Budaya-Tionghoa.Net | Liatwi Hengte Cimue, Terlepas dari pro-kontra pembangunan Taman Budaya Tionghoa Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah yang milik swasta, perkenankanlah saya menyampaikan sedikit pandangan sebagai orang awam yang bukan arsitek.
Menurut hemat saya sih, sekarang kita pertegas dulu, bangunan macam apa yang hendak kita dirikan di Taman Budaya Tionghoa Indonesia? Bangunan ala Tionghoa-Indonesia-kah atau Tionghoa-Tiongkok? Sebab keduanya jelas berbeda. Mari kita cermati perbedaannya.
Kalau yang ingin direpresentasikan adalah Tionghoa-Indonesia, bukan Tionghoa-Tiongkok sana, maka bangunan yang akan kita dirikan harus berciri Tiongkok Selatan (Fujian-Guangdong), bukan Utara. Kalau mau membangun bangunan monumental atau bangunan vernakular pun, ya tetap bangunan monumental atau bangunan vernakular yang berciri khas Selatan.
Untuk konteks Jawa ya Hokkian/Fujian Selatan, dengan bubungan atap yang melengkung membentuk busur dan ujungnya dalam gaya Yanbue / Yanwei 燕尾形 (Buntut Walet) yang terbelah dua yang cantik, macam Gedung Majoor Khouw Kim An/Xu Jin’an 許金安 (1875- 1945) aka Gedung Sin Ming Hui, Gedung eks-Kedutaan Tiongkok (gedung yang disangka Gedung Sin Ming Hui, yang sudah rata dengan tanah, tapi fotonya bisa kita nikmati dalam buku Batavia in Nineteenth Century Photographs,) keduanya di Gajah Mada, Gereja Santa Maria de Fatima (Ricci) di Toasebio / Dashimiao 大使廟, Gedung Familie Souw/Su 蘇 di Patekoan, dll. Gaya Yanwei dahulunya hanya boleh digunakan untuk kediaman para pemimpin Tionghoa yang diangkat Belanda (Majoor, Kapitein serta Luitenant der Chineezen), dan kelenteng.
Di depannya biasanya ada sepasang singa batu (cioh-sai/shishi 石獅). Dan di Tiongkok gaya Yanwei seperti itu hanya kita temui di kota-kota di eks-karesidenan Ciangciu / Zhangzhou 漳州府 dan Coanciu / Quanzhou 泉州 府 di Hokkian / Fujian Selatan (Banlam / Minnan 閩南). Selain gaya Yanbue / Yanwei, juga dikenal gaya Bepue / Mabei 馬背形 (Pelana) yang lebih umum, sebab gaya ini boleh dipakai oleh rakyat kebanyakan.
Sebaliknya, jika kita ingin mendirikan bangunan gaya Utara, jelas itu salah tempat dan konteks. Sebab, ke mana pun kita pergi di Indonesia, kita akan menemui bangunan-bangunan berciri khas Hokkian Selatan (Banlam/Minnan), Hakka, Konghu, Tiociu dll, tergantung lokasi, semuanya dalam gaya Selatan (Fujian-Guangdong).
Arsitektur Tionghoa di Indonesia dapat kita katakan sama sekali tak ada hubungannya dengan Utara; gaya Utara tidak bakal kita temui, kecuali yang baru-baru ini dibuat, macam Kelenteng Sam Poo Tong/San Bao Dong 三保洞, bukan Sam Poo Kong (Tong 洞 = Gua/Goa, Kong 公 = Paduka) di Gedung Batu, Semarang. Mau su-hap yni / siheyuan 四合院, sam-hap-yni / sanheyuan 三合院 atau model courtyard yang berlaku umum di seluruh Tiongkok, terserah, yang penting berciri Minnan atau gaya Selatan lainnya!
Mengenai layout, dari sample berbagai bangunan khas Minnan yang saya amati, tampak ada suatu pola sama yang berlaku umum, yakni bangunan induk (zniabang/zhengfang正房) bergaya atap Yanwei / Yanbue di tengah, diapit dua bangunan samping (sniobang/xiangfang 廂房) bergaya atap Mabei /Bepue di kanan-kirinya, serta bangunan belakang (aobang / houfang 後房) yang paling tinggi di bagian belakang, kalau ada courtyard di antara zhengfang dan houfang. Di tengah bangunan induk sendiri ada sebuah pekarangan kecil (small courtyard, cimcne 深井 atau tianjing天井).
Dan yang harus kita cermati, arsitektur Tionghoa (Minnan) di Indonesia sudah lama beradaptasi dengan iklim tropik Indonesia, dengan curah hujan tinggi di musim penghujan dan panas terik di musim kemarau, yang berbeda dengan iklim sub-tropik di Fujian sana, juga sudah mendapat pengaruh Indis yang kuat. Misalnya, pemakaian jendela krepyak yang besar-besar, dengan jendela terdiri dari dua daun berkaca, pemakaian besi-besi penopang atap (entah apa namanya ya?).
Jelas, sangat-sangat Indonesia. Dan itulah yang membuat bangunan-bangunan bergaya arsitektur Tionghoa yang ada di kita menjadi sangat berharga, sebab tiada duanya di dunia, bahkan di Tiongkok sekali pun! Di Tiongkok mana ada gaya jendela seperti itu? Bukankah jendela Tiongkok pake kisi-kisi jendela (thang-a-ki/ chuanglingzi 窗櫺子)?
Kalau konteksnya mau membangun bangunan ala Tionghoa-Tiongkok, silakan saja impor gaya Utara, atau gaya Hokkian yang murni. Tapi itu jelas bukan gaya kita, Tionghoa-Indonesia.
Lalu, apa bedanya bangunan yang kita dirikan di Taman Budaya Tionghoa- Indonesia―katanya―dengan yang di Beijing atau Shanghai? Apa kita sudah sampai tak punya ciri sendiri, hingga kita hanya mampu meniru apa yang sudah ada di Tiongkok sana, dengan biaya tak sedikit pula? Lalu, apa kita yakin bangunan ala Tionghoa-Tiongkok yang kita dirikan dengan biaya 50 miliar akan lebih hebat dari apa yang orang sana buat? Mohon pencerahan, mohon maaf seandainya kata-kata saya terlalu tajam.
Kiongchiu,
DK
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa | Facebook Group Tionghoa Bersatu