Budaya-Tionghoa.Net | Tulisan ini tidak untuk menjelek-jelekan. Silahkan berikan masukan. Mungkin dengan masukan2 tersebut, akhirnya kita bisa melihat lebih jelas dimana potensi benturan antara ‘agama’ Samawi dan budaya Tionghoa.
Selama ini, beberapa (banyak?) orang menuding bahwa institusi ‘agama’ Samawi ‘mengharamkan’ budaya Tionghoa. Menurut saya, mungkin hanya karena salah kaprah saja. Tapi sayangnya salah kaprah ini mungkin tidak disadari dan dianggap ‘kebenaran’.
|
Saya coba bicara tentang Kristen saja ya (instead of agama Samawi / Abrahamaic), yang saya tahu sedikit. Sudut pandang Kristen inipun tidak mewakili Kristen ‘aliran’ lain. Kristen — sama seperti iman kepercayaan lainnya– itu heterogen. Saya berbicara tentang Kristen, bukan berarti kristen yang paling benar, dll. Nope, hanya karena saya merasa tahu (sedikit).
‘Agama’ samawi (i.e. Yahudi, Kristen-Katholik, Islam) menganggap dirinya sebagai wahyu kebenaran. Diluarnya tidak ada keselamatan (note: Katholik mungkin berbeda soal ini). Sementara agama ‘bumi’, sejauh yang saya pahami, tidak melakukan ‘klaim’ wahyu kebenaran. Dalam hal ini, agama ‘bumi’ (Hindu, Buddha, dll) memang lebih toleran.
Agama Samawi juga penganut monotheisme. Kasarannya, bagi mereka Tuhan / Allah yg sejati adalah Tuhan/ Allah sebagaimana digambarkan dalam kitab suci mereka. Diluar itu, bukanlah Tuhan / Allah. (Dan) hal-hal diluar Tuhan/ Allah dianggap illah / berhala/’palsu’. Ini pasti berbeda dengan paham agama ‘bumi’ yang mungkin polytheisme. Agama ‘bumi’ memang lebih menghargai dan toleran terhadap keberadaan Tuhan / Allah / Dewa di agama lainnya.
Nah mungkin inilah sumber masalahnya. Yang satu , Samawi itu ‘inflexible’, sedangkan yangg lain ‘flexible’. Maka, yang flexible mungkin juga menginginkan agar yang inflexible toleran terhadap mereka , sebagaimana ‘bumi’ toleran terhadap Samawi.
Masalah lainnya, saya duga kadang atau seringkali salah kaprah terhadap konsep ‘toleran’ yang dimaksud. Susah atau bahkan tidak mungkin bagi agama Samawi untuk mengakui iman kepercayaan lainnya , baik intra-samawi maupun extra , sebagai ‘kebenaran’ juga. Dengan catatan bahwa ini tidak selamanya benar. Ada bukti dimana Katholik atau Kristen juga menyerap budaya pagan Romawi kuno; ini lebih kompleks penjelasannya. Bahwa ‘toleransi’ bisa dicapai tanpa harus terjadi sinkretisme (pencampuradukan kepercayaan).
Salah kaprah yang lain, dianggap para penganut agama samawi yang tidak melakukan ‘kebudayaan’ (mungkin tepatnya, ritual kepercayaan atau agama) sebagai orang yang lupa budaya atau bahkan ingin memberangus budaya. Padahal tidak demikian. Bisa jadi juga, memang ada yang ‘lupa’ atau ‘ingin memberangus’. Tidak ada yang absolut saya rasa.
Mungkin karena ‘inflexibilitas’ tersebut, maka dianggap tidak menghargai budaya (ritual). Cth, ada orang Kristen yang salah kaprah bahwa qingming itu artinya ke kuburan dan harus sembahyang (arwah/leluhur). Padahal org kristen tersebut punya pilihan lain untuk menunjukkan berbakti’ ataupun ‘penghormatan’ pada leluhur, misal tabur bunga ataupun membersihkan kuburan; tanpa harus mengompromikan iman kekristenan mereka.
Contoh lain persoalan Imlek. Sebagai ‘ganti’ sembahyang leluhur / dewa, bisa saja orang Kristen tersebut bersembahyang pada Tuhan mereka. Toh intinya kurang lebih sama, mengucapkan syukur atas tahun yang berlalu, dan memohon perlindungan untuk tahun yang dijalani. Demikian juga dengan ritual-ritual lainnya, intinya bila ada kegiatan sembahyang, bisa tetap dilakukan dengan obyek sesembahan yang sesuai dengan iman ybs.
Tapi saya tidak menutup mata, banyak orang Kristen yang super fanatik dan (mungkin) tidak paham akan keimanan mereka. Contohnya, masuk klenteng (atau rumah ibadah lainnya) dianggap tidak boleh; makan makanan sembahyang dianggap ‘haram’; penghormatan leluhur dikatakan penyembahan berhala; dll.
Dalam kepercayaan kristen tertentu, memang dunia arwah dan orang hidup itu terpisah. Tidak bisa saling intervensi (misal arwah memberkati yg masih hidup; atau yg masih hidup mendoakan agar arwah lancar jalannya). Tapi ini tidak menjadi alasan utk menolak penghormatan leluhur. Setahu saya, penghormatan tersebut tidak melulu harus bersembahyang bukan?
Contoh lain soal maisong. Ada orang Kristen yang bilang dilarang bersembahyang di depan peti. Ini juga nggak sepenuhnya benar. Memang iman kekristenan (tertentu) melarang berdoa kepada arwah, tetapi berdoa didepan peti / altar bukan selalu berarti berdoa kepada arwah. Bisa saja si Kristen tersebut berdoa pada Tuhannya, memohon ketabahan dan berkat bagi keluarga yg ditinggalkan (yg masih hidup).
Jadi sebenarnya, budaya (tionghoa) dan iman kekristenan (atau samawi) itu bisa berjalan seiringan kok. Yang penting pintu-pintu diskusi selalu dibuka. (Dan) yang ‘inflexible’ (cf kristen or samawi lainnya) perlu mawas diri utk tidak menghakimi kepercayaan lain (cf agama ‘bumi’) sebagai sesat, iblis, setan, ataupun lainnya.
Masing-masing punya jalan yang diimaninya, ya tidak perlu saling klaim kebenaran atau saling menyalahkan. Kecuali kalau motifnya bukan lagi soal ‘penyebaran kebenaran’ melainkan politik kekuasaan. Sayangnya, sadar atau tidak, para penganut agama / kepercayaan (termasuk atheis, a-religi juga) terjebak pada politik kekuasaan yang berlandaskan devosi agama.
salam,
Jimmy Tanaya
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa