luar Tiongkok tampaknya sangat menariik dikunjungi. Bahkan katanya di sana ada Sumur dan Bio Sam Po segala!
Saya sering bertanya kepada diri sendiri, kapan ya di Indonesia ada rasa peduli terhadap budaya Peranakan dengan segala kontribusinya bagi budaya bangsa, dan tidak lagi terjadi penghancuran atas nama kepentingan bisnis.
Kiongchiu,
DK
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa