Budaya-Tionghoa.Net | Dibawah ini saya membawa terjemahan tentang perkawinan rakyat jelata di mainland Tiongkok yang diterjemahkan dari buku pemberian nenek tersayang.
|
SEBUAH PERNIKAHAN
Qingdao 1946
Pada hari pernikahannya, seorang gadis muda duduk sendirian di rumahnya di desa. Saat itu musim gugur, suatu pagi di bulan Oktober yang indah. Udara pedesaan terasa dingin namun menyegarkan.
Gadis Pengantin itu mendengar musik gembira mendekati rumahnya. Ia baru 18 tahun, dan ia gugup, ketakutan. Dia tahu bahwa banyak comblang pengatur pernikahan hanya mau uang dan berbohong karenanya. Beberapa wanita dari kampungnya menikahi laki laki yang tidak lengkap tubuhnya. Mereka menghabiskan sisa hidup mereka untuk mengurus suaminya. Pemukulan istri sudah biasa. Perceraian bukan pilihan. Wanita yang diceraikan dipermalukan, dihina, dikucilkan, menderita melebihi nasib seekor binatang. Dia tahu, beberapa wanita bahkan memilih gantung diri daripada dicerai dan ia berharap hal seperti itu tidak menjadi suratan takdirnya.
Gadis itu memohon kepada dewa yang baik dan welas asih agar calon suaminya memiliki dua kaki, dua tangan, dua mata, dan dua telinga. Ia memohon agar seluruh tubuh calon suaminya normal dan berfungsi sebagaimana mestinya. Ia kuatir kalau-kalau calon suaminya tidak baik hati dan jangan-jangan tidak suka padanya. Tapi lebih dari semuanya itu, ia mengkhawatirkan kakinya yang tidak diikat. Kaki yang diikat masih menjadi mode.
Gadis-gadis kecil umur lima atau enam tahun harus mengkerutkan empat jari kaki mereka dibawah ibu jari dan menekannya kuat-kuat supaya berhenti bertumbuh. Hal itu sangat menyakitkan, dan gadis gadis itu harus mengganti kain pengikatnya dan mencuci kaki mereka setiap hari untuk mencegah infeksi. Semakin kencang kaki-kaki itu diikat, akan semakin mungil jadinya. Kadang kadang kelima jemari itu tumbuh berbarengan. Infeksi sering terjadi dan gadis-gadis itu begitu pincang sampai mereka harus berjalan dengan bertumpu pada tumit saja. Namun saat Gadis pengantin yang ini berumur delapan tahun, dan ibunya mencoba untuk mengikat kakinya, dua atau tiga tahun terlambat dari biasanya, ia menolak ibunya dan melarikan diri. Ibunya akhirnya menyerah, namun diam-diam merasa senang. Seorang anak perempuan dengan kaki diikat tidak dapat membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat. Namun, akankah calon suaminya dan mertuanya nanti berpikir demikian juga?
Pengantin prianya adalah seorang laki-laki muda berumur duapuluh-satu. Ia berangkat sebelum matahari terbit. Enam belas laki-laki yang kuat disewa untuk mengusung dua tandu untuk tiga jam perjalanan dari kampungnya ke desa pengantin perempuan. Ada terompet, simbal, gong dan suling bambu, dan tandu pengantin perempuan bertirai sutera merah jambu dan merah dan bunga-bunga. Tandu pengantin laki-laki hanya sebuah tandu sederhana berwarna biru, yang berangkat dari sebelah timur kampungnya, dan nanti akan kembali dari sebelah barat memasuki kampungnya.
II
Segera setelah rombongan pengantin Pria meninggalkan rumah, para wanita dari keluarganya segera mulai menyiapkan rumah dan jamuan pernikahan. Mereka menempelkan guntingan kertas berwarna di seluruh tembok, pintu dan jendela – dengan bentuk berbeda, dengan kata kata keberuntungan diatasnya, untuk menyimbolkan kebahagiaan dan keberuntungan. Mereka menempatkan sebuah meja bundar di tengah halaman dan menutupinya dengan kain merah. Di tengah tengahnya mereka letakkan roti bundar, yang disebut mantou, dalam susunan seperti pagoda. Disana juga ada mangkok logam, dengan lilin dan tempat dupa di tiap sisi. Di tanah ditaruh dua tikar bambu berbentuk lingkaran.
Pengantin perempuan langsung panik ketika pengantin pria nya datang. Pengantin pria mengenakan jubah mandarin katun berwarna biru tua dan sebuah topi tinggi, dengan bunga dari sutra dipenitikan diatas jantungnya. Ia berlutut, dan kowtow tiga kali, menundukkan kepala sampai ke lantai, selalu menghadap ke utara, selalu ke arah dewa kebahagiaan.
Teh, manisan dan kuaci bunga matahari dan kacang lalu disuguhkan. Jamuan makan siang menyusul, namun biaya makanan itu akan membuat keluarga pengantin perempuan bangkrut. Banyak keluarga dan teman yang membantu, namun hutang dan budi itu harus dibayar sampai bertahun tahun berikutnya. Rombongan pengantin Pria harus dipuaskan, bagaimanapun juga. Makanan yang disajikan akan mempengaruhi perlakuan keluarga baru pengantin perempuan nanti kepadanya. Hal itu akan menentukan apakah ia akan mengalami perjalanan yang lancar atau berguncang guncang sepanjang perjalanan menuju rumah mertuanya. Pengantin wanita muda itu masih ingat pernikahan kawan ibunya tahun lalu – pada hari pernikahannya, para pemusik memainkan lagu kematian dan pembawa tandu berjalan dengan langkah memutar, membuatnya pusing dan mual. Lebih parah lagi, mereka merendahkan tandunya ke tanah, yang mana membawa kesialan: bahwa pengantin perempuan akan berakhir dengan kehidupan yang penuh kerja berat ketimbang kehidupan yang penuh kemewahan. Semua ini karena ketidak puasan keluarga besan dengan makanan yang disajikan di rumahnya.
Saat orang-orang pengantin pria minum arak mereka dan makan makanan mereka, pengantin perempuan duduk di sisi ranjangnya, kang nya, jauh dari semua orang, dengan cadar suteranya menutupi wajah. Ini disebut ‘duduk tenang’. Ia mengenakan gaun panjang berwarna marun, dengan bunga sutera merah jambu dijahitkan diatasnya. Hiasan rambutnya dipenuhi jepit dan bunga warna warni, dan sangat berat. Ia tidak punya perhiasan karena keluarganya sangat miskin.
Segera, kakak laki lakinya yang kedua membisikkan rahasia kepadanya lewat celah celah pintu, “Kakak iparku seorang mempunya semua panca inderanya.” Ini bagai berita dari surga. Pengantin muda itu terisak bahagia.
Menjelang akhir dari jamuan makan, Ibu pengantin wanita membawakannya semangkok nasi, cermin dua sisi dan sepuluh pasang sumpit merah. Pengantin perempuan harus makan tiga suap penuh nasi, dan pada suapan terakhir ia harus meludahkannya ke kantung ibunya. Ia harus menyimpan sedikit nasi di mulutnya untuk sepanjang perjalanan sampai ke rumah mertuanya sebelum ia telan, sebagai simbol bahwa ia takkan pernah kelaparan sepanjang perjalanan hidupnya. Lalu ia memasukkan delapan pasang sumpit ke kantong ibunya. Sisanya yang dua pasang ia simpan, pasangan dengan kacang dan kurma diikatkan kepadanya, sebagai simbol segera lahirnya anak laki-laki.
Pengantin perempuan itu tak hentinya gemetar. Airmata mengalir dari matanya dan ia meludahkan nasi ke dalam kantung. Segera, ia akan menjadi isteri orang dan menantu dari keluarga lain. Ia meraih tangan ibunya, bergayut seolah menggantungkan diri ke sebatang jerami penyelamat hidup.
“Anak bodoh,” kata ibunya kepadanya, “Jangan menangis! Kau akan pergi kepada keluarga dengan makanan cukup. Kau mau miskin seumur hidupmu?” Ia mengeluarkan saputangannya dan mengusap airmata di wajah puterinya dan memeluknya lama dan erat untuk terakhir kali. “Anakku, aku akan selalu merindukanmu dan mengasihimu. Rawatlah suamimu baik baik, dan ia akan menjagamu. Turutilah dia dan buatlah dia bahagia. Lahirkanlah banyak anak laki-laki. Rawatlah ibu mertuamu sebagaimana kau merawat aku. Berbaikhatilah padanya sampai akhir hidupnya.” Ibunya menurunkan cadar ke wajah anaknya, dan meninggalkannya dengan perasaan sakit.
Pengantin perempuan terisak pelan untuk setengah perjalanannya ke desa pengantin pria. Ia belum pernah meninggalkan rumah sebelumnya. ia ketakutan. Pada setengah perjalanan, salah satu pembawa tandu berteriak, “Setengah jalan, balikkan cerminmu! Jadi ia mengeluarkan cermin yang telah diberikan kepadanya, dan membalikkannya: sekarang ia harus melupakan masa lalunya dan menunggu masa depan. Lalu ia bertemu dengan kelompok pembawa tandu dari desa pengantin pria, untuk bergantian membawa tandunya. Ia samasekali tidak menyentuh tanah. Para pemusik melanjutkan nada musik gembira dan para pembawa tandu berjalan hati-hati sepanjang jalan tanah yang tidak rata.
III
Ketika pengantin perempuan tiba di gerbang rumah mempelai pria, dalam mangkok logam diatas meja api sudah berkobar. Lilin dan dupa pun dinyalakan. Mempelai pria keluar dari tandu nya dan menunggu pengantinnya, yang wajahnya masih tertutupo cadar suteranya yang tebal selagi dia dibantu keluar dari tandunya oleh dua saudara perempuan pengantin pria. Merka berjalan beriringan menuju ke meja selagi seorang tetua membacakan dengan lantang sebuah sajak kuno. Hanya sedikit orang yang mengerti sajak itu karena hanya segelintir dari mereka yang pernah menyenyam bangku sekolah, namun kedua pengantin berlutut diatas dua karpet bambu bundar sambil mendengarkan, dan sesudahnya melakukan kowtow. Pengantin pria lalu memegang tangan pengantin wanita dan membantunya berdiri. Pengantin wanita tidak dapan melihat bara di dalam mangkok diatas meja, namun ia dapan merasakan panasnya. Ini adalah api asmara, api cinta.
Sebelum pengantin perempuan melakukan langkah pertama bersama dengan suaminya, kakak keempat dari pengantin laki laki dengan ringan menyapu alas sepatu pengantin perempuan dengan setrikaan besu ydang yang diisi arang menyala, untuk memberikan kepadanya kehangatan dari ujung kakinya sampai ke dalam hatinya. Dibimbing oleh suaminya, ia berjalan perlahan menuju ke pintu, dimana sebuah pelana kuda diletakkan. Mereka harus melewatinya bersama-sama. Mempelai perempuan tidak bisa melihat apa apa di balik cadarnya dan ia kuatir ia akan tersandung jatuh, namun pelana kuda itu melambangkan waktu waktu sulit dalam kehidupan dan mereka harus melaluinya bersama-sama. Ia ragu-ragu. Suaminya meremas tangannya.
“Berhenti, sekarang angkat kakimu,” ia berbisik. Pengantin perempuan menarik gaunnya sampai setinggi lutut dan melangkah dengan selamat. Namun segera setelah kaki berikutnya menginjak tanah, hatinya terlonjak.
Ia telah memperlihatkan kakinya yang tidak diikat kepada seluruh dunia! Mertuanya akan melecehkan. Ia ingin menjerit, dan pulang ke rumah ibunya. Ia akan ditertawakan, dihina untuk sepanjang sisa hidupnya. Keluarga suaminya akan menganggap dirinya membawa aib dan mempermalukan mereka.
Suaminya merasakan keraguannya. “Kau baik baik saja?” ia bertanya pelan.
Ia tidak menjawab. Apa yang bisa dikatakan?
“Mari kita menuju Kang,” kata suaminya lembut.
Pada salah satu sudut dalam dari kang, diletakkan sebuah segitiga kayu yang disebuh doo. Ditempelkan kepadanya sebuah kertas ‘kebahagiaan ganda’ dan didalam segitiga kayu itu penuh terdapat berbagai macam biji bijian: gandum, jagung, beras, sorgum, yang merepresentasikan harapan agar pengantin baru akan mendapat banyak makanan sepanjang hidupnya. Ada sepasang kapak juga, disebut fu, ber arti ‘keberuntungan’, dengan kacang tanah dan kurma merah diikatkan kepada gagangnya, dan juga ada dua selimut tipis yang dibuat dengan tangan, oleh saudara-saudara perempuan mempelai pria, dilipat menjadi dua alas duduk persegi.
Pertama tama, mempelai perempuan memberikan kepada suaminya saputanga merah yang diberikan ibunya kepadanya. Yang kemudian ditaruh suaminya didalam doo. Kemudian mempelai perempuan memberikan pasangan sumpit dengan kurma merah dan kacang terikat disana, dan suaminya menancapkan sumpit itu kedalam biji-bijian.
Setelah beberapa lama terdiam, mempelai pria berkata dengan suaranya yang lembut, “Reiqing, bu yao pa, wo bu hui sahng ni.” jangan takut, aku tidak akan menyakitimu.
IV
Sepanjang hari, pengantin perempuan tidak sabar untuk menyinkirkan cadarnya. sekarang dia ragu ragu. Suaminya mungkin tidak akan suka dengan penampilannya. Namun ia diyakinkan oleh suara suaminya yang lembut. Dengan gugup ia mengangkat cadarnya, dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, pasangan pengantin itu dapat saling memandang satu sama lain.
Keduanya tidak hampir tidak dapat mempercayai keberuntungan mereka. Pengantin perempuan melihat suaminya yang tampan. Ada suatu kejujuran dan kerendahan hati dalam diri suaminya, dan segera saja menarik hatinya.
Mempelai pria memandangi pengantinnya dan terpesona oleh kecantikannya. Mereka duduk disanan, tidak dapat berkata-kata, sampai ‘mie pembesar hati’ tiba, buatan ibunda mempelai pria, untuk menenangkan hati pasangan pengantin baru, sebagai simbol saling menerimaan kebaikan dan keburukan pasangannya, pengantin perempuan melepaskan nilai nilai dari keluarganya yang lama, dan menyesuaikan dengan keluarganya yang baru. Kemudian datang pula arak beras ‘hangatkan hatimu’dan mereka minum dari cawan masing masing sambil menyilangkan tangan mereka.
Saudara laki laki dari mempelai pria, istri-isteri mereka, dan saudara saudara permpuannya datang menghampiri seorang demi seorang untuk mengucapkan selamat hidup bahagia kepada pasangan pengantin baru, sampai putih rambut mereka dan sampai jenggot menyentuh tanah. Kemudian adik perempuan terkecil dari mempelai pria berbisik kepada si pengantin wanita, “Aku sangat senang melihat kakimu yang besar! Kakiku juga begitu!” Ia memberikan kedipan pada kakak iparnya dan meninggalkan kamar sambil tertawa kecil. Gadis pengantin itu merasa amat bahagia.
Pengantin Pria segara dipanggil ke perjamuan makan untuk minum bersama teman dan kerabatnya, sementara pengantin perempuan memulai ‘duduk menunggu waktu’. Selama tiga hari ia duduk, kaki bersilang dengan posisi teratai, punggung tegak, untuk setiap waktu terjaga. Ia makan dan minum sedikit saja, supaya tidak harus sering sering ke belakang.
Banyak kerabat, kawan dan tetangga berkunjung dalam waktu tiga hari tersebut, dan pada malam pertama mereka datang untuk membuat ‘kekacauan’. Pengantin baru harus bertahan menghadapi ejekan dan godaan, terutama untuk pengantin perempuan. Ia diharapkan untuk menuangkan minuman kepada para tamu, menyalakan rokok mereka dan mengupas kacang dan menyuapi ke mulut mereka. ‘Membuat kekacauan’ akan berlangsung sampai larut malam, dan pada saat tamu terakhir pergi, baik pengantin pri maupun mempelai wanita akan kelelelahan.
Pada hari keempay, sesuai tradisi, pengantin perempuan mengajak suaminya untuk mengunjungi keluarganya. Mereka menyukai menantu laki laki ini, dan mereka turut berbahagia untuk anak perempuannya. “Anakku, hitunglah keberuntunganmu,” kata ibunya. “Jangan melihat ke belakang. Disini hanya ada kelaparan dan kehidupan yang keras. Kau sekarang adalah wanita dari keluarga Li. Buatlah suamimu sayang padamu.”
Ia tahu ibunya benar. Ketika ia kembali naik ke atas gerobak, dan menoleh melihat kampungya untuk terakhir kalinya, tiada airmata. Ia tahu keluarganya takkan lagi menjadi tumpuan hatinya. Namanya dan tempatnya sudah berubah untuk selamanya. Yang menjadi nasibnya terbentang di depan.
Ia melihat kepada suaminya yang tampak kuat, bisa diandalkan, seperti batu karang. Yang tampak lembut, baik hati dan penuh perhatian. Ia merasa ingin segeraa mengenalnya, memahaminya, dan melayaninya. Ia bersandar kepada suaminya yang berada di bagian depan gerobak dan bertanya bolehkan ia duduk di sebelahnya. Tanpa sepatah kata, suaminya bergeser dan membiarkan pengantin barunya duduk berdekatan.
Diterjemahkan oleh Julie Lau , 29596 , 29702 , 29797
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua