|
Rasa toleransi yang besar dari orang Tionghoa terhadap agama asing, terutama agama asing yang mau menghormati budaya mereka membuat kelenteng menjadi hal yang rancu milik agama apa. Karena itu Sam Kaw Hwee atau Perkumpulan 3 agama terbentuk pada tahun 1938 di beberapa kota dan pada tahun 1952 menjadi Gabungan Tridharma Indonesia. Tapi sepanjang yang saya tahu, hal ini lebih banyak terjadi di pulau Jawa.
Kelenteng adalah community center , tempat ibadah penghormatan kepada para pahlawan dan orang yang berguna bagi masyarakat |
Gonjang-gang politik berubah dan membuat kelenteng mau tidak mau tiarap karena hak mereka untuk beraktifitas menurut keyakinan mereka dilarang ditampilkan di depan umum. Jangan kamu hanya melihat isinya saja, lihat saja bagaimana pelaksanaannya. Contoh yang paling sederhana adalah PP 10 yang isi dan pelaksanaannya tidak sesuai. Karena itu pada tahun 1967 juga dibentuk Tempat Ibadah Tridharma atau yang dikenal TITD di Surabaya. Tidak semua kelenteng di pulau Jawa bergabung dengan TITD Surabaya, sebagai contoh adalah Tek Hai Kiong di Tegal.
Ibunda alm.Ashin Jinnarakhitta adalah penganut Tridharma, bisa dilihat dari bangunan peninggalan keluarga beliau dan meja altar samping untuk 3 tokoh Tridharma tersebut. Walau tokoh utama Taoism yang dimasukkan adalah Jinqie Kunlun Tianzun bukan Sanqing Tianzun atau Daozhu. Jadi tidak mengherankan beliau berusaha mengayomi kelenteng-kelenteng yang banyak dalam kondisi tidak mengenakkan jika dilihat dari situasi politik masa itu.
Banyak bukti nama kelenteng yang berbau Tionghoa harus berganti menjadi nama Sansekerta. Beberapa sebagai contoh adalah Hoktek bio di Karet menjadi vihara Amurvha Bhumi, Luban miao menjadi vihara Dharmakaya Angsapura, Dashi miao menjadi Dharmajaya dan masih banyak lainnya. Dan semua kelenteng itu bukanlah milik agama Buddha. Selain penempatan rupang Buddha yang memang secara aturan tata krama kelenteng tidak tepat, juga banyaknya dharmasala yang dibangun atau memanfaatkan ruang kelenteng.
Saya pribadi memaklumi tindakan kelenteng yang kemudian dibawah naungan agama Buddha. Dan perlu diingat sejak ORBA banyak penganut suatu agama atau kepercayaan yang tidak mendapat pengakuan maka harus masuk atau berada dinaungan salah satu 5 agama besar dan yang umum adalah Hindu, Islam, Buddha dan Katolik.
Surat Keputusan Bersama Medagri dan Jaksa Agung No.76/1980 dan Inmendragri No 455.2-360 itu yang melatari terbentuknya DEWI atau Dewan Wihara Indonesia. Dimana pembentukannya semakin membuat banyak kelenteng berpindah nama menjadi vihara.
Seandainya tidak ada agama Buddha, bisa dibayangkan bagaimana kelenteng itu nantinya ? Dan kita harus ingat bahwa jejak keberadaan orang Tionghoa di Indonesia itu tidak bisa dilepaskan dari kelenteng-kelenteng yang ada di seluruh Indonesia.
Bagi saya pribadi, kelenteng adalah community center dan merupakan suatu tempat ibadah penghormatan kepada para pahlawan atau orang yang berguna bagi masyarakat maupun negara. Dan pendapat saya ini terus terang mendapat banyak tentangan dari berbagai pihak, yang bisa saya lakukan hanya penyebaran pandangan ini kepada beberapa orang.
Miao atau Bio sendiri sekarang ini diklaim oleh 3 pihak, yaitu pihak Ruism, Daoism dan Minjian bahwa miao adalah milik dari salah satu agama tersebut. Jika ini dibiarkan dan ketika Taoism dan Ruism menguat di Indonesia, maka pertempuran perebutan miao milik siapa juga nanti akan timbul. Sama seperti sekarang, kelenteng adalah vihara yang memicu “ketegangan” tidak tampak.
Mereka harus sadar bahwa sebenarnya pembangunan miao pada jaman dahulu terutama pada jaman kerajaan, tidak segampang itu. Hak pendirian miao ada pada negara. Mayoritas rakyat untuk mengenang jasa-jasa para tokoh berjasa baik lokal maupun nasional adalah dengan membangun Ci. Miao bisa saja dibangun oleh rakyat, tapi nantinya harus melalui proses pengukuhan dari kerajaan.
Yang menjadi permasalahan adalah sikap beberapa oknum Kristiani yang tidak mau menghormati budaya orang Tionghoa terutama cara orang Tionghoa menghormati leluhurnya, Tuhan dan para tokoh yang berjasa. Juga cara penyebutan Tuhan yang dianggap melecehkan para kaisar dinasti Qing, selain itu perlu diingat sejak ribuan tahun yang lalu di Tiongkok, agama tidak pernah berada diatas kerajaan seperti halnya di Eropa. Dan orang Tiongkok tidak akan mau mengakui satu lembaga keagamaan yang berada diatas negara.
Kita perlu ingat masing-masing bangsa memiliki caranya masing-masing. Akidah agama apapun, tidak akan terlepas dari budaya di agama tersebut berkembang, bahkan tradisi agama yang melekat juga tidak akan luput dari budaya suatu negara yang mempengaruhi agama tersebut. Sebagai contoh adalah perayaan Natal, Valentine itu jelas-jelas pengaruh dari budaya Romawi. Contoh diatas yang saya tulis tidaklah bertujuan memicu perang agama di milist ini tapi lebih bertujuan agar kita bisa saling memahami.
Jangan memakai kacamata kuda dalam menilai suatu budaya, terutama budaya yang dimiliki oleh orang Tionghoa itu sendiri. Jika orang barat mengatakan “Say it with flowers” maka orang Tionghoa akan mengatakan “Say it with foods”. Karena itu dalam acara pemakaman, ada yang menggunakan bunga dan ada yang mengunakan makanan. Orang Eropa terpengaruh kata-kata Shakespeare,”Apa arti sebuah nama, mawar tetap harum.” Orang Tionghoa yang dalam perkembangan sejarahnya dipengaruhi filsafat Penamaan atau Mingjia menekankan pentingnya nama sebagai suatu identitas diri juga untuk pengelompokkan jenis-jenis binatang, tumbuhan dan sebagainya.
Hormat saya,
Xuan Tong
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa