Photo Ilustrasi : Mid Autumn Festival – Hong Kong , by NaraPics
Budaya-Tionghoa.Net| Hari Raya Tiong Chiu ( Zhong Qiu Jie 中秋节) atau Festival Tengah Musim Gugur, selalu berkaitan erat dengan kehadiran bulan purnama. Bagi masyarakat Tionghoa, bulan purnama melambangkan kesempurnaan sekaligus kebahagiaan. Bulan purnama begitu bulat sempurna, bulat dalam bahasa Mandarin adalah ‘yuan’, kata ini juga di pakai dalam kata mejemuk ‘tuan yuan,’ secara harafiah berarti bulat berkumpul. Istilah ini menggambarkan situasi pertemuan kembali keluarga, kekasih atau sahabat, yang telah lama terpisahkan. Dalam tradisi aslinya, pada saat
Zhong Qiu Jie seluruh keluarga diharapkan dapat berkumpul, makan bersama dalam satu meja di bawah bulan purnama atau ‘da tuan yuan’ ( pertemuan akbar paripurna ).
|
Zhong Qiu Jie dan bulan purnama merupakan tema yang sering muncul dalam sastra Tiongkok, khususnya dalam puisi klasik. Bertolak belakang dengan suasana riang yang selalu menyertai perayaan musim gugur (Zhong Qiu Jie), puisi-puisi ini kebanyakan menghadirkan suasana murung. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat pada saat menulis sang penyair umumnya sedang sendirian, terpisah jauh dari sanak saudara. Kehadiran bulan purnama bukan menambah gembira, malah menimbulkan rasa sepi dan membangkitkan kerinduan.
Su Dongpo menulis sebuah syair Zhong Qiu yang terkenal . Ditulis sehabis mabuk berat dan ditujukan untuk adiknya yang berjauhan. |
* * *
Dalam pengasingan, di saat perjalanan hidup dan karier politik mengalami goncangan, penyair ternama Dinasti Song Su Shi 苏轼 (alias Su Dongpo 苏东坡),menulis sebuah syair Zhong Qiu yang sangat terkenal. Ditulis sehabis mabuk berat dalam perjamuan Zhong Qiu, syair ini ditujukan untuk adiknya yg berjauhan tinggalnya. Dalam tulisannya, dia sempat berkhayal untuk melarikan diri dari dunia nyata yang sangat mengecewakan. Rembulanlah yang menjadi tempat pelariannya. Rembulan adalah lambang pasang surutnya kehidupan, lewat rembulanlah dia menitip rasa rindu pada saudara yang telah lama terpisahkan.
TENGAH MUSIM GUGUR
Su Shi ( 1036-1101 ; Song )
Kapan saatnya ada bulan purnama?
angkatlah arak tanyailah biru angkasa.
Entah menara istana yang di atas khayangan,
malam ini sesungguhnya tahun berapa?
Kuingin pulang menumpang angin,
hanya takut wisma kumala menara manikam,
di ketinggian dingin tak tertahankan!
Bangkitlah menari mereka tajam bayangan,
adakah tempat yang menyamai bumi insan?
Paviliun merah dikitari,
jendela kerawang dituruni,
yang berjaga teruslah disoroti.
Seharusnya tak menyimpan dendam,
mengapa selalu membulat saat insan terpisahkan?
Manusia ada suka duka pisah jumpa,
bulan ada bulat rompal terang buram,
sejak dahulu adakah yang sempurna?
Semoga manusia abadi senantiasa,
ribuan kilo berbagi Dewi Rembulan.
( Syair di atas pernah dinyanyikan dalam versi Pop Moderrn oleh penyanyi Theresa
Deng dengan judul Dan Yuan Ren Chang Jiu )
Penulis Tiongkok modern Ba Jin 巴 金 ( 1904- ) dalam satu esainya pernah
menyatakan, dia membenci bulan purnama, karena kehadirannya selalu menjadikan
manusia lemah dan melankolis. Pada saat revolusi, banyak anak muda dengan gagah
berani meninggalkan kampung halaman, dengan tegas memutuskan ikatan dengan
keluarga feodal yang coba membelenggu mereka. Namun pada saat mengalami
kesulitan hidup, kehadiran bulan purnama membuat mereka rindu kembali kepada
semua kenyamanan yang pernah mereka miliki di rumah. Sebagian dari mereka
menjadi patah semangat, dan memutuskan untuk kembali ke kehidupan lama yang
mapan.
Bagi perantau, bulan purnama selalu mengingatkan kampung halaman, maka tidak
mengherankan kalau puisi Rindu Malam-nya penyair Li Bai 李 白( 701 – 762 ) dari
Dinasti Tang menjadi sangat terkenal di kalangan Hoa-kiau di seluruh dunia.
RINDU MALAM
Li Bai ( 701-762 ; Tang )
Sinar purnama di depan pembaringan,
embunkah yang membeku di pelataran?
Tengadah menatap rembulan purnama,
tertunduk mengingat kampung halaman.
Masih dalam kerinduan yang sama, penyair Wang Jian 王建 bertutur tentang rindu
musim gugurnya:
REMBULAN LIMA BELAS MALAM
Wang Jian ( 766?-830? ; Tang )
Pelataran tengah memutih gagak berdiam di dahan,
embun dingin tanpa suara membasuh bunga lawang.
Malam ini seluruh insan menatap terang rembulan,
rindu musim gugur menimpa rumah siapa gerangan?
Penyair Tang juga banyak yang bertugas sebagai pejabat kerajaan. Merekapun
sering harus menjelajah ke gurun utara yang gersang, bisa dibayangkan
kegelisahan yang muncul saat melihat bulan purnama. Lihatlah bagaimana penyair
perbatasan Cen Can 岑参 murung merenung.
TULISAN DI GURUN
Cen Can ( 715-770 ; Tang )
Kuda menapaki langit hendak jalan menuju barat,
berpamit ke rumah telah dua kali bulan membulat.
Malam ini belum tahu di tempat mana menginap,
ribuan kilo pasir menghampar asap manusia lenyap.
Puisi tentang bulan purnama juga dapat menjadi sebuah puisi cinta, penyair
dinasti Tang, Zhang Jiuling 张九龄melukiskan kerinduan dan kesepian seorang
wanita yang berpisah jauh dari kekasihnya, juga dengan latar-belakang bulan
purnama.
MERINDUKAN YANG JAUH
Zhang Jiuling ( 678-740 ; Tang )
Di atas lautan bangkitlah bulan purnama,
di tepian angkasa berbagi waktu bersama.
Kekasih mengeluh pada malam panjang,
rindu bangkit mendera sepanjang petang.
Padamkan lilin sayangilah purna cahaya,
kenakan mantel hindarilah basah embun.
Tak muat di tangan untuk dipersembahkan,
kembali tidur bermimpilah hari pertemuan.
Puisi di atas ditulis penyair pria mengatas namakan wanita, tentunya akan lebih
pas membaca perasaan wanita lewat puisi yang ditulis mereka sendiri.
Bolehlah kita ketengahkan syair karya penyair wanita ternama Dinasti Song Li
Qingzhao 李清照, yang sentimental dan personal。
PURNAMA DI MENARA BARAT
Li Qingzhao ( 1084-? ; Song )
Padma merah menyisakan wangi tikar hijau menyejukkan,
perlahan melepas mantel sutera,
sendirian menaiki bilah sampan.
Di tengah awan siapa yang mengirim sepucuk surat?
saat barisan belibis pulang,
purnama memenuhi menara barat.
Bunga kembara melayang sendiri air mengalir sendiri,
satu rupa rasa rindu,
mengusik di dua kalbu.
Tiada cara memangkas lunas renjana ini,
habis turun dari ujung dahi,
kembali singgah di relung hati!
Bicara tentang penyair Song, tentu kita tak bisa lepas dari nama Xin Qiji
辛弃疾,penyair besar patriotik dengan gaya Lantang. Sesuai dengan wataknya, dia
tak lagi berkeluh kesah menatap rembulan, tapi berkhayal lepas melontar cita
cita, membersihkan rembulan dari bayang2 noda adalah juga harapannya terhadap
kejayaan tanah air.
TENGAH MUSIM GUGUR DI JIANKANG
Xin Qiji ( 1140-1207 ; Song )
Roda musim gugur memutar ombak kencana,
cermin terbang kembali diasah sangkala.
Angkatlah arak bertanyalah pada Dewi Bulan,
disiksa uban kepala apakah insan berdaya?
Baiklah pergi menumpang angin,
jutaan kilo angkasa memanjang,
lurus ke bawah tanah-air yang dipandang.
Tebanglah pohon lawang yang bergoyang,
insan berujar sinarnya pasti lebih benderang.
Dinasti silih berganti, tradisi berpuisi di hari raya Zhongqiu masih terus
berlanjut. Sebagai penutup era klasik, bolehlah kita nikmati sebuah syair
Zhongqiu yang indah menyentuh dari penyair Dinasti Ming Xu Youzhen 徐有貞.
REMBULAN DI TENGAH MUSIM GUGUR
Xu Youzhen (1407-1472;Ming)
Rembulan di tengah musim gugur,
rembulan setiba di tengah musim gugur begitu jernih bercahaya.
Begitu jernih bercahaya,
adakah yang tahu
berapa kali dia bulat rompal terang gulita?
Bulat rompal terang gulita tak usah bicara,
nikmatilah hari bahagia di bumi manusia.
Hari yang bahagia,
semoga tahun ke tahun,
sering melihat rembulan di tengah musim gugur bercahaya.
***
Semua puisi di atas adalah di dunia sastra klasik, bagaimana dengan dunia sastra modern? Di sini ada sebuah puisi modern yang ditulis penyair Taiwan Yu Guang Zhong 余光中, masih tentang bulan purnama, hanya satu bulan sebelum festifal Zhongqiu, yakni pada saat Zhongyuan jie 中元节, atau festifal tengah bulan ke tujuh(imlek ), yang merupakan hari sembahyang kepada arwah leluhur yang sudah meninggal.
Meskipun makna perayaannya berbeda, sejauh menyangkut bulan purnama, perasaan yang terkandung ternyata masih sama. Kita dapat membandingkan puisi ini dengan puisi Rindu Malam-nya Li Bai, dan akan menemukan banyak kemiripan, meski puisi modern ini menggunakan bahasa keseharian ( bai hua) yang sangat beda dengan bahasa sastra klasik pada umumnya, kesejajaran makna dan suasana masih antar mereka cukup jelas terlihat. Boleh dikatakan, puisi ini adalah versi modern dari Rindu Malam.
REMBULAN MEDIO BULAN KETUJUH
Yu Guang Zhong ( kontemporer; Taiwan)
Sinar rembulan keperakan memenuhi ranjangku
Masa kecilkah yang mengutus mencariku?
untuk barang apa yang sempat tertinggal ?
Entah bagaimana ku tak dapat mengingat kembali
hanya nampak dalam sorot mata mencurigakan, sepotong lengan
milikikkukah, tenggelam di dasar air
Sepotong fosil yang masih harus menanti kematian
Jernih cahaya begitu berharga, bila lelap tertidur
bukankah menyia-nyiakan dewi bulan, dosa kepada keindahan?
Tiba-tiba kubalik badan menghadap luar
dan langsung bertubruk muka dengan bulan purnama
Oh, yang hilang sembunyi tak sempat menghindar
seketika berapakah yang pecah tertubruk ?
Yang lebih mengejutkan adalah sinar rembulan
menembus melewatiku, tak meninggalkan bayang
Di luar kudengar masa kecil memanggilku
bayang pohon bergoyang, aku membuka jendela menyahut
Seketika angin bertiup mengapitku pergi
melayang-layang menuju keping cermin rembulan iblis itu
sepanjang jalan berhembus senantiasa
Terakhir, boleh kita simak puisi Tionghoa modern yang digubah oleh penyair
Tionghoa Indonesia Yu Erfan 于而凡, yang merupakan dekonstruksi kontemporer dari
puisi Su Dongpo yang klasik. Di sini terlihat, walau tersekat oleh sungai waktu
oleh samudra luas, tradisi dan budaya masih terus berlanjut.
TENGAH MUSIM GUGUR
Yu Erfan ( kontemporer; Indonesia )
Bulan purnama tahun ke tahun ada
masihkah kau menerawang seperti dulu?
Kehadiran tamu profan
telah memaksa pergi
lelaki penebang di gedung kumala
wanita kesepian di loteng manikam
Bandul lonceng ——
sepertinya juga berhenti mengalun
Meski sanggup menahan dingin
tiada lagi rumah untuk kita terbang menuju
Bayangan tajam di bumi manusia
telah menjadi beku oleh kabut debu
Orang orang ——
lama tak menari dan bernyanyi
Bulan purnama tahun ke tahun ada
masihkah kau terpana seperti dulu?
Seribu kilo jarak hanyalah sekejab
Rembulan ——
tak lagi bergoyang di hati manusia
Cahya dingin yang menembus waktu tak berdaya
kembali menggenapi ramalan musim gugur orang Song
muram jatuh ke pelopak mataku yang terjaga
Jauh meninggalkan kemelut pisah bersua
lama membekukan rasa duka gembira
Aku pun tak lagi
ngilu hati dengan bulat cacat piring cahaya
Yang kusesali ——-
cahaya rembulan yang jernih itu
di matamu mengapa berubah meremang?
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa