Budaya-Tionghoa.Net | Pertempuran laut antara skuadron Tiongkok (Qing) dengan Jepang di Laut Kuning diantara kepulauan Talu dan Haiyang terjadi pada 17 September 1894.
Pertempuran ini menjadi catatan penting dalam sejarah perang maritim dimana kedua belah pihak mengerahkan kapal perang modern. Tiongkok sudah meninggalkan kapal junk dan beralih kiblat ke teknologi Eropa seperti Inggris dan Perancis sejak Li Hongzhang mencanangkan Self-Strengthening Movement.
Hasil dari pertempuran ini dipelajari oleh para naval expert dan memberikan banyak ide-ide baru mengenai pertempuran maritim. Kekuatan-kekuatan Barat seperti negara-negara utama Eropa dan Amerika Serikat memang mempunyai persenjataan yang kuat tetapi belum teruji dalam perang aktual. Dan pertempuran antara Jepang dan Tiongkok menjadi studi kasus yang menarik untuk digali.
Kedua negara , Jepang dan Tiongkok , berkiblat pada teknologi naval science Barat. Untuk Jepang , pertempuran ini menaikkan prestise mereka didunia internasional , juga menaikkan prestise angkatan laut yang sempat menjadi sasaran empuk di parlemen Jepang dan dideklarasikan sebagai angkatan perang yang tidak produktif dan perwira-perwiranya dipilih berdasarkan nepotisme bukan berdasarkan kapasitasnya. Ketika Vice Admiral Viscount Kobayama mengajukan usulan untuk memperbesar angkatan laut Jepang , pihak parlemen serasa menutup telinganya di bulan Desember 1890.
Bekas para pengikut Klan Satsuma masih mendominasi kekuatan naval Jepang. Mereka dikenal dengan keberanian dan kesetiaannya. Yang dicemaskan publik Jepang adalah pengetahuan scientific dan skill teknis yang membahayakan kapal-kapal yang berada dibawah kepemimpinan mereka. Berabad-abad Jepang dibawah feudalisme dan semangat perang yang sulit dihapus oleh hanya sekian dekade rejim penguasa yang baru pasca restorasi.
Jepang sejak dulu menyandang status sebagai negara kecil yang kerap dianggap sebelah mata . Merasa kecil , Jepang lebih mudah untuk bersatu , tempat dimana lagi kelas masyarakat yang terendah di Jepang punya semangat tempur bersama kelas masyarakat yang lebih tinggi. Ketika belenggu isolasi terlepas , Jepang dengan tamak melahap nutrisi-nutrisi dari luar demi kemaslahatan mereka sendiri.
Modernisasi di Jepang menyentuh segala aspek tetapi semangat tempur yang merasuk hingga ke tulang sumsum menjadi modal penting dalam peperangan besar yang akan menanti Jepang baik didarat maupun dilaut.
Jepang utuh secara organisasi militer , mobilisasi dan presisi dari setiap gerakan mereka. Pertempuran Pingyang dan Hooshan menunjukkan kepandaian strategis dari para perwiranya. Pasukan dinilai sangat efisien dan bangsa Jepang tidak pernah berpikir untuk kalah walau barang sejenak.
Jepang selain bajak laut tempo dulu , tidak punya tradisi kelautan di tentara resminya setelah Tokugawa melarang pembangunan kapal besar menunjukkan ketangguhan dalam Pertempuran Haiyang , menjungkirkbalikkan pengamatan internasional bahwa Tiongkok unggul dalam kuantitas dan kualitas sejak modernisasi dan gerakan memperkuat diri yang dicanangkan Li Hongzhang.
Kemenangan Jepang di Pertempuran Haiyang tidak saja disambut oleh antusiasme di negaranya tetapi juga menunjukkan keunggulan strategis dan efisiensi menghadapi pasukan Tiongkok yang unggul persenjataan dan unggul kuantitas.
Bahkan kapal dagang (bukan kapal perang) Saikyo-maru dengan ketenangan luar biasa mengelakkan diri dari serangan torpedo yang ditujukan kepadanya. Saikyo-maru memang meninggalkan medan perang dengan kondisi rusak tetapi masih bersenang-senang dengan mengambil foto dari pertempuran.
***
Di pagi hari , armada Jepang sudah berada 12 mil dari kepulauan Talu . Dipihak Tiongkok , kapal Dingyuan 定远 yang termashur ditemani saudarinya , Zhenyuan menjadi pusat armada. Mereka dikelilingi oleh kapal-kapal terkuat dari Armada Beiyang. Dalam buku ini tersedia data mengenai mereka.
Di skuadron Jepang terdiri dari Matsushima , Itsukushima , Hashidate (tonase = 4278 , speed = 16 knot) , Chiyoda (2439 , 19) , Fuso (3777 , 13) , Hiyei (2284 , 12) , Akagi (622 , 17) dipimpin Admiral Ito.
Di skuadron Tiongkok terdiri dari Dingyuan , Zheng Yuan (tonase = 7335 , speed 14.5) , Laiyuan (2900, 14), Pingyuan (2000 , 14) , Jingyuan , Jiyuan (2300 , 18) , Jingyuan / Kingyuen (2900 , 15.5) , Chaoyong (1350 , 15) , Yangwei (1350 , 15) , Zhiyuan (1300 , 12) , Kwangchia (1296 , 14.7) , Kwangping (1000 , 15) dipimpin Admiral Ding Ruchang.
Jam 12.03 , persiapan perang dimulai . Jam 12.19 , Admiral Ito memberikan sinyal untuk mulai menembak armada Tiongkok . Jam 12.45 kedua skuadron sudah berada pada jarak 6 km . Jepang malah sengaja mengincar kapal-kapal kecil yang ada disekitar dua kapal besar Dingyuan dan Zhenyuan.
Detail keseluruhan pertempuran dijelaskan dalam buku ini termasuk peta manuver pada saat pertempuran.
Dari data-data yang ada menunjukkan bahwa kualitas perlengkapan militer Tiongkok-Qing lebih baik dari Jepang . Kapal-kapal Tiongkok terutama dua kapal utamanya , Dingyuan dan Zhenyuan punya kapasitas yang ditakuti Jepang sehingga armada Jepang lebih memilih mengandalkan keunggulan kecepatan dan mengincar kapal-kapal kecil disekeliling dua kapal kembar utama. Keunggulan Jepang juga diraih karena kepiawaian para komandannya dalam menyusun strategi.
Buku karya Jukichi Inouye ini hanya membahas mengenai detail pertempuran dan juga catatan Tiongkok mengenai pertempuran ini. Peperangan yang berlangsung didarat , disemenanjung Korea dan juga perjanjian pasca perang tidak dibahas lebih jauh kecuali beberapa dokumen foto kapal perang dari kedua belah pihak dan foto kapal perang yang selamat dari pertempuran itu.
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua| Facebook Group Tionghoa Bersatu