Budaya-Tionghoa.Net | Saya memberanikan diri menulis mengenai hal ini guna meluruskan pandangan mengenai budaya Tionghoa. Sebagaimana halnya budaya di seluruh belahan bumi, maka yang namanya budaya itu tidak luput dari bahasa simbolisme.
ARTIKEL TERKAIT :
{module [201]}
|
|
|
Bahasa simbolis ini mencerminkan dambaan dalam batin manusia mengenai apa yang dianggapnya baik. Sebagai contoh, saya akan menceritakan pengalaman saya di Jerman. Dahulu waktu uang Euro belum berlaku, maka di Jerman berlaku mata uang DM, dengan satuan terkecilnya adalah Pfennig.
Satu DM (Deutsche Mark) setara dengan 100 Pfennig. Jikalau dahulu pada tahun 90-an, kurs 1 DM adalah Rp. 1.300, maka satu Pfennig nilainya adalah hanya Rp. 13 (Tiga belas Rupiah!). Tetapi jika berbelanja dan kembaliannya adalah 1 Pfennig, maka orang Jerman tetap memintanya.
Mengapa demikian? Padahal orang Jerman itu tidak miskin, lagipun 1 Pfennig tidak dapat dipakai buat beli apa-apa. Ternyata pada uang logam Pfennig itu ada huruf serialnya, sebagai contoh A, B, C, D, E, dan seterusnya. Yang dicari orang Jerman itu adalah yang bertuliskan huruf G.
Huruf G itu mereka anggap singkatan dari “Glueck,” atau “keberuntungan” alias “hokkie”? Apakah orang Jerman tahayulistis? Sebenarnya tidak bisa dianggap demikian, karena itu bagi mereka adalah semacam doa atau harapan agar mendapatkan keberuntungan. Salahkan mengharapkan keberuntungan? Bahkan dalam doa agama apapun, pasti terdapat doa keberuntungan. Doa adalah harapan.
Uang 1 Pfennig itu akan mereka kumpulkan dalam sebuah wadah. Jika sudah terkumpul cukup banyak, maka akan dibuat membeli sepatu yang akan mereka kenakan saat perkawinan (Hochszeit). Ini adalah tradisi Jerman, dan masih ada orang yang melaksanakannya.
Tidak ada satupun orang Jerman yang menganggapnya sebagai tahayul, karena itu di dalamnya terdapat ajaran filosofis agar kita rajin menabung (sparen) bagi masa mendatang (Zukunft). Dengan mencermati kasus ini, maka dalam mempelajari dan menilai suatu budaya dan tradisi, kita perlu menelaah maknanya.
Kasus yang sama dapat dikenakan pada budaya Tiongkok. Saya dahulu pernah mempertanyakan mengenai keengganan orang Tionghoa terhadap angka 4, yang memang bunyinya mirip kata “mati.” Memang sebenarnya tidak enak juga kalau kita terus menerus mendengar kata “mati.”
Misalnya orang yang punya nomor rumah 44. Waktu ditanya berapa nomor rumahnya, ia seolah-olah berkata, “mati mati mati.” Kata-kata secara psikologis juga dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang.
Seorang yang banyak mendengar kata-kata kasar dan negatif tentunya akan memiliki taraf kesehatan batin yang lebih rendah dibandingkan orang yang senantiasa mendengarkan kata-kata halus serta positif. Oleh karenanya, suatu budaya harus kita mengerti alasannya. Percaya membuta juga keliru, tetapi hanya menilai dan menghakimi bentuk luarnya semata juga tidak benar.
Metafisika Tiongkok juga demikian. Banyak orang menyalah-pahaminya sebagai sesuatu yang penuh predestinasi dan fatalisme, padahal tidak demikian halnya. Dasar metafisika Tiongkok adalah kosmologi Tiongkok yang berpandangan bahwa segala sesuatu di alam ini adalah siklis sifatnya atau senantiasa berulang.
Energi di alam semesta ini juga senantiasa bersiklus. Kita mudah sekali menyaksikannya di alam, seperti perubahan musim, yakni semi, panas, gugur, dan dingin. Kondisi iklim juga akan berpengaruh terhadap metabolisme tubuh dan juga akhirnya terkait pula dengan perasaan manusia.
Orang Tiongkok kuno lantas melambangkan energi-energi ini dengan lima elemen, yakni kayu, api, tanah, logam, dan air. Yang patut diingat, elemen-elemen ini jangan hanya ditafsirkan secara harafiah, karena juga mencakup anasir-anasir alam yang sifatnya abstrak.
Jika kita menelaah lebih jauh berdasarkan sains, maka terdapat pula siklus air (hidrologi), sehingga memungkinkan terjadi hujan. Orang Tiongkok kuno mengamati adanya keteraturan ini dan mencoba menggunakannya guna memprediksikan masa depan, sebagaimana halnya bangsa-bangsa lain di muka bumi.
Dengan memanfaatkan pengetahuan mengenai keteraturan ini, dapat dilakukan antisipasi bagi masa depan, contohnya kapan saat menebar benih, menyiangi, memanen, dan lain sebagainya. Apabila manusia tidak mau mengikuti dan menyesuaikan diri dengan siklus alam, maka sudah dipastikan bahwa kegiatan pertanian tak akan berhasil baik. Tidak mungkin kita menebar benih di musim dingin, bukan?
Lebih jauh lagi, dalam memilih pemukimannya manusia di zaman dahulu perlu memilih tempat yang dapat memudahkan hidup mereka, umpamanya di tanah subur, dengan sungai sebagai sumber air, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya, banyak kebudayaan besar lahir di tepian sungai (Sungai Indus, Nil, Huanghe, dan lain sebagainya).
Pemilihan tempat pemukiman ini menjadikan bangsa Tiongkok memikirkan mengenai konsep tata letak dan keruangan, selaku cikal bakal ilmu Fengshui. Jadi ilmu Fengshui juga terlahir dari pengamatan bangsa Tionghua terhadap alam, dalam hal ini kondisi geografis. Umpamanya tempat-tempat yang tinggi harus dihindari, karena angin terlalu kencang dan juga rawan petir.
Dengan mempertimbangkan arah angin dan lain sebagainya, akhirnya timbul pemikiran mengenai konsep arah yang baik dan tidak baik. Pemilihan letak ini akhirnya dipadukan dengan kosmologi Tiongkok, sehingga akhirnya semakin rumit dan berkembang menjadi ilmu Fengshui yang kita kenal sekarang.
Dalam tradisi persembahyangan, sesajian yang ada sebenarnya adalah mencerminkan pula kelima unsur atau elemen. Semua ini merupakan bahasa simbolisme yang disertai harapan agar segenap elemen dalam keadaan seimbang. Hidup yang ideal adalah diliputi keseimbangan. Ketidak-seimbangan ini dapat memicu gangguan dalam sebuah sistim.
Dari sisi ilmiah kita mengenal jika keseimbangan ekosistim terganggu maka akan terjadi gangguan pada mata rantai lainnya. Ekosistim cenderung akan mencari titik keseimbangan baru, dan dalam proses menuju keseimbangan baru ini, maka segenap mata rantai akan mendapatkan dampaknya, baik positif maupun negatif.
Dalam ilmu fisika dan mekanika teknik, saat merancang sesuatu pun kita harus menciptakan kesetimbangan (Gleichgewicht). Jikalau kita merancang bangunan atau mesin, maka penting sekali bagi kita agar menciptakan kesetimbangan. Jika bangunan tidak setimbang, maka dia akan bergerak mencari titik kesetimbangan baru, alias roboh. Karenanya, membangun sesuatu secara prinsip adalah menciptakan “keseimbangan.”
Dengan membandingkan antara konsep keseimbangan Tiongkok kuno dan dalam sains modern, apakah kita masih boleh mengatakan bahwa konsep Tiongkok kuno tersebut ketinggalan zaman? Jika ketinggalan zaman mengapa sains juga menerapkan prinsip yang sama?
Oleh karena itu, dalam menilai sesuatu kita perlu menelaah terlebih dahulu secara seksama dan bila perlu memandangnya dari berbagai sudut pandang atau disiplin ilmu. Semoga bermanfaat.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa