Budaya-Tionghoa.Net | Saya baru saja mendapatkan buku yang sangat bagus ini. Sebelumnya saya akan uraikan dulu data buku ini. Ini adalah buku yang luar biasa bagus. Secara umum ada beberapa hal yang diulas dalam buku ini, yakni mengenai sejarah bagaimana seseorang dapat mengubah status sosialnya pada masa kekaisaran di Tiongkok, khususnya zaman Ming dan Qing; umpamanya mengenai ujian negara. Oleh karenanya, buku ini merupakan referensi yang bagus bagi sejarah ujian negara di Tiongkok. Pada bagian pertama yang berjudul “Ideologi Sosial dan Tingkatan-tingkatan dalam Masyarakat (Social Ideology and Social Stratification) dibuka dengan uraian sebagai berikut:
|
Judul: The Ladder of Success in Imperial China:
Aspects of Social Mobility,
1368-1911.
Penulis:
Ping-ti Ho.
Penerbit:
Columbia University Press,
New York and London,
1962.
Jumlah halaman:
385.
“Dalam tahapan pembentukannya, ideologi kemasyarakatan kerap kali mencerminkan, setidaknya sebagian, realita-realita sosial. Karena sebagian besar aliran-aliran pemikiran di Tiongkok merupakan hasil zaman feodal, maka ideologi kemasyarakat yang menjadi bagian tak terpisahkan aliran-aliran tersebut dibentuk pula oleh nuansa feodal. Karena perubahan dinamis dan banyak sisi yang berlaku pada masa akhir zaman feodal di Tiongkok menciptakan serangkaian besar permasalahan yang memerlukan pemecahan baru, sebagian besar aliran, dengan sikap berbeda terhadap tatanan feodal yang saat itu sedang mengalami kemerosotannya, hadir dengan membawa saran pemecahannya yang sangat beragam dan jumlahnya menyamai permasalahannya sendiri. Pada salah satu sisi yang paling ekstrim, penganut Konfusianisme menengok kembali pada idealisme para raja zaman kuno serta dengan teguh berharap memperkuat dan mempertahankan sistim feodal nan terhormat. Pada sisi ekstrim lainnya, kaum Legalis berupaya menggulingkan tatanan yang ada dan menggantinya dengan sistim negara terpusat dan masyarakat diperintah dengan keras (otoriter). Sementara itu, dalam cakupan studi yang sekarang ini, mustahil mengamati kembali secara utuh ideologi-ideologi sosial zaman kuno, sehingga kita perlu membicarakan mengenai antitesis dasar sebagaimana berlaku bagi semuanya” (halaman 2).
Marilah kita ikuti kedua pandangan saling bertolak belakang (antitesis) mengenai tatanan sosial:
ANTITESIS DASAR
“Secara ringkas, antitesis ini mengandung dua pandangan mendasar saling berlawanan atau bertolak belakang. Pada satu sisi, masyarakat itu harus bersifat hirarkis, kelas-kelas penyusun masyarakat harus memiliki hak-hak dan kewajiban berbeda, yakni suatu konsep feodal yang berasal dari pengalaman sejarah. Pada satu sisi lainnya, masyarakat berjenjang (hirarkis) tidak dapat bertahan jika ketidak-adilan yang berada di dalamnya tak dikurangi, jikalau tidak sanggup dilenyapkan sama sekali, suatu konsep yang melampaui batasan feodal.”
Selanjutnya diungkapkan bahwa tak pelak lagi terjadi perpaduan antar pandangan berbagai aliran filsafat di Tiongkok ini, sehingga upaya memecahkan kedua antitesis di atas mewarnai karakter dan susunan masyarakat Tiongkok selama dua ribu tahun. Berikut ini terdapat kutipan menarik mengenai perbedaan antara orang Tiongkok dan Yunani kuno:
“Tidak seperti orang Yunani Kuno, yang telah menciptakan pemerintahan negara kota berdasarkan prinsip demokrasi dalam satu tahap evolusi politik beserta kemasyarakatan mereka, bangsa Tiongkok kuno terbelenggu oleh warisan feodal mereka. Konsep kesetaraan sebagaimana dianut orang Yunani kuno dan Barat modern hampir sepenuhnya tidak terdapat dalam masyarakat Tiongkok zaman feodal atau pasca-feodal (halaman 2).”
Konfusius (551-479 SM) beserta para siswa utamanya meyakini bahwa umat manusia itu berbeda dalam hal kepandaian, kemampuan, dan moralitasnya. Hakikat jenjang-jenjang atau hirarki alamiah dengan demikian selaras dengan hirarki feodal. Meskipun demikian Mozi (kurang lebih 479-381 SM), seorang ahli filsafat yang berasal dari kalangan rakyat jelata, yang menyerang ajaran Konfusius serta pewarisan gelar kebangsawanan, juga menyetujui bahwa jenjang-jenjang dalam masyarakat adalah suatu kebutuhan. Ia menyatakan sebagai berikut:
“Bagi para penguasa pergi ke istana pagi-pagi sekali dan pulang larut malam guna mendengarkan tuntutan hukum serta mengatur pemerintahan adalah tugas mereka. Bagi para sarjana, mengerahkan seluruh tenaga fisik mereka serta mengeluarkan segenap kebijaksanaan mereka guna menghadiri persidangan di dalam istana serta mengumpulkan pajak dari luar istana, yakni di tempat-tempat seperti pintu gerbang negara, pasar, beserta hasil-hasil bumi dari gunung, kayu, perairan, dan ladang demi memenuhi lumbung-lumbung negara, adalah tugasnya. Bagi para petani, berangkat pagi-pagi dan pulang larut malam, guna menebar benih serta menanam pohon, sehingga sanggup menghasilkan sejumlah besar kedelai beserta gandum, adalah tugas mereka. Bagi para wanita, bangun di kala fajar serta beristirahan di malam hari guna menekuni kegiatan bertenun sehingga sanggup menghasilkan kain sutera, linen, dan pakaian adalah tugas mereka.” (halaman 2).
Masyarakat ideal menurut Mozi adalah kesediaan rakyat jelata mematuhi perintah pimpinannya.
Sementara itu, masih ada lagi pandangan mengenai sosial kemasyarakatan yang dipelopori oleh Kuan-chung dari Ch’i (abad ketujuh SM). Kuan-chung sendiri mempertahankan pandangan mengenai perlunya terdapat perbedaan kelas atau jenjang dari masyarakat.
“Jikalau istana tidak lagi dihormati, apabila perilaku kelayakan dan perbedaan antara yang tinggi dan rendah, antara yang muda dan tua, tak lagi dipatuhi. Apabila segenap aturan tak lagi dijaga, dan jika kemewahan berpakaian tidak lagi dibatasi seturut kelas kemasyarakatannya; Jikalau setiap orang, tuan dan hamba, melanggar batasan-batasan kelayakannya, maka rasa hormat dan keseganan terhadap atasan beserta pemerintah, tidak dapat lagi dipertahankan.” (halaman 3).
Meskipun demikian, dua setengah abad setelah kematian Konfusius, Tiongkok mengalami perubahan mendalam dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi. Kehancuran sistim feodal juga mengakibatkan perubahan pula dalam pemikiran tentang kemasyarakatan. Kita akan menyaksikan perbedaan tajam itu dalam pemikiran Hsun-tzu, penganut terkemuka ajaran Konfusius pada abad ketiga SM:
“Meskipun seseorang merupakan keturunan raja, bangsawan, pemimpin distrik, atau pejabat, bila ia tak mematuhi aturan kelayakan dan prinsip keadilan, ia hendaknya diturunkan menjadi rakyat jelata; meskipun seseorang merupakan keturunan rakyat jelata, apabila ia memperoleh pengajaran, mengembangkan sifat diri yang baik, serta sanggup menjalankan aturan, perilaku kebajikan, dan keadilan, ia boleh diangkap menjadi menteri, perdana menteri, pejabat, atau pemimpin daerah.”(halaman 7).
Oleh karenanya, kita menyaksikan adanya perubahan mendasar dari stratifikasi atau pelapisan masyarakat yang kokoh dan kaku, menjadi dimungkinkannya perpindahan kelas dalam masyarakat. Salah satu cara seseorang meningkatkan status sosialnya adalah melalui ujian negara, yang merupakan topik utama buku ini. Berikut ini adalah sejarah penetapan ujian negara pada masa Dinasti Tang:
“Melalui proses uji coba (trial and error), meskipun demikian, hal ini dipersempit hanya pada ujian chin-shi, yang pertama-tama diberlakukan pada era Ta-yeh (605-618) serta terus dilangsungkan hingga tahun 1904. Terdapat berbagai alasan dalam pengubahannya, salah satunya, gelar hsiu-ts’ai dari masa Tang awal menuntut adanya standar sangat tinggi bagi para peserta ujian, sehingga sangat sedikit yang dapat mencapainya. Ujian semacam itu, dihentikan sementara waktu semasa Chen-kuan (627-649). Materi yang diujikan adalah aritmetika, kaligrafi, dan hukum, yang terlalu spesifik dalam memenuhi saluran-saluran utama perekrutan pegawai negeri (halaman 13).
Selama kurang lebih seabad setelah berdirinya Dinasti Tang terdapat dua gelaran akademis, yakni ming-ching dan chin-shih. Kurikulum yang diujikan guna mendapatkan gelar ming-ching, ada tiga:
1.Melengkapi kutipan-kutipan yang diambil dari Li-chi, Tso-chuan, Hsiao-ching, Lun-yu, dan Erh-ya. Peserta ujian akan diberikan beberapa kata kunci dan harus melengkapi lima atau lebih kutipan dari karya-karya klasik tersebut.
2.Memberikan penafsiran secara lisan yang benar bagi sepuluh kutipan diambil karya-karya klasik, dimana peserta harus sanggup menjawab setidaknya enam pertanyaan dengan benar.
3.Membuat karangan mengenai permasalahan atau administrasi pemerintahan masa itu (halaman 13).
Perbedaan dengan chin-shih adalah, ujian chin-shih lebih sedikit mementingkan hafalan, tetapi ditambah dengan dua karangan mengenai permasalahan pemerintahan dan administrasi kenegaraan saat itu, dan sebagai ganti memberikan penafsiran lisan, peserta ujian chin-shih diharuskan membuat prosa berirama (fu) serta sanjak-sanjak.
Dengan demikian, secara umum, perbedaan utama antara ming-ching dan chin-shih adalah ming-ching mementingkan proses menghafal, sedangkan chin-shih lebih menekankan pada menulis kreatif.
Menghafal itu dianggap lebih mudah ketimbang menulis kreatif dan orang-orang di zaman itu menyebut bahwa sarjana ming-ching adalah ibaratnya burung beo. (halaman 14).
Terdapat berbagai contoh mengesankan mengenai orang-orang di zaman dahulu yang berjuang keras demi meningkatkan status sosialnya melalui ujian negara:
“Dalam menguji kepustakaan tentang masyarakat, para peneliti modern pasti merasa terkesan mengenai sejumlah kasus di mana rakyat jelata bekerja baik dengan pikiran maupun kekuatan jasmaninya demi menapaki langkah-langkah mendapatkan gelar terendah agar dapat menduduki jabatan. Terdapat banyak kasus mengenai para cendekiawan Ming beserta Ch’ing dan pejabat-pejabat yang di masa awal metamorfosa hidupnya membajak ladang dan pada saat bersamaan membaca naskah-naskah klasik. Di antaranya terdapat Kung I-ch’ing dari distrik I-wu, yakni di tengah-tengah Chekiang. Pada masa mudanya, ia “dengan bertelanjang kaki, membawa makanan dalam tas jerami, belajar keras setelah sepanjang hari bekerja di ladang.” Ia menjadi seorang chin-shin pada tahun 1574. Yang Chi-sheng, seorang chin-shih pada tahun 1547, adalah putera seorang petani penyewa tanah dari Yung-ch’eng, Hopei tengah. Semenjak usia tujuh tahun, menurut perhitungan kalender Tiongkok, ia tiap hari menggembalakan kerbau keluarga. Setelah mendengar anak-anak tetangga membaca naskah-naskah klasik, ia meminta kakaknya agar mengizinkannya belajar. Hingga ia mendapatkan gelar pertamanya sebelum mencapai usia delapan belas tahun, ia telah melakukan kerja bakti bagi kakaknya. Menjadi pemondok di sebuah biara Buddhis, ia kerap belajar sampai larut malam. Setelah berulang kali mengalami kegagalan dalam ujian-ujian lebih tinggi, akhirnya ia sanggup meraih gelar chin-shih. Keberaniannya dalam mengkritik perdana menteri Yen Sung yang berkuasa menyebabkan dirinya kehilangan nyawa pada tahun 1555, menjadikannya sebagai martir-martir paling tersohor pada zaman Ming.” (halaman 75).
ada lagi Hsv Ch’ao (1647-1715), chin-shih dari tahun 1673, yang belakangan menjadi presiden Dewan Penunjukan Sipil, dimana ia sebelumnya adalah seorang nelayan. Beliau dinamai Ch’ao (secara harafiah berarti “gelombang pasang”) karena dilahirkan di perahu nelayan keluarga saat gelombang pasang. Puteranya, Hsv Pen (1683-1747), chin-shih pada tahun 1718, menjabat sebagai perdana menteri antara tahun 1736-1744. Semenjak itu, dalam keluarga mereka terdapa dua orang gubernur, dua orang anggota penasihat dalam Dewan Sektretarian Agung Negara, serta banyak lagi pemangku jabatan lebih tinggi. Mereka merupakan keluarga terpandang di provinsinya (lihat halaman 77).
Banyak pejabat yang berasal dari kalangan petani, dimana pada masa mudanya mereka bekerja keras sambil belajar, sehingga akhirnya dikenal istilah keng-tu atau “membajak dan belajar.” Uniknya terdapat juga orang-orang dari kalangan terpelajar yang justru menghidupi dirinya dari kegiatan pertanian, sehingga boleh dianggap sebagai kebalikan bagi contoh-contoh di atas:
“Ahli filsafat besar pada zaman Ming, Wu Yv-pi (1381-1469), sebagai contoh, berasal dari Kiangsi dan putera presiden Akademi Kekaisaran, namun ia memutuskan tidak mengikuti ujian negara semasa mudanya dan “menghidupi dirinya dengan membajak ladang.” Meskipun pada masa kejayaannya, Beliau menarik para siswa dari jauh, “Beliau mengenakan pakaian tambal sulam, bekerja dengan bajaknya di tengah-tengah hujan, serta membicarakan mengenai metafisika dengan mereka. Liu Ta-hsia (1436-1516), salah seorang presiden Dewan Peperangan, mengajarkan putera-puteranya agar tak melupakan asal mula mereka sebagai keluarga bersahaja. Salah satu disiplin utama yang diterapkannya dalam keluarga adalah putera-puteranya diharuskan bekerja di ladang saat hari hujan. Chang Mao (1437-1522), presiden terkemuka Akademi Kekaisaran yang akhirnya menjadi presiden Dewan Upacara di Nanking mengharuskan para putera-puteranya menghidupi dengan mengerjakan sebidang tanah keluarga yang bersahaja. Salah satu kasus ekstrim adalah Shanfu dari Ch’van-chou, pantai Fukien selatan, yang setelah pensiun dari jabatan kepala daerah pada tahun 1560-an, menjadi petani penyewa karena asal usul keluarganya yang miskin serta kejujurannya membuat Beliau tak dapat mengumpulkan kekayaan selama memangku jabatannya (halaman 75-76).
Berikut ini adalah tabel-tabel yang sekiranya bermanfaat:
Ivan Taniputera
20 Desember 2012.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa |