Budaya-Tionghoa.Net | Buku “A Game As Old As Empire” ini masih berkaitan dengan buku “Economic Hit Men” karya John Perkins. Dalam Hit Men diungkap bahwa negara-negara dunia ketiga hancur oleh jerat hutang dan hutang itu sepertinya sudah bisa diterka akan bocor ke tangan keluarga elit dinegara-negara tujuan. Dalam “A Game As Old As Empire” , sang editor Steven Hiatt mengkompilasi 12 essay dari para jurnalis , aktivis dan mantan banker dunia untuk mengungkap sisi kelam dari corporate globalism.
|
Hannah Arrendt pernah berkata bahwa : “akumulasi tanpa akhir dari properti berdasarkan pada akumulasi tanpa akhir dari kuasa”. Sang editor Steven Hiatt dalam bagian “Global Empire : The Web of Control” mengungkap bahwa berakhirnya Perang Dunia II seakan akan mengakhiri era kolonial klasik di kawasan Asia-Afrika. Memang Inggris hengkang dari India pada tahun 1947 tetapi tidak melepaskan begitu saja Kenya , Siprus dan Malaysia sebelum memberikan kemerdekaan. Perancis masih berjuang untuk kembali berkuasa di Indo-China dan Aljazair. Bagi kekuatan Barat kehilangan sumber daya di negara-negara yang merdeka merupakan pukulan telak dan belum lagi bahwa Uni Soviet dan sekutunya juga tidak berdiam diri begitu saja.
Sebagai gantinya kekuatan Barat berencana untuk memaksa negara-negara baru untuk membayar rekonstruksi. Di tahun 1951 , Mossadegh di Iran menasionalisasi industri minyak dinegara itu dan karenanya Mossadegh menjadi Man of The Year versi Times. Inggris memutar akal untuk memblokade Iran agar tidak bisa mengekspor minyak ke negara lain. Disisi lain CIA menggelar Operasi Ajax yang dipimpin oleh Kermit Roosevelt. Dia merancang pergolakan di Iran untuk menggulingkan Mossadegh . Guatemala adalah sasaran lain ketika Presiden Jacobo Arbenz terinspirasi oleh Abraham Lincoln dan meluncurkan program land reform yang memancing CIA untuk melancarkan operasi khusus. Arbenz terjungkal di tahun 1954 dan sekitar 15 ribu petani yang mendukungnya terbunuh. Dan masih banyak kasus intervensi Barat lainnya terhadap urusan negara lain dalam buku ini dari issue Suez , Yom Kippur etc
Jadi intinya jika kolonialisasi terdengar kuno maka kolonialisasi dalam bentuk baru diluncurkan yaitu dalam bentuk jerat hutang. Hiatt mengungkap bahwa pembayaran dari negara-negara dunia ketiga berjumlah sekitar 375 miliar USD pertahun atau 20 kali lebih besar dari jumlah uang yang diterima dari negara-negara maju. Sistem ini disebut juga Marshall Plan In Reverse dimana negara-negara dari belahan Selatan yang malah memberikan subsidi kepada negara-negara kaya dibelahan utara walaupun separuh dari manusia didunia ini hidup dengan 2 USD perhari.
Sementara SC Gwynne di bab berikutnya bertajuk “Selling Money- Setting The Debt Trap” membahas kenaikan harga minyak dunia dan menciptakan oversupply dari petrodollar di bank internasional dan mendaur ulang dananya dalam bentuk pinjaman ke negara dunia ketiga dan salah satu kasusnya adalah Filipina. Pada masa Ferdinand Marcos terjungkal pada tahun 1986 , hutang luar negri Filipina melampaui 28 miliar USD ketika itu termasuk 675 juta USD dari perusahaan yang dikelola keluarga Marcos. John Christensen dalam “Dirty Money : Inside The Secret World of Offshore Banking” (Bab 3) mengungkap bahwa setiap tahun 500 miliar USD dollar uang kotor mengalir dari negara miskin ke akun-akun yang di kelola oleh berbagai bank dari Barat. Dan Lucy Komisar di Bab IV yang berjudul “BCCI Double Game : Bank of America and Bank Of Jihad “ mengungkap bahwa The Bank of Credit and Commerce International (BCCI) adalah tool yang paling berguna bagi klien kelas berat macam Kartel Meddelin , CIA , Al – Qaeda , Osama bin Laden, dan tokoh-tokoh utama baik dari republik maupun demokrat.
Bab V merupakan tulisan Kathleen Kern yang berjudul “ The Human Cost of Cheap Cell Phones”. Deskripsi awalnya dimulai dari sebuah rumah sakit di Goma (Ibukota Kongo) dimana para korban pemerkosaan sedang menanti pembedahan. Berbagai kemungkinan kekejian dalam pemerkosaan terjadi seperti luka vagina yang disebabkan oleh senjata. Terror ini bermula dari kekayaan SDA Kongo yang disebut Coltan (columbite-tantalite) yang merupakan bahan vital untuk pembuatan piranti elektronik. Delapan puluh persen dari cadangan coltan dunia terdapat di Kongo sehingga Kongo menjadi kawasan penting sebagaimana kawasan Teluk yang kaya minyak.
Sejak tahun 1996 sekitar 4 juta orang tewas di Republik Demokratik Kongo (Zaire) sebagai hasil dari perang saudara. Konflik mengerikan ini hampir setara dengan konflik Rwanda . Uganda mengirim pasukan pada tahun 1997 untuk membantu pemberontak Kongo menjungkalkan dictator Zaire , Mobutu Sese Seko . Di tahun 1997 Mobutu tersingkir dan Kabilla naik . Kabilla mengusir orang Rwanda dan Uganda dari Kongo pada tahun 1998 dan sebagai gantinya Rwanda menyerang kembali dengan dalih untuk mengejar suku bangsa Hutu dikawasan Rwanda. Pemimpin Rwanda dan Uganda ingin Kabilla diganti dan Kabilla meminta bantuan dari Angola , Namibia dan Zimbabwe . Karena konflik berkepanjangan ini harga Coltan dunia menanjak dari 18 USD perpound menjadi 30 USD perpound di tahun 2000 dan meroket hingga 380 USD perpound. Kelangkaan Coltan ini membuat Sony Playstation 2 juga tersendat produksinya pada akhir tahun 2000. Pemerkosaan menjadi dampak lain dari perang berkepanjangan. Setiap grup perang melakukan kejahatan tersebut. Jika pemerkosaan belum berhasil menghabisi wanita maka HIV akan menjadi bencana susulan. UN Fund for Women memperkirakan ratusan ribu wanita Kongo mengalami pemerkosaan sejak tahun 1998. Negara maju seperti Belgia , Denmark , Jepang , Swiss dan Amerika Serikat menggandakan bantuannya terhadap Rwanda sebagai imbalan dan sekaligus membiayai intervensi Rwanda ke Kongo. Rwanda dan Uganda malah mendapat pujian dari IMF karena GDP mereka meningkat.
Andrew Rowell dan James Mariott dalam “ Mercenaries on the Front Lines in The New Scramble in Africa” (Bab 6) menyebutkan bahwa kebutuhan minyak Amerika sebesar 30% akan berasal dari Afrika di tahun 2015. Untuk itu perusahaan raksasa secara bertahap terus meningkatkan tentara swasta disana untuk melindungi operasi mereka. Salah satu yang menarik dari bab ini adalah kemunculan Tiongkok sebagai kompetitor bagi Barat di kawasan Afrika ini. Pada masa itu menlu Tiongkok , Li Zhaoxing terbang ke Afrika dengan tujuan untuk meraih akses minyak di Afrika seiring dengan meningkatnya kebutuhan Tiongkok akan energi yang bertumbuh secara eksponensial. Salah satu contoh kesepakatan adalah raksasa minyak CNOOC telah membayar 2.3 miliar USD untuk sebuah blok minyak di Nigeria. Menkeu Nigeria ketika itu , Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan bahwa pasar Tiongkok adalah pasar raksasa dengan kebutuhan raksasa dan Nigeria dapat memenuhinya. Anthony Lake mantan penasehat dimasa pemerintahan Clinton mengatakan bahwa Tiongkok telah mendapat 28% impor minyak dari Afrika dan 40% minyak Sudan. Lake tidak mengisyaratkan bahwa Tiongkok akan menjadi musuh Amerika di Afrika. Sebagai gantinya Tiongkok mendukung Nigeria untuk mendapat kursi di DK PBB
Di bab berikutnya Greg Muttit membahas tentang nasib cadangan minyak Irak dalam “Hijacking Iraq’s Oil Reserves : Economic Hitmen At Work” (Bab 7). Selagi rakyat Irak menatap masa depan mereka dengan nanar , nasib minyak Irak sudah di tentukan di balik pintu , dan kerugian Irak karena minyak mereka sebesar ratusan milyar dollar. Gregg Muttit mengungkap keterlibatan The International Tax and Invesment Center. Steve Berkman dalam bab berikutnya berjudul “The World Bank and The $1000 Billion Question” mengungkapkan bahwa Bank Dunia menekankan debt based development strategy untuk negara dunia ketiga selama beberapa dekade. Ratusan miliar USD digelontorkan ke negara berkembang untuk membawa kemajuan dalam tanda kutip . Dana dari hutang itu bocor masuk ke kantong-kantong elit penguasa yang korup dan meninggalkan beban hutang baru bagi rakyatnya.
Ellen Augustine (Bab 9) mengaitkan antara Bank Dunia dan Filipina. Amerika Serikat menjadikan kata “pembangunan” dan “modernisasi” sebagai kunci di masa Ferdinand Marcos berkuasa. Delapan ratus dokumen yang bocor dari Bank Dunia sendiri mengatakan bahwa bank tersebut menjadikan Filipina sebagai test case . Sementara Bruce Rich (Bab 10 – Exporting Destruction) mengulas tentang export credit agencies yang menjadi institusi financial terbesar didunia dan membekingi perdagangan senilai 788 miliar USD di tahun 2004. Agen-agen tersebut menjadi pemain dalam kasus pembiayaan pembuatan PLTN di negara-negara yang tidak punya kapabilitas untuk mengelolanya . James Henry dalam “The Mirage of Debt Relife” (Bab 11) menyebutkan bahwa para pemimpin G8 dengan bangga tentang bantuan dana yang mereka gelontorkan sebesar 40 miliar USD untuk 18 negara di Amerika Latin dan Afrika , padahal itu hanya mencakup 1% dari 3.2 triliun USD dari hutang negara-negara tersebut.
Bagaimana menghadapi kondisi ini ? Antonia Juhasz dalam “Global Uprising – The Web of Resistance” (Bab 12) menganjurkan agar mencari kekuatan yang dibutuhkan untuk menciptakan gerakan keadilan global untuk menghadapi ancaman dari Tatanan Dunia Baru. Juhasz membedakan antara kekerasan yang dilakukan Al-Qaeda dan teroris ekonomi dari Barat.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing List Budaya Tionghua 998