Budaya-Tionghoa.Net | Jepang memang melesat sebagai kekuatan dunia sejak restorasi Meiji di tahun 1868. Kenyataannya Tiongkok atau dinasti Qing masih lebih unggul kekuatan angkatan lautnya. Tetapi kebobrokan pemerintah Qing menjelang akhir abad 19 itu benar-benar meniadakan keunggulan tersebut. Kelemahan utama angkatan laut Tiongkok bukanlah teknologi , melainkan koordinasi , antara armada utara dan armada selatan , ketimbang Jepang yang menyatukan kekuatannya seperti satu kepalan tinju di Yokosuka, Kanagawa.
Dimulai ketika Perancis mulai melirik Vietnam untuk dijadikan sebuah negara protektorat. Qing mulai terpancing untuk berkonfrontasi dengan Perancis. Dalam Sino-French War (1884-1885), Perancis tidak banyak memenangkan pertempuran dalam. Bahkan Perancis kerepotan menghadapi satu milisi kuat yang dipimpin oleh Liu Yongfu.
Perancis memenangkan perang karena sekali lagi Tiongkok menunjukkan lemahnya koordinasi antara kekuatan angkatan laut yang bermarkas di Fuzhou dan yang di utara. Ironinya kekuatan naval Qing di Fuzhou justru awalnya dibangun atas sponsor Perancis , dan Perancis pula yang menghancurkan dalam serangan pre-emptif .
Di tahun 1884 , Qing punya lebih dari 50 kapal modern dengan setengahnya built-in Tiongkok. Kekuatan navalnya tersebar di empat armada dari Weihaiwei , Port Arthur di utara , kemudian Shanghai , dan armada selatan yang terletak di Fuzhou. Armada kecil lainnya tersedia pula di Guangzhou.
Kekuatan naval Qing di Fuzhou dihancurkan hanya dalam hitungan menit. Ini karena efek kejutan seperti Jepang yang tidak mengumumkan perang kepada AS pada saat menyerang Pearl Harbour , demikian juga Perancis tidak mengumumkan perang ketika melancarkan serangan dadakan.
Sebelum meletusnya perang , Li Hongzhang (1823-1901), hanya mengirimkan dua kapal dari armada utara ke selatan dan itupun segera dikembalikan lagi ke utara untuk menghadapi ancaman Jepang di Korea.
Pada saat itu teknologi Perancis memang lebih superior tetapi dengan gap yang tidak sejauh saat Qing harus berperang dengan Inggris pada saat Perang Candu. Kekalahan Qing dari Perancis ini lebih karena faktor koordinasi daripada gap teknologi.
Setelah usai Sino-French War , Li Hongzhang memilih untuk membeli kapal untuk menambah kekuatan armada utara daripada membangunnya sendiri di Tiongkok. Armada selatan juga dikurangi kuantitasnya baik dari segi pekerja ahli maupun engineer. Armada selatan hanya bertambah satu kapal pertahun antara 1891-1895.
Bangkitnya kekuatan armada Beiyang justru menghasilkan bencana bagi Tiongkok sendiri. Pemerintah Qing meminta komando tunggal untuk membawahi seluruh armada yang dimiliki Tiongkok. Koordinasi kekuatan maritim nasional ini tidak pernah terwujud.
Yang terjadi malah persaingan antar armada untuk mendapat dukungan financial. Yang lebih ironis lagi Empress Dowager Cixi malah lebih memilih merenovasi Istana Musim Panas atau Yi Heyuan , daripada menggelontorkan anggaran untuk meningkatkan kekuatan maritime secara keseluruhan. Kesalahan prioritas yang fatal ini membatasi usaha Li Hongzhang untuk mengembangkan armada utara atau Northern Fleet.
SINO JAPANESE WAR I
Setelah permasalahan Perancis sudah lewat . Kekuatan naval Tiongkok masih superior terhadap Jepang . Kira-kira satu dekade sebelum meletusnya Sino-Japanese War I , Tiongkok memamerkan kekuatannya terhadap Jepang secara terang-terangan ketika empat kapal perang dari armada utara , Dingyuan , Zhenyuan , Saien dan Weiyuan , berlabuh di Nagasaki dan melahirkan Insiden Nagasaki atau Nagasaki Jiken . Li Hongzhang hendak memberi kesan bahwa perlengkapan maritime Tiongkok terbaru yang baru di beli dari Jerman masih superior terhadap Jepang.
Konflik maritime Jepang dan Tiongkok terjadi pada 25 Juli 1894 di Fengdao. Tiongkok yang dipimpin Fang Boqian kehilangan kerugian dan korban jiwa , sementara kekuatan Jepang yang dipimpin oleh Tsuboi Kozo tidak menderita kerugian . Tiongkok kemudian mendeklarasikan perang terhadap Jepang pada tanggal 1 Agustus. Armada Beiyang dikirim untuk mempertahankan wilayah pantai yang terbentang dari Weihaiwei, Port Arthur sampai ke mulut sungai Yalu.
Pada 17 September , meletus pertempuran besar maritime antara Tiongkok dan Jepang yang disebut-sebut sebagai pertempuran laut besar pertama yang melibatkan kapal laut bertenaga mesin uap modern. Keduanya punya 12 kapal dimana Tiongkok unggul dalam persenjataan dan bobot tembakan untuk satu kali salvo sementara Jepang unggul dalam kecepatan. Hasil pertempuran ini membuat Jepang mengontrol teluk Bohai dan selangkah lebih dekat ke Beijing.
Teknologi dalam konflik ini bukanlah penentu utama . Armada Jepang ketika itu bukan tandingan bagi dua kapal perang utama Tiongkok. Keunggulan Jepang adalah di sumber daya manusia , kepemimpinan yang kuat . Tiongkok tidak bisa menggabungkan seluruh kekuatan armada nasionalnya seperti saat Guderian menyatukan divisi tank Jerman dalam Perang Dunia II sebagai satu kepalan tinju. Praktis disini Armada Beiyang bertempur sendirian. Kekalahan maritim juga berdampak besar bagi pertempuran didarat . Didarat , Tiongkok unggul kuantitas berlipat ganda tapi benar-benar kalah kualitas dan moral bertempur. Superioritas Jepang juga terlihat dari misalkan kasus pertempuran di Tianzhuangtai pada bulan Maret 1895 dimana korban 1000 prajurit Tiongkok gugur berbanding 16 prajurit Jepang yang gugur.
Disisi lain kemenangan Jepang mengejutkan dunia , sebuah negara kecil yang baru berbenah bisa mengalahkan kekuatan raksasa yang juga tetangganya selama ribuan tahun. Kekalahan Tiongkok ini membuat Jepang menerima ganti rugi perang yang sangat sangat besar , 200 juta tael perak ditambah lagi Jepang memperoleh koloni yang produktif seperti Taiwan. Jika saja pemerintah Qing menyadari sedia payung sebelum hujan , maka dana 200 juta tael itu bisa digunakan untuk membangun militernya. Tiongkok tidak dapat apapun selain kekalahan , aib dan kehilangan asset sementara Jepang dengan modal segarnya itu semakin cepat berkembang , semakin percaya diri , hingga sanggup mengalahkan kekuatan global lainnya seperti Russia. Li Hongzhang pun menjadi tokoh Tiongkok yang dijadikan papan dart oleh media Jepang pada saat itu. Wajahnya laris manis menjadi objek karikatur yang memperolokkan dirinya , sekaligus memperolok Tiongkok.
DADA
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa | Facebook Group Tionghoa Bersatu
REFERENSI
1. Elman Benjamin A , “A Cultural History of Modern Science In China” , Harvard University Press
2. Inouye Jukichi , “Japan-China War – The Naval Battle of Haiyang” , Kelly And Walsh Ltd
3. Zachman UM , “China and Japan In The Late Meiji Period”
Photo Credit
1. Ukiyoe nishiki-e woodblock print by Kobayashi Kiyochika Inoue Kichijirô depicting the Naval Battle of the Yellow Sea (Yalu River)in Korea (Chôsen Hôtô kaisen no zu) in the First Sino-Japanese War, dated 1894
2. ukiyoe nishiki-e by Mizuno TOshikata depicting the surrender of Chinese forces after the Battle of Weihaiwei, dated November 1895 (The depiction is fictitious. In fact the Chinese commander Dingruchang had had committed suicide after he refused to surrender.)
3.“Illustration of the Decapitation of Violent Chinese Soldiers” by Utagawa Kokunimasa
Japanese soldiers behead Chinese soldiers in the 1st Sino-Japanese War.Sharf Collection, Museum of Fine Arts, Boston.http://ocw.mit.edu/ans7870/21f/21f.027/throwing_off_asia_01/2000_380_07_l.html