Kami mengikuti acara APSR 2012 di Hongkong pada tgl 14 sd 16 Desember 2012 dengan mengikuti rombongan Kalbe yang berangkat dari Jakarta tanggal 7 Desember menempuh perjalanan Jakarta, Hongkong, Taipei, Hualien, Taipei, Hongkong, Macau, Shenzhen, Hongkong lalu berpisah dari rombongan yang balik ke Jakarta. Dari Hongkong menumpang Dragon Air kami berdua terbang selama satu jam menuju Xiamen.
Sejak dahulu kala kota Xiamen yang berada di suatu pulau adalah pelabuhan tempat kapal berlayar menuju keselatan yaitu Asia Tenggara dan Asia Selatan atau keutara ke Shanghai dikenal sebagai Jalur Sutera dilautan.
Berikut ini saya tuliskan perjalanan ini disertai foto supaya lebih menarik. Setiba di airport Xiamen pada tgl 17 Desember 2012 kami dijemput bapak Wen Chung dan sopir bapak Soey An. Ternyata airport nya besar dan masih baru, dari sana kami dibawa kerumah dijalan Lian Hua Bailu 10 yang jaraknya 15 menit dan dirumah disambut oleh bapak Awi yang
berasal dari Bagan tetapi sekarang tinggal di Jakarta, beliau sudah 3 bulan tinggal disana dan seorang aktivis vihara. Bapak Awi adalah seorang yang ramah mudah bergaul dan menyenangkan.
Perburuan jejak leluhur sebenarnya dimulai sejak tahun 1980 dengan bertanya dan mencatat sedikit demi sedikit keterangan dari famili yang lebih tua, mengumpulkan foto, mengunjungi makam leluhur di pekuburan Cikadut Bandung dan membuat foto bong pay menerjemahkan tulisannya sehingga akhirnya diperoleh petunjuk dari bong pay Tan Sim Sioe (foto 1).
Kakek saya adalah Tan Tjeng Tong (anak Tan Sim Sioe) yang beristerikan Tjan Pouw Nio semasa hidupnya beliau pindah dari Bandung lalu menetap dikota Tasikmalaya dan membuka usaha pabrik batik dan perdagangan.
Malam hari bapak Awie meminta bantuan tetangga yang berjualan buah untuk mencari di internet karena besok kita akan pergi kekampung tersebut untuk mencari informasi.
Pada saat yang sama saya mendapat informasi dari bapak Sugianto Tjandra bahwa Tjan Boen Tjiang yang merupakan kakek dari Tjan Pouw Nio juga berasal dari Fujian. Tjan Boen Tjiang berasal dari desa Chan Wei Chun kampung She Tou setelah dicari di internet ternyata kedua nama desa tersebut tidak ada.
Keesokan harinya kami bersama bapak Soey An dan bapak Awi menuju Nan Jing disebelah barat kota Xia Men sesuai petunjuk google map.
Foto 1 Bong pay Tan Sim Sioe di pekuburan Cikadut Bandung, meninggal tahun 1909 berasal dari kampung Nan Jing dekat kota Zhang Zhou di provinsi Fu Jian. Dua huruf paling atas adalah Nan Jing dibaca dari kanan kekiri.
Foto 2 menunjukkan persimpangan jalan ke Nan Jing (daerah wisata Tu Lou) dan Shuyang.
Foto 3 peta daerah wisata Tu Lou dimana pintu masuknya ada dikiri.
Foto 4 memperlihatkan pintu masuk kantor daerah tourist Tu Lou Nan Jing disitu kami harus membeli tiket masuk.
Foto 5.Kantor turis dan lapangan parkir disebelah kiri dan deretan restoran disebelah kanan.
Awie dan Soey An sangat membantu sebagai penghubung maupun penerjemah dengan orang lokal. Jarak ke Nan Jing lebih dari 200 km dan ditempuh selama 3 jam melalui jalan toll, ternyata Nan Jing termasuk world heritage sehingga fasilitas turisme sangat baik dan banyak tourist kesana.
Kami makan siang dulu di restoran sambil mencari informasi dari pemilik restoran tentang rumah marga Tan. Katanya ada dua rumah marga Tan, salah satunya berjarak 3 km kearah kiri dan ini yang hendak kami cari.
Memasuki daerah ini mulai tampak perkampungan penduduk, yang khas adalah bentuk rumah kuno aslinya berupa lingkaran dengan satu pintu masuk dan dinding terbuat dari batu, tanah dan balok kayu.
Dari penduduk yang sedang bekerja membangun rumah dipinggir jalan diperoleh informasi bahwa mereka juga marga Tan dan kampung mereka terdiri dari satu rumah bundar (foto 6 sd 9) tetapi disebelah dalam lagi ada kampung marga Tan yang lebih besar yaitu Shang Dian dan ada rumah abunya.
Daerah Nan Jing berupa pegunungan dan lembah dipenuhi bambu, perkebunan lengkeng, jeruk Bali, jeruk kecil, kebun teh, kebun sayuran diselingi sungai mengingatkan pemandangan didaerah Lembang atau Ciwidey seperti tampak dalam foto 10 dan 11.
Akhirnya kami menemukan desa Shang Dian (foto 12),pada batu petunjuk baris kedua dari bawah ada huruf Nan Jing dan dari informasi pemilik restoran ditepi jalan betul ada rumah marga Tan diseberang jalan menurun kearah lembah dan kami pun berjalan kaki menuruni lembah sekitar 100 m dan menemukan dua rumah bundar berdampingan dan diantaranya ada sebuah gudang serta beberapa orang sedang bekerja (foto 13). Disamping kanan ada kelenteng kecil (foto 14) disamping kiri ada lapangan dibatasi deretan kamar kamar dan sebuah tugu peringatan (foto 15), katanya untuk mengenang mereka yang gugur sewaktu perang karena Mao Tse Tung pernah bersembunyi didaerah ini. Kami lebih
tertarik untuk mengunjungi kelenteng dan merekam segala sesuatu dalam kelenteng. Diatas pintu masuk tertulis marga Tan tinggal didaerah ini, diatas meja altar terdapat hiolow yaitu tempat menancapkan dupa tapi tidak ada patung dewa hanya tulisan si yuan tang yang artinya ruangan untuk merenungkan leluhur (secara harafiah tertulis ruang memikirkan sumber/sumur).
Selanjutnya kami menemui dan berbincang dengan beberapa orang yang sedang bekerja, mereka ramah terhadap tamu dan mau membantu mencarikan silsilah marga Tan yang katanya sudah mencapai generasi ke dua puluh satu. Sayang saya tidak punya tulisan nama dalam huruf Tionghoa jadi mereka kesulitan menelusurinya apa boleh buat sehingga kami hanya melihat kedalam rumah bundar tempat tinggal para leluhur.
Lapangan tengah yang luas ditengahnya ada sumur, pada dinding rumah menempel kamar2 lebarnya 3 meter tapi bertingkat tiga, tiap keluarga menempati satu apartment bertingkat empat yang paling bawah untuk dapur, diatas
untuk gudang dan paling atas kamar tidur. Mereka mencuci dan memelihara ayam atau bebek di lapangan tengah. Setelah mengambil beberapa foto kami meninggalkan rumah leluhur dengan perasaan gembira bercampur bangga dan terharu karena sebagai salah satu keturunanannya berhasil pulang kerumah leluhur walaupun hanya satu jam saja.
Menurut Awie pulang kekampung leluhur merupakan bakti kita kepada leluhur karena kita sudah mengingat asal usul
kita seperti tertulis pada ruangan abu leluhur. Belum pernah saya mendengar ada famili yang kesini maklum jaman dahulu transportasi sangat sukar lebih-lebih kalau kita bayangkan 200 tahun yang lalu leluhur kita jalan kaki atau naik kuda turun naik gunung untuk mencapai pelabuhan Xiamen lalu naik kapal layar ke asia tenggara betapa beratnya untuk mencapai tanah Jawa.
Selanjutnya kami pamitan untuk melihat rumah2 bundar lain yang sudah di up garade dan memang untuk dikunjungi turis. Keesokan harinya Xiamen diguyur hujan gerimis sejak subuh tetapi kami berangkat juga mencari rumah leluhur marga Tjan, beruntung sopir Soey An mendapat idea untuk mencari informasi desa Chan Wei Chun dari para orang tua yang berkumpul dikelenteng Po Sen Ta Ti (foto 27) yaitu kelenteng untuk memperingati seorang dokter terkenal jaman dulu.
Para orang tua yang ditemui juga sangat membantu dan menerangkan bahwa desa She Tou itu masih ada dan ada
batu nama desa dipinggir jalan kota Long Hai, kami pun meluncur mencari kota Long Hai lalu pelan2 menelusuri tepi jalan mencari batu nama desa (foto 28) setelah ketemu lalu masuk kedalam gang diantara deretan ruko bertingkat tiga. Gang hanya selebar 3 m pas untuk satu mobil tapi lantainya sudah beton, dibelakang ruko masih ada lahan pertanian dan sekelompok rumah beberapa sudah rumah modern dan bertingkat 3 dan ada mobil, foto 29 memperlihatkan lahan pertanian tersebut dengan latar belakang segerombol pohon lengkeng dan ada bangunan ditengahnya itulah rumah marga Tjan tempo dulu, disekitarnya sudah tampak rumah2 baru bertingkat. Sebuah sedan bagus datang dan turun keluarga muda membawa anak perempuan 2 tahun lalu kami tanya jalan kedesa tsb kebetulan mereka juga mau kesana jadi kami jalan mengikuti mereka lalu ditunjukkan arah kerumah tua.
Kami ketemu lagi seorang bapak setengah tua yang baik hati menunjukkan dan mengantar kami menunjukkan sebuah rumah tua lalu ia bilang masih ada rumah tua disebelah dalam yang umurnya sudah lebih dari 200 tahun tetapi gang nya masih jelek berupa jalan tanah, kami tidak keberatan walaupun becek dan gerimis.
Kondisi rumah tua ini sudah rusak berat sebagian tinggal puing ditumbuhi belukar dan ada kandang babi dihalaman depan yang segera bersuara ribut karena ada orang datang. Puing sisa rumah mengesankan bahwa dulunya rumah ini milik orang kaya, ruang utama ada meja abu, balok kayu diatas ruang utama dihiasi 4 patung kilin, atap rumah sebagian sudah ambruk karena ada satu baloknya patah, halaman tengah ditumbuhi segerombol pohon talas (Foto 30 sd 41).
Foto 30.: Pintu depan
Foto 31.: Pintu samping
Foto 32.: nomor rumah
Foto 33: halaman samping
Foto 34: halaman samping
Foto 35: halaman tengah
Foto 36.: Ruang utama
Foto 37.: Papan nama
Foto 38.: melihat rumah
Foto 39.: ukiran patung kilin
Foto 40.: kilin diatas balok
Foto 41.: balok patah
Foto 42.: halaman samping
Foto 43.: halaman belakang
Foto 44.: gudang
Orang lokal yang menjadi penunjuk jalan kami bernama bapak Tjan A Lien lalu mengajak kami ke halaman belakang rumah dimana ada gudang tempat menyimpan peninggalan leluhur setelah dibukakan gemboknya kami diajak masuk. Ia berkata bahwa rumah ini akan direnovasi jadi untuk sementara bahan bangunan masih bertumpuk.
Diperkirakan biayanya akan sangat besar bila renovasi balik seperti semula. Dalam gudang tampak meja abu dengan deretan foto leluhur diatasnya (foto 45 sd 47). Ia berkata bahwa 20 tahun yang lalu pernah ada hoa jiao yang datang
kemari bertiga salah satunya bernama bapak Tjan Kiong Beng, dari situ pembicaraan bertambah akrab karena kami juga pernah bertemu dengan bapak Tjan Kiong Beng dan diberikan salinan silsilah keluarga beliau.
Kami diajak mampir kerumahnya untuk minum teh dan ngobrol sambil dipanggilkan beberapa orang tua lain dan diundang makan tetapi kami tolak secara hormat. Salah satu orang tua pulang kerumahnya lalu membawa bungkusan yang ternyata paket kiriman dari bapak Tjan Kiong Beng didalamnya ada foto kopi lengkap leluhurnya dan ada buku silsilah karangan bapak Sugianto Tjandra edisi ke 5. Juga ada buku silsilah marga Tjan di tiongkok yang sempat saya foto dan akan jadi pekerjaan rumah untuk bapak Sugianto untuk menterjemahkannya yang katanya marga Tjan berasal dari provinsi Henan lalu migrasi ke Fu Jian.
Sebelum pulang kami diperlihatkan dua buah batu besar berdiameter 10 m yang dulunya terletak ditengah sawah tapi sekarang ditengah perumahan sehingga mengecil karena ditimbun puing, batu tersebut adalah petanda desa ini sehingga disebut desa batu (She Tou).
Foto 45: Tjan A Lien
Foto 46: Leluhur
Foto 47 Leluhur
Foto 48 dan 49 bagian belakang rumah tua marga Tjan yang berhadapan dengan jalan kampung.
Foto 50: suasana jalan kampong
Foto 51: rumah Tjan A Lien bertingkat tiga disebelah kiri rumah tua marga Tjan.
Kami pamitan karena mau melihat objek lain yaitu musium hoa jiao dan universitas Xiamen yang keduanya adalah pemberian kepada pemerintah dari Tan Kah Kee seorang hoa jiao yang menjadi kaya luar biasa di Singapore dan tidak melupakan menolong kampung halamannya saat dilanda kesukaran. Peranan para hoa jiao diseluruh dunia terhadap kampung halaman di Fujian maupun negara tempat mereka tinggal sungguh luar biasa, mereka menjadi penghubung antara kebudayaan tiongkok dan lokal. Kita yang lahir ditakdirkan menjadi hoa jiao jangan berkecil hati karena kitapun punya peranan sendiri.
Sewaktu pamitan para tetua menitipkan undangan lisan kepada anak cucu bapak Tjan Kiong Beng agar berkunjung kedesa She Tou, dan melalui warta Tjandra saya teruskan undangan ini kepada yang berhak menerimanya.
Sekian laporan berburu jejak leluhur di Xiamen selama dua hari yang ditulis di airport Xiamen karena pesawat yang membawa kami ke Hongkong terlambat, semoga tulisan ini menjadi lebih menarik setelah dilampirkan foto.
Salam kepada semua family Tjan, Selamat Hari Natal 2012 dan Tahun Baru 2013. Bandung, 23 Desember 2012. Benjamin J Tanuwihardja & kel.
Foto 52 sd 58 melihat dokumen yang dikirim oleh bapak Tjan Kiong Beng dari Jakarta tahun 1991.