Budaya-Tionghoa.Net | Menarik mengikuti catatan Didi Kwartanada ini yang berjudul “Dari Clara Hingga Ying Galema – Tionghoa Dalam Karya Fiiksi Di Masa Reformasi. Yakni tentang terbitnya 41 buku fiksi ketionghoaan di Indonesia pada era reformasi ini. Dan ia mengelompokkan buku-buku fiksi itu menurut alur ceritanya ke dalam delapan kelompok thema fiksi.
|
Sayangnya, Didi tidak mengikutkan suatu tema ke-9 yaitu tema cersil. Padahal di era reformasi ini, di satu tema yang kesembilan ini saja telah diterbitkan 150-an buku fiksi ketionghoaan! Jadi hampir empat kali dari seluruh delapan kelompok temanya Didi itu dijumlahkan!
Dari 150-an buku fiksi ketionghoaan itu ; memang yang terbanyak masih terbitan ulang dari terbitan lama. Namun tidak persis terbit ulang, karena perlu dilakukan proses edit, menyesuaikan ejaannya dengan “Ejaan Yang Disempurnakan” (EYD), di samping perbaikan redaksional.
Tetapi di luar itu ada juga terbitan baru dari terjemahan lama yang dulunya belum pernah diterbitkan. Lalu ada juga terbitan baru dari terjemahan baru. Sehingga sekarang sudah ada himpunan penerjemah Tionghoa-Indonesia yang terkait. Bahkan sudah ada juga terbitan baru dari cersil Tionghoa karangan baru karya penulis Indonesia.
Penerbitan 150-an buku itu dilakukan oleh berbagai penerbitan di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, yang kesemuanya digalakkan dan dikoordinasikan oleh organisasi MTjersil (Masyarakat Tjersil Indonesia). MTjersil melengkapi upaya kebangkitan kembali salahsatu genre sastra ketionghoaan Indonesia ini dengan membuka toko buku yang khusus menjual buku-buku demikian.
Sekarang ada empat toko buku tersebut, dua berada di Jakarta (di ITC Kuningan dan Semanggi Plaza), satu di Semarang, dan 1 lagi di Surabaya (Tunjungan Plaza). Tentang cersil terjemahan baru, menarik untuk dikemukakan di milis ini bahwa penerjemahan cersil baru yang pertama di era reformasi dilakukan oleh Skalaras atau Zhou Fuyuan.
Yaitu atas karya Jin Yong (Chin Yung), “Yueh Nu Jian – Pedang Gadis Wat”. Memang cersil yang satu ini sangat singkat, namun tetap saja penerjemahannya tercatat dalam sejarah sebagai “yang pertama”.
Kalau Didi tidak mengamati penerbitan buku-buku cersil baru di era reformasi, tidak demikian halnya dengan Claudine Salmon, Leo Suryadinata dan Myra Sidarta. Mereka itu adalah ilmuwan terkemuka yang tulisan-tulisannya tentang sastra ketionghoaan Indonesia justru disebut-sebut oleh Didi sebagai acuan (referensi) bibliography-nya dalam tulisannya di bawah ini.
Para akademisi ini sejak beberapa tahun terakhir telah terus memantau perkembangan terbitnya buku-buku cersil di era reformasi ini. Cersil adalah suatu genre sastra ketionghoaan yang khas Indonesia. Sementara kesastraan cersil di Indonesia sudah mengemuka selama 80-an tahun, namun hal serupa, menurut Claudine Salmon, tidak terjadi di negara-negara lain seputar kita.
Di Malaysia, misalnya, penuturan cersil Cina ke dalam bahasa Melayu tadinya tidak ada. Belakangan setelah cersil karya Chin Yung mengglobal dan film cersil menjadi trend internasional, barulah penuturan cersil cina dalam bahasa setempat mulai muncul. Hal serupa juga terjadi di Thailand dan Vietnam. Karena keunikan kesastraan cersil di Indonesia, maka pengamat sastra terkemuka, Ajip Rosidi, bahkan menggolongkan cersil sebagai sepenuhnya sastra Indonesia.
Namun seberapapun derajat keindonesiaan sastra genre cersil, yang pasti selama 80 tahun ini jenis kesastraan Tionghoa yang satu ini telah menjadi media yang paling terkemuka dalam proses penyerbukan silang antar budaya (akulturasi) dalam nation building Indonesia. Karena itu MTjersil mempunyai keunikan sebagai satu-satunya organisasi ketionghoaan yang secara alami, tidak di-design, sudah dua periode berturut-turut dipimpin Ketua Umum yang non-Tionghoa.
Menutup tulisan ini, daripada nanti ribut tak berguna, saya sampaikan peristilahan yang dipakai di kalangan cersil. Istilah “Cersil Indonesia” dipakai untuk cersil yang setting ceritanya Indonesia, seperti karya SH Mintardja, karya penulis di Padang dan Menado yang saya lupa namanya, dll-nya lagi.
Istilah “Cersil Tionghoa” dipakai untuk cersil yang setting ceritanya Tiongkok tetapi dikarang penulis orang Indonesia, seperti Kho Ping Hoo, OPA (Oey Peng An) SD Liong (Sie Djiak Liong), dll., termasuk beberapa orang non-tionghoa yang saya lupa namanya. Istilah “Cersil Cina” dipakai untuk cersil yang setting ceritanya Tiongkok dan dikarang penulis di mainland, Hongkong dan Taiwan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Wasalam.
Akhmad Bukhari Saleh
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa |