Budaya-Tionghoa.Net | Ketika daerah lain seperti Jakarta , Medan , Bandung , Solo , dan daerah-daerah lain di Indonesia pernah mengalami letupan rasial yang berujung pada kerusuhan dan chaos — maka daerah Bali menjadi contoh lain dari keharmonisan masyarakat. Orang Tionghoa sudah hidup berabad-abad di Bali .
Michael Picard (2006) mengatakan bahwa pada saat kerusuhan anti-Tionghoa terjadi di kota-kota besar menyebabkan banyak orang Tionghoa yang mengamankan diri ke Bali. Dan masyarakat Bali juga tidak mengalami banyak kesulitan untuk menerima pendatang-pendatang Tionghoa ini. Tentunya ini menarik untuk ditelusuri apa latar belakang keharmonisan Tionghoa dengan masyarakat Bali. .
Secara umum pengaruh Budaya Tionghoa kedalam Budaya Bali dapat terlihat dari penggunaan uang kepeng sebagai sarana upacara religi dan adanya simbol kultural sepasang Barong Landung yang menunjukkan semangat perdamaian diantara masyarakat yang berbeda.
Interaksi kultural antara Tionghoa dan Bali secara spesifik pernah dibahas Myra Siddhartha dalam menelusuri perjalanan sejarah masyarakat Hainan[1] di Bali. Satu kelompok Tionghoa Hainan yang sangat kecil dan bercampur baur dengan masyarakat Bali tetapi identitas ketionghoaannya masih tebal.
Keharmonisan nteraksi Tionghoa dengan warga Bali dapat terlihat dari kisah Balingkang. Professor Kong Yuanzhi (2000) pernah menulis mengenai cerita Sam Po Kong di Bali dimana didesa Batur terdapat suatu kelenteng yang dibangun untuk memperingati juru masak Sam Po dan kelenteng itu terletak di Balairung 3 Kuil Batur di Gunung Kintamani.
Dalam kelenteng itulah terdapat Ratu Subandar yang dihormati warga Bali . Di meja persembahan terletak pedupaan berbahan perunggu yang dihiasi ukiran tokoh-tokoh ideal pejabat Tionghoa. Konon armada Sampokong datang ke Bali dan salah satu juru masaknya kapalnya yang akhirnya menetap .
Mengenai kisah ini bercampur antara sejarah dan legenda sehingga memunculkan berbagai versi mengenainya. Tipikalnya bermula dari seorang saudagar dengan anak gadisnya sampai dengan seorang juru masak dalam armada Zheng He (Cheng Ho) . Tentunya memang demikianlah legenda dalam satu perkembangan budaya.
VERSI 1
Seorang saudagar dari Tiongkok bernama Subandar terdampar dengan anak gadisnya. Sang gadis bernama Kang Cing Wie[2] dan punya tubuh semampai , wajah khas Tionghoa dan rupawan. Penampilan gadis ini menjadi buah bibir rakyat dan juga menarik perhatian Raja Jayapangus yang berminat untuk menikahinya. Penasehat sang raja , Mpu Siwagandu menentang keras niat junjungannya karena perbedaaan agama dan bangsa , sang raja beragama Hindu dan Kang beragama Buddha. Mpu Siwagandu meramalkan pula kerajaan yang hancur akibat hubungan ini . Tetapi rupanya sang raja terus bersikeras.
Ramalan Mpu Siwagandu menjadi kenyataan ketika turun hujan lebat ditengah kemeriahan pesta pernikahan. Seluruh isi negri dari rumah penduduk sampai bangunan istana hanyut oleh banjir . Raja Jayapangus kemudian mengajak para pengikut dan rakyatnya yang masih setia untuk mendirikan kerajaan baru di hutan Jong Les yang terletak disebelah barat laut Gunung Batur. Pusat kerajaan yang baru ini diberi nama Balingkang dan Pura Dalem Balingkang yang berasal dari nama Bali dan Kang Cing Wie.
Seiring dengan itu pengaruh Tionghoa muncul di Bali. Pis Bolong[3] digunakan bukan saja di Kintamani tetapi juga diseluruh Bali untuk alat transaksi. “Barisan Tionghoa” menjadi salah satu tarian rakyat yang menggambarkan kegagahan prajurit Balingkang. Disekitar Pura Dalem Balingkang juga terdapat desa dengan nama berbau Tionghoa seperti Ping-gan dan Saikin.
VERSI 2
Versi lain menurut Thomas Reuter menyebutkan bahwa Raja Sri Jaya Sakti telah memiliki ratu tetapi ia jatuh cinta lagi dengan Kang Chin Wi , putri seorang pedagang bermarga Kang. Setelah menjadi istrinya , ia dikenal sebagai Sri Mahardatta dan kerajaannya dinamakan Bali Kang atau Balingkang. Sang penasehat , Bhagawan Siwagundu menentang pernikahan ini dan menolak melakukan upacara sehingga raja yang murka itu mengasingkannya. Bhagawan Siwagundu berpindah-pindah dalam pengasingannya ditandai dengan fenomena alam di Gunung Batur yang menyemburkan api dan Gunung Penulisan yang menyemburkan air. Sang Bhagawan kemudian mengutuk Dalem Balingkang agar kekuasaannya berakhir dan keturunannya akan melupakannya. [4]
VERSI 3
Dalam konteks PDB, nama balingkang berasal dari kata “bali + ing kang”. Secara tuturan dan bukti tertulis, ini dikaitkan dengan pernikahan Raja Jaya Pangus Harkajalancana yang memerintah pada tahun saka 1103-1191 atau 1181-1269 Masehi. Raja Jaya Pangus punya dua permaisuri, Paduka Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna — (Cihna-Cina). Dalam cerita rakyat yang berkembang disebut, istri Cinanya bernama Kang Ci Wi, putri Tuan Subandar pedagang dari Cina. Maka digabunglah Bali-Ing-Kang jadi Balingkang.[5] Palinggih Ratu Ayu Subandar ini menjadi bagian dari struktur Pura Dalem Balingkah sebagai tempat pemujaan pada Kang Ci Wi dan diyakini oleh masyarakat Tionghoa membawa berkah.
Versi 4
Sri Jaya Pangus dituduh telah melanggar adat istiadat yang telah ditabukan dengan menikahi seorang gadis cantik Tionghoa bernama Kang Cing Wei. Pendeta kerajaan , Mpu Siwa Gama menentang keras rencana pernikahan ini hingga menciptakan hujan terus menerus dan seluruh kerajaan tenggelam.
Sang raja dengan berat hati memindahkan kerajaannya ke tempat lain yang lebih dikenal dengan Balingkang . Karena tidak mempunyai keturunan , sang raja pergi ke Gunung Batur untuk memohon kepada dewa agar diberi anak. Dalam perjalanan , sang raja bertemu dengan Dewi Danu yang jelita kemudian terpikat , berhubungan dan akhirnya lahirlah anak lelaki yang bernama Maya Danawa.
Kang Cing Wei yang telah lama menunggu suaminya pulang mulai gelisah dan menyusul ke Gunung Batur , dan menemukan suaminya bersama dengan Dewi Danu sehingga ketiganya bertengkar. Dewi Danu marah karena merasa dibohongi oleh sang raja yang mengaku perjaka. Dengan kekuatannya , Dewi Danu melenyapkan Dalem Balingkang dan Kang Cing Wei. Rakyat yang mencintai pasangan ini kemudian membuatkan patung yang dikenal dengan nama Stasura dan Bhati Mandul. Patung inilah yang berkembang menjadi Barong Landung. [6]
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa
Catatan Kaki
[1] Sebuah pulau di Tiongkok Selatan yang dekat dengan Vietnam
[2] Nama-nama Kang Cing Wie dalam tulisan ini menyesuaikan sumber referensinya yang menulis berbeda dari Kang Cing Wie , Kang Chin Wi , Kang Ci Wi , Kang Cing Wei.
[3] Uang kepeng Tionghoa
[4] Thomas Reuter , p194
[5] I Ketut Riana , Bali Post , “Melacak Ihwal Pura Dalem Balingkang” , 5 Oktober 2006
[6] Pande Ketut Wena , Bali Post , “ Barong Landung Bukan Sekedar Sejarah “ , 20 Maret 2005