Budaya-Tionghoa.Net | Mengenai masalah Tionghoa di masa Orde Baru , saya akan mencoba mengajukan apa yang saya ketahui, tentu tidak bermaksud menggurui, hanya sekadar mengajukan situasi ketika itu sesuai dengan daya pandang saya untuk direnungkan dan dipertimbangkan saja, ya. Tak dapat disangkal banyak peristiwa telah dilalui bangsa ini tidak hanya menyakitkan hati banyak orang, bahkan terlalu banyak korban jiwa telah berjatuhan untuk itu. Masalah menjadi lebih parah bagi bangsa ini, karena banyak peristiwa tetap mentah dan gelap, tiada kejelasan dan kepastian bagaimana peristiwa itu terjadi, dan dengan demikian tidak berhasil menjerat tokoh-tokoh yang harus bertanggungjawab. Dan itupulalah tantangan berat bagi muda-mudi anak bangsa ini untuk menyimpulkan sebaik-baiknya pengalaman perjalanan bangsa yang pahit ini, jangan sampai berulang apalagi membuat jatuh korban lebih besar.
|
Saya melihatnya begini, situasi di Indonesia ketika itu tidak terlepas dari pengaruh makin menghangatnya “Perang Dingin” didunia internasional. Pertarungan antara kubu imperialisme yang dikepalai AS dan kubu sosialisme yang dikepalai Uni Sovyet. Sedang ditahun-tahun 60-an AS betul-betul mulai terjepit dalam medan perang di VietNam. Untuk membendung pengaruh komunis, khususnya dari Tiongkok yang hubungan makin dekat-sangat bersahabat dengan RI-Soekarno, maka tidak bisa tidak AS gunakan cara-cara licik untuk merusak keakraban yang terjadi itu. Jadi tidak aneh komunitas Tionghoa yang hidup di Indonesia dijadikan tumbal. Tidak aneh, ketika itu hangat diisuukan Tionghoa sebagai kolone ke-5 RRT. Kecurigaan terhadap komunitas Tionghoa diangkat, dimulai dengan usaha membatalkan stelsel pasif, UU No.3/1946 yang menetapkan Tionghoa yang lahir di Indonesia otomatis menjadi warganegara Indonesia.
BAPERKI ketika itu, lahir terbentuk ditahun 54 justru menghadapi masalah kewarganegaraan yang dimunculkan kembali ini. Menghadapi sementara pejabat yang berusaha keras merubah stelsel pasif menjadi stelsel aktif, yang berusaha menghendaki Tionghoa sekalipun lahir di Indonesia tidak otomatis menjadi WNI, tapi harus lebih dahulu secara aktif memilih, membatalkan WN-asing/Tiongkok dan sumpah setia pada RI dahulu untuk menjadi WNI. Memang betul, BAPERKI sejak didirikan memperjuangkan atau berusaha keras agar lebih banyak Tionghoa jadi WNI, oleh karena itu selalu menekankan dan berusaha untuk mempertahankan UU No.3/1946 yang berasaskan ius-soli dengan stelsel pasif, menentukan warganegara berdasarkan tempat lahir itu. Siapa saja yang lahir di Indonesia, sejak tahun 46 itu juga otomatis menjadi warganegara Indonesia dengan sendirinya. Disamping dengan demikian semua warga diwilayah Nusantara menjadi warganegara Indonesia dalam waktu bersamaan, tidak ada warga yang merasa lebih dahulu menjadi WNI sedang kelompok lain belakangan, dan dengan adanya perasaan bersamaan waktu menjadi WNI demikian tentunya akan lebih mudah memperlakukan sama hak dan kewajiban sebagai warganegara Indonesia.
Tapi kita menghadapi kenyataan lain, sementara pejabat mempunyai pikiran lain, mereka selalu mencurigai kebanyakan Tionghoa yang ada, yang dianggapnya eksklusif yang masih setia pada negeri leluhur dan tidak loyal pada RI. Dan oleh karenanya baru merasa “aman” kalau mereka menjadi WNI setelah menyatakan sumpah setia pada RI lebih dahulu, tanpa mempedulikan kerumitan administrasi negara yang akan terjadi, dan tidak memperhitungkan kesulitan yang terjadi kalau lebih banyak Tionghoa menjadi WN-asing. Dan, … akhirnya mereka berhasil dengan dikeluarkannya UU No.62/1958, yang akhirnya menimbulkan banyak masalah rumit bagi Tionghoa yang selalu diminta menunjukkan SBKRI dan belum juga tuntas sampai tahun lalu itu.
Tentu saja, usaha-usaha untuk merongrong kebaikan hubungan persahabatan RI-RRT dilakukan terutama oleh anasir kanan yang diwakili oleh Angkatan Darat, dimana ketika itu sering dikategorikan beroposisi dengan Presiden Soekarno yang kiri. Salah satu cara yang paling ideal dan mudah terlaksana, tentu diletupkan kerusuhan anti-Tionghoa, sekelompok minoritas Tionghoa yang berposisi lemah. Baik deengan dikeluarkannya PP-10 yang mengakibatkan penderitaan luar-biasa pada ratusan ribu Tionghoa yang harus hijrah meninggalkan kehidupan dan mata-pencaharian di pedesaan. Tanpa ada pengaturan penampungan dan memberi jalan keluar yang baik dari Pemerintah, mereka-mereka harus segera meninggalkan pedesaan dan ngungsi kekota-kota kabupaten. Jelas, kebijaksanaan demikian ini, pertama mempersulit Pemerintah RI sendiri, sedikit banyak ekonomi nasional dirugikan dan kedua, juga mempersulit pemerintah Tiongkok yang disaat menghadapi bencana alam berat, harus menampung warga Tionghoa begitu banyaknya. Dan, dalam kenyataan Tionghoa perantau yang sudah lama hidup diluar, untuk kembali kekampung halaman deengan kehidupan yang sangat berbeda, itu tidak mudah. Banyak persoalan yang harus diatasi.
Tidak lama, ditahun 63 bulan Mei meletup kerusuhan anti-Tionghoa, yang diawali pertengkaran mahasiswa ITB, Bandung dan merebah ke beberapa kota, disaat terjadi pengrusakan-pembakaran di kota Bandung, rumah Yap Tjwan Bing ikut jadi korban. Atas desakan keluarga dan untuk mengejar kehidupan yang aman-tentram, Yap sekeluarga mengambil putusan hijrah ke AS. Dan, … Presiden Soekarno ketika itu juga dengan tegas menyatakan kerusuhan-kerusuhan anti-Tionghoa itu merupakan tindakan reaksioner yang ditujukan untuk mendongkel dan merusak pembangunan ekonomi nasional.
Yang perlu diperhatikan dan menjadi pegangan kita untuk selanjutnya, setiap bangsa didunia ini hendaknya mempunyai semangat kemandirian yang kuat, tidak dan jangan mau dikendalikan bangsa lain untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan mereka sendiri dan jelas merugikan bangsa sendiri! Banyak contoh sejarah bangsa-bangsa didunia menunjukkan itu, saya berikan contoh bagaimana Mao Tse-tung berkeras melaksanakan garis politik yang jadi keputusan Partai Komunis Tiongkok dan tidak mau menuruti perintah Sovyet Uni yang sama-sama komunis itu.
Pada saat Perang Pembebasan melawan Kuo Min Tang, tahun 48, Sovyet menurunkan “Perintah” agar PKT menghentikan penyerangan ke Selatan Sungai Yang-tze. Stop dan biarkan Kuo Min Tang tetap menguasai Tiongkok bagian selatan sungai Yang Tse saja. Dengan alasan, kuatir AS tidak akan tinggal diam, akan mengirim pasukan besar-besaran dan akan pecah PD-III sebelum Sovjet kuat, … Mao tidak mempedulikan “PERINTAH” Sovyet itu, dan terus menyerbu Kuo Min Tang sampai dia lari ke Taiwan dan RRT di-Proklamasikan pada 1 Oktober 1949. Pertengkaran dan perselisihan dengan PKUS menjadi lebih sengit pada tahun-tahun 60-an, Tiongkok tidak mau tunduk untuk mengikuti pembangunan yang telah ditargetkan berdasarkan kehendak PKUS, akhirnya segala bantuan PKUS yang telah ditandatangani dibatalkan, baik yang sedang dalam proses pelaksanaan maupun yang masih dalam rencana, bahkan serentak mencabut kembali semua ahli-ahli yang semula diperbantukan pada Tiongkok dalam berbagai proyek-proyek. Sekalipun RRT harus menelan banyak kerugian akibat banyak proyek mandeg ditengah jalan, tapi semangat Mao yang mengutamakan berddikari dan tidak tunduk pada tekanan bangsa lain, patut diacungi jempol. Justru dengan semangat berdikari itulah Mao membawa seluruh rakyat Tiongkok tegak berdiri mengatasi segala kesulitan dan penderitaan bencana alam yang dihadapi. Bangun dan berdiri membangun negaranya maju terus, dan tradisi itulah yang diteruskan pimpinan-teras Tiongkok sampai sekarang ini membawa maju/makmur rakyat Tiongkok dengan gemilang.
Sebenarnya semangat mandiri demikian juga ada pada Presiden Soekarno, membawa rakyat Indonesia berani tegak berdiri melawan segala tekanan dari Belanda dan AS. Tidak tunduk ditekan untuk merebut Irian yang masih berada dibawah kekuasaan Belanda, tidak tunduk pada perintah-perintah AS dengan seruan “Go to Hell with your aids”. Disaat itu, bangsa Indonesia sangat dipandang dan terhormat, khususnya bagi negara-negara berkembang Asia-Afrika. Tapi, … setelah Soeharto berkuasa segalanya terjadi terbalik. Bersandar sepenuhnya pada modal asing untuk mengolah, menguras habis-habisan kekayaan alam bumi Indonesia yang kaya raya itu. Tambang emas Freeport dikontrakan dalam jangka waktu panjang hanya sebagai tambang tembaga saja, modal asing dibiarkan menguras minyak-bumi dengan menmggunakan pipa-pipa raksasa ketengah laut tanpa bisa dikontrol, hutan-hutan digunduli tanpa bisa dicegah, dan,… semua itu tentu lebih menguntungkan modal-asing dengan menggendutkan sementara perut penguasa saja. Yang menjadi celaka, sedikit keuntungan yang didapat dengan menguras hasil kekayaan alam, oleh Soeharto tidak digunakan untuk membangun dasar ekonomi nasional sebaik-baiknya, tidak digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan Rakyat banyak. Kemudian, jalan keluar mengatasi gempuran krismon diakhir 97, juga semata-mata nuruti tekanan IMF dengan BLBI, yang akhirnya membuat ekonomi nasional lebih terpuruk lagi, dan sampai sekarang setelah lewat lebih 11 tahun belum nampak pulih kembali. Itulah hasil kebijaksanaan mantan Presiden Soeharto yang sempat dijuluki bapak “PEMBANGUNAN” dan semua itu hanya menuruti kehendak AS dan untuk kepentingan AS saja.
Apa latar belakang dari “ada usaha keras untuk menghilangkan segala yang berbau Tionghoa yang dipelopori oleh LPKB.” ?? Tanya Neng Uli. Mestinya pertanyaan itu diajukan pada tokoh LPKB, dan mereka-merekalah yang berhak memberikan jawaban. Saya hanya bisa mengajukan bahwa berdasarkan konsep “ASIMILASI” yang populer ketika itu, ya memang menghilangkan segala ciri-ciri yang berbeda untuk mendapatkan satu ciri baru. Jadi ya memang berusaha menghilangkan yang berbau Tionghoa untuk meleburkan jadi satu dengan yang dinamakan pribumi. Memang sulit untuk menuduh begitu saja tokoh-tokoh LPKB itu penghianat yang anti-Tionghoa, barangkali mereka sebenarnya juga ingin menyelesaikan masalah Tionghoa yang memang cukup ribet. Atau tidak sadar kalau mereka digunakan untuk membuat rumit masalah dan ditampilkan hanya untuk melawan BAPERKI yang dituduh kiri saja.
Tapi, kalau kita perhatikan pandangan atau pemikiran ketika itu untuk membuat masyarakat hidup harmonis, harus menghilangkan segala perbedaan yang ada. Mengumpamakan melting pot, yang melumatkan berbagai jenis sayur-sayuran sampai tidak lagi berbentuk dan rasa sayur asal dengan rasa yang samasekali baru. Dari pengertian itulah orang dalam kehidupan bermasyarakat, lalu mengejar untuk lebih dahulu mengusahakan menghilangkan segala perbedaan yang ada, menghilangkan ciri-ciri asal yang ada untuk menjadi sesusatu yang baru. Dengan tidak ada lagi perbedaan dan menjadi sesuatu yang baru itulah diharapkan terjadi kehidupan yang harmonis. Tapi orang lupa, pertama proses “penghilangan” ciri-ciri asal itu, baik budaya-tradisi termasuk Agama maupun biologis harus berlangsung secara alamiah, sedikitpun tidak boleh mengandung paksaan apalagi kekerasan; kedua, proses untuk mencapai sesuatu yang baru itu memerlukan waktu yang sangat-sangat panjang, yang tidak akan tercapai dalam beberapa bahkan ratusan generasi tentunya.
Jadi, akan lebih baik dan nampaknya begitulah yang diterima banyak negara maju sekarang, yang lebih menitik beratkan atau memberi penekanan agar setiap umat manusia yang hidup didunia ini bisa saling menerima dan menghormati segala perbedaan yang ada. Bukan menghilangkan perbedaan yang ada, tapi menerima dan menghormati perbedaan yang ada. Pengertian inilah yang saya kira lebih tepat dan lebih ideal untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata bermasyarakat majemuk. Ber-BHINEKA TUNGGAL IKA, sebagaimana ditetapkan dalam lambang negara RI. Hanya saja pelaksanaannya disana-sini jadi melenceng karena ulah sementara pejabat. Jadi, didunia juga terjadi perubahan dari malting-pot yang berusaha menghilangkan segala perbedaan menjadi salad-bowl, dimana setiap jenis sayur masih berbentuk dan rasa asal yang dicampur jadi satu dengan rasa baru yang lebih enak, … itulah yang sekarang dinamakan MULTIKULTURALISME.
Salam,
ChanCT
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa