Budaya-Tionghoa.Net | Salah satu makanan yang tidak pernah saya lewatkan bila ke Singapore adalah nasi lemak. Ini adalah nasi yang dibungkus daun pisang dengan lauk sambal ikan bilis & kacang tanah. Kalau yang spesial ya ditambah telor dadar & otak otak. Harganya murah, makanan rakyat jelata. Di tempat yang tepat, paling sekitar SGD 1.50 atau Rp. 10.000. Bayangkan di negeri dengan GDP per capita di atas 25 ribu USD, masih ada sarapan seharga sepuluh ribu. Ini kan seperti nasi kucing.
|
Kerinduan yang murah meriah ini bersumber dari kenikmatan masa kecil. Waktu kecil, saat diajak dolan ke Singapore, oleh kakak kakak saya, saya selalu dibelikan nasi lemak. Jaman itu, yang jualan masih naik sepeda. Seorang encek encek, berkeliling dari rumah ke rumah. Saya pun melahap nasi lemak yang harum nasi santannya menggelitik selera. Dan kenikmatan itu terpatri hingga kini. Ada kenangan yang terbuai, setiap mencecap gurih nasi lemak.
Di Semarang, saya juga merindukan nasi rames made in warung makan 45 di jalan Dr Cipto, di dekat gedung Sobokartti. Ada nostalgia yang langsung tercipta, begitu nasi hangat dengan kuah mangut menyentuh lidah. Rasa sedap, bumbu khas warung 45, membawa kenangan masa kecil, saat papa masih ada. Setiap kali pabrik kerja lembur, papa akan menyuruh seseorang membeli nasi rames di warung 45 – berbungkus bungkus, banyak sekali. Dan saya selalu duduk manis menunggu bagian. Makan nasi proletar bersama para pekerja.
Nasinya dibungkus daun, luarnya dilapis kertas koran lalu diikat karet gelang. Nasinya menggunung, siap mengisi ulang kalori pekerja yang bermandi keringat. Saya mengunyah dengan lahap di samping papa. Kadang ada kerikil terselip di nasi yang terasa kesap.
Tiba tiba kerinduan itu menyeruak. Saya pengin mengajak papa sarapan. Saya menyuruh driver saya membeli dua bungkus nasi rames di warung 45. Dan pagi ini, sepiring nasi rames 45 tersaji di altar papa. Saya makan di kursi sebelah. Suara merdu Theresa Teng mengalun pelan. Kenikmatan nasi 45 bukan saja di bumbunya yang khas, tapi di ingatan yang penuh rindu. Sebuah kebersamaan tercipta begitu saja, seakan papa masih ada. Saya merasa kenyang. Saya yakin papa ikut senang, karena nasi 45 memang…, haujek.
harjantohalim.blog.com
8 Januari 2013
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa
Photo Credit : http://www.lensamalaysia.com/