Photo : Album Foto Ritual Caici (21 Pics) , by Ardian Cangianto
Budaya-Tionghoa.Net | “Caima” adalah sapaan yang kurang sopan (berkonotasi peyoratif) bagi mereka yang disapa. Lebih baik disapa “Cai Ci” saja. “Lembaga Caici” adalah sesuatu yang khas di propinsi Guangdong dan hanya ada dalam masyarakat Hakka dan juga Konghu. Dalam pelaksanaan upacaranya Caici menjapkan Keng (sutra) dengan bahasa Hakka dalam irama dan cengkok lagu-lagu rakyat Hakka (San Ge dalam pelbagai versi). Dengan mengacu pada keng yang mereka baca, tidaklah seluruhnya benar jika dikatakan lembaga Caici adalah bagian dari agama Buddha, lebih tepat mereka adalah pengejawantah agama/kepercayaan tradisional Tionghoa yang di dalamnya ada unsur-unsur Buddhis dan Taois serta kepercayaan lokal lainnya.
|
Tanpa membeda-bedakan yang mana Buddhisme dan mana Taoisme atau kepercayaan tradisional, dalam masyarakat Hakka ada 4 kelompok atau 4 pilar penyangga kehidupan keagamaan, dan Caici adalah salah satunya. Ada yang berpendapat bahwa, Caici adalah lembaga keagamaan berkesenian dan sekaligus juga lembaga seni bernuansa religius dalam masyarakat Hakka. Oh ya, agar tidak terjadi kesalah-mengertian, Caici bukanlah biarawati. Kalau meminjam terminologi agama Buddha mereka adalah upasika yang melaksanakan peran/tugas pelayanan keagamaan bagi masyarakat.
Dari pengalaman saya sehari-hari dan juga dari posting rekan-rekan di sini, nampaknya kesalahan pemahaman yang kaprah dalam masyarakat Indonesia (termasuk Tionghoa) bahwa “Institusi caici” adalah bagian dari agama Buddha sudah begitu parahnya, sampai-sampai ada pertanyaan seperti “Aliran Buddha mana yang ada institusi caicinya?”; “Apakah seorang caici boleh menikah?”; “Apakah upasika otomatis merangkap tugas-tugas caici?” dll dan sebagainya.
Andai saat melayat kita sedikit jeli dan mau sedikit bertanya, akan mudah sekali didapati bahwa kebanyakan keluarga almarhum yang memanfaatkan jasa caici adalah dari suku Hakka (khek). Konon, pada awal (apalagi sebelum) berkuasanya rezim Orde Bau, tidak ada keluarga non Hakka yang memanfaatkan jasa caici, baru kemudian setelah generasi muda Tionghoa tergerus dari akar budayanya dan diperparah oleh ulah pengurus rumah duka yang tak membedakan latar belakang suku keluarga almarhum, mulailah beberapa keluarga non Hakka ikut-ikutan memanfaatkan jasa caici (tanpa mengerti apa maknanya).
Untuk mengawali obrolan, kita mulai dari postulate bahwa “Institusi caici adalah sesuatu yang khas Hakka, ia berasal dan berakar dari budaya dan tradisi masyarakat suku Hakka”. Nah, agar bisa mendapat pemahaman yang lebih menyeluruh tentang “Institusi caici” yang berakar dari tradisi masyarakat suku Hakka, kiranya kita perlu sejenak “kembali” ke tanah leluhur di Tiongkok sana, “melihat langsung” bagaimana institusi caici awalnya terbentuk, berkembang, melembaga dan akhirnya menyebar ke Asia Tenggara dan Indonesia.
Sebagai bagian dari masyarakat Tionghoa umumnya, suku Hakka tradisional pun tidak pernah menganut sebuah agama resmi secara ketat, tidak ada ikatan institusional yang ketat terhadap sebuah agama tertentu. Mereka juga tidak terlalu peduli dengan segala kedisiplinan yang dikenakan dan diwajibkan oleh agama, karena itu juga tidak pernah terjadi pertentangan gara-gara perbedaan agama/kepercayaan. Namun, jangan serta-merta diartikan mereka ateis, dalam dimensi religius mereka tetap ada semacam keyakinan terhadap sesuatu yang sifatnya Adi Kodrati yang menguasai dan mengatur segala sesuatu di alam dunia ini, dan itu mereka namakan Shen/神 (untuk sementara, dan memang selama ini kata Shen itu secara keliru diterjemahkan sebagai “DEWA” dalam bahasa Indonesia). Sedangkan siapa sebenarnya “Shen” itu dan berasal dari agama/kepercayaan apa, sama sekali tidak dipedulikan, yang penting kepada NYA mereka bisa berlindung, memohon berkah dan keselamatan.
Walau keberagamaan masyarakat Hakka tradisional sangat cair, tetap ada beberapa agama yang lebih dominan berpengaruh dalam kehidupan religius mereka. Agama-agama itu adalah Daoisme dan Buddhisme.
Daoisme sebagai agama/kepercayaan yang tumbuh dari budaya Tionghoa memiliki akar yang sangat kuat dalam masyarakat Hakka, agama yang masuk kemudian acap kali perlu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengannya. Demikianlah agama Buddha yang mulai berkembang di tengah masyarkat Hakka pada zaman Tang Yizong (860-874) dengan didirikannya vihara “Shen Shou”oleh bhiksu Chanhui Zushi di Yinna Shan, propinsi Meixian, harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat setempat. Vihara yang fungsi awalnya adalah tempat belajar dan berkontemplasi para bhiksu telah difungsikan pula sebagai tempat sembahyang, dan para bhiksu di sana juga harus melayani umat dalam keperluan sembahyang, di samping kewajiban belajar, chanting pagi-sore serta kontemplasi harian. Satu hal yang menarik (entah mengapa?) Bodhisattva yang menjadi favorit masyarakat Hakka (dan juga Tionghoa umumnya) adalah Bodhisattva Avalokitesvara yang dikenal sebagai Dewi Kuan Yim dalam sosok wujud seorang wanita. Seiring berjalannya waktu, sampai pada dinasti Ming perkembangan Buddhisme terbagi dalam dua arah, di dalam vihara dan di luar vihara. Di luar vihara, oleh masyarakat Hakka (yang keberagamaannya memang sangat cair) kepercayaan Buddhis dibaur dengan Dao dan kepercayaan tradisional lainnya, sehingga tidak jarang ditemui adanya rumah ibadah yang menyembah Dewi Kuan Yim dan sekaligus juga dewa-dewi kepercayaan tradisional serta local deity masyarakat Hakka. Sampai di sini, wujud devosi masyarakat Hakka terhadap Dewi Kuan Yim tidak lagi purely wujud sraddha/iman terhadap agama Buddha, tetapi lebih sebagai bagian dari kepercayaan tradisional.
Sebagai wujud sinkretis, tercapat 4 lembaga penyandang eksistensi lembaga agama/kepercayaan masyarakat Hakka, yakni:
1. Xian Gu/仙姑 (lafal Hakka Sien Ku): Wanita medium, yang memberi petunjuk kepada umat berdasarkan apa yang dimaksud oleh dewa/dewi yang melekat/bersemayam dalam dirinya. Tidak ada tempat khusus bagi Xian Gu, mereka berdiam di rumah masing-masing dengan altar dewa/dewi yang biasa melekat/bersemayam dalam diri mereka.
2.Bhiksu/bhiksuni : para biarawan Buddhis yang berdiam di dalam vihara. Selain kewajiban belajar, chanting pagi-sore dan melakukan kontemplasi, mereka juga sering dimintai bantuan perihal persembahyangan para umat.
3.Jushi/居士 (Upasaka/upasika Buddhis, lafal Hakka Ki She ) : walau berkeluarga dan tidak selibat, mereka adalah umat yang menerima Trisarana dan menjalankan Pancasila Buddhis, melaksanakan kewajiban chanting pagi-sore sebagaimana para bhiksu, dan juga mendalami Dharma serta ada sebagian juga melakukan tapa (kontemplasi).
4. Zhaijie/齋姐 (lafal Hakka Cai Ci) : wanita awam yang tidak selibat, namun bertempat tinggal di Zhai An/齋庵 (lafal Hakka Cai Am). Kegiatan harian chanting sutra Buddhis pagi-sore, kitab sembahyang Daois dan kepercayaan tradisional lain seperti Ba Xian Zhu Shou Jing/八仙祝壽經 (lafal Hakka Bat Sien Cuk Shiu Kin), Huayuan Jing/花園經(lafal Hakka Fa Yan Kin) dll. Pelayanan rutin untuk umat diberikan secara berkala 3 kali dalam setahun, yakni Qifu/祈福(lafal Hakka Khi Fuk) di awal tahun, Nuanfu/暖福(lafal Hakka Non fuk) di pertengahan tahun dan Huanfu/還福(lafal Hakka Wan Fuk) di akhir tahun. Selain itu, Cai Ci juga memberi pelayanan upacara sembahyang kematian tradisional yang memperpadukan upacara Buddhis, Daois dan kepercayaan lokal masyarakat Hakka.
Dalam upacara sembahyang Cai Ci selain penjapaan sutra dilakukan dalam langgam dan cengkok San Ge/山歌, Wuban Diao/五板調 dan Xiaodiao/小調 yang sangat khas Hakka, pada sutra-sutra tertentu juga diiringi dengan peragaan atraksi tarian yang diadopsi dari tarian tradisional Hakka seperti Zhi Hua/吱花(lafal Hakka Che Fa); Bei Hua/杯花(lafal Hakka Pi Fa) dan Kun Hua/棍花 (lafal Hakka Kun Fa).
Tentang langgan dan cengkok, ada perbedaan antara Cai Am satu dengan Cai Am lain yang ada di Indonesia. Khusus di Jakarta, Cai Am yang di Petak Sinkian dan Krekot (Pasar Baru) lebih dominan cengkok Meixian/梅縣 (lafal Hakka Moi Yan), sedangkan yang di Arabika (Gedong Panjang) lebih dominan cengkok Dapu/大埔(lafal Hakka Thai Phu). Hal ini karena sesepuh mereka yang pertama tiba di Indonesia berasal dari daerah-daerah yang berbeda tersebut.
Sebenarnya selain Cai Ci, aslinya di Tiongkok masih ada yang namanya Cai Ko (pria) yang memperagakan atraksi wushu dalam upacara persembahyangan, antara lain Deng Daojia/登刀架(lafal Hakka Ten Tou Ka) menaiki anak tangga yang dibuat dari pisau-pisau, dan Tiao Huo/跳火 (lafal Hakka Thiau Fo) melompati lingkaran api yang sangat menarik.
Demikian dulu dari saya. Mudah-mudahan bermanfaat.
Salam,
Erik Eresen
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua