Budaya-Tionghoa.Net | Dibawah siraman hujan deras di keremangan malam . Mulailah sang master bergerak meninggalkan jejak dalam genangan air . Genangan kecil air yang menempel kohesif dalam topi sang master ikut terpercik ketika sang master mulai bergerak memutar . Pukulan sang master mendarat telak menghajar sekawanan orang bagaikan sansak tinju yang basah . Gumpalan darah meninggalkan tubuh ikut menetes jatuh kedalam genangan.
Film ini memang berkisah tentang Yip Man tetapi bukan berarti film yang lebih baru dari film Yip Man yang dibintangi oleh Donnie Yen (2008,2010) . Wong Kar-wai sudah memulai proyek ini sejak tahun 2002 dan Tony Leung didaulat sebagai bintang utama. Dengan kecepatan seperti siput produksi “The Grandmasters” ini berlangsung hampir 10 tahun.
Bermula dari provinsi Foshan , Yip Man (Tony Leung) sudah berusia 40 tahunan yang tampaknya hidup dalam keluarga yang didambakan semua orang. Seorang master bela diri dengan tradisi wingchun dengan seorang istri yang cantik , Cheung Wing-sing (Song Hye-gyo) dan hidup dalam keluarga yang mapan secara ekonomi.
Suatu ketika seorang master bela diri dari utara , Gong Yutian (Wang Qinxiang) telah mengangkat pewarisnya , Ma Shan (Zhang Jin) dan Master Gong mencari duel terakhir sebelum pensiun. Master Gong hendak menantang master terbaik dari selatan. Putri dari Master Gong , Gong Er (Zhang Ziyi) berusaha mencegah ayahnya bertarung. Tetapi Yip Man muncul sebagai penantang dan mengalahkan sesama master dari selatan sebelum bertarung dengan Master Gong .
Pertarungan awal Yip Man ini lebih memikat daripada pertarungan sesungguhnya dengan Master Gong yang lebih bertukar filsafat. Yip Man bersikeras dengan pandangannya bahwa aliran utara dan selatan bisa hidup bersama . Master Gong memutuskan Yip Man yang menang dan kembali ke Tiongkok utara.
Masalah tidak selesai begitu saja karena Gong Er menantang Yip Man untuk memulihkan kehormatan keluarganya. Pertarungan berlangsung ketat bahkan dalam satu penggalan koreografi laga hidung dan wajah keduanya begitu dekat seperti sepasang kekasih yang hendak berciuman. Yip Man yang khawatir atas keselamatan Gong Er yang terjatuh terpaksa berusaha menyelamatkannya walau membawa dirinya pada kekalahan. Momen pertarungan yang tidak terlupakan ini membawa kerinduan diantara keduanya.
Dalam perjalanan pulang kerumahnya Gong Er secara tidak sengaja bertemu dan menyelamatkan Yi Xiantian (Chang Chen) di kereta api. Gong Er juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa ayahnya dibunuh oleh Ma Shan yang telah menjadi hanjian atau kolaborator Jepang. Master Gong sebelum kematiannya meninggalkan pesan kekhawatiran akan nasib alirannya dan malah mendesak Gong Er untuk berdamai dengan Ma Shan dan menikah agar melanjutkan tradisi beladiri keluarga. Gong Er menolak pesan terakhir ayahnya dan berniat untuk membalas dendam.
Disisi lain Yip Man juga harus menghadapi perubahan politik dimasa kekuasan Jepang di Tiongkok yang merubah jalan penghidupan keluarganya menuju kesulitan . Betapapun hebatnya Yip Man tidak akan sanggup melawan perubahan jaman dan menghadapi pasukan pendudukan Jepang yang superior .
Secara keseluruhan film ini merupakan film yang artistik dengan nuansa melankolis dan muram. Sebagian film berlangsung dalam ruangan remang-remang membentuk bayang-bayang pada sebagian wajah pemerannya. Koreografi laga besutan Yuen Wo-ping dibawah siraman hujan lebat dan muram yang telah disebut diatas mengingatkan akan pertarungan Neo (Keanu Reaves) melawan Smith dalam The Matrix Revolution(2003). Dalam “The Grandmasters” dua kali adegan serupa dilakoni Tony Leung diawal film dan Chang Chen The Razor di pertengahan film .
Chemistry antara Chang Chen dan Zhang Ziyi sempat terjalin untuk sesaat mengulangi “Crouching Tigger Hidden Dragon” (2000) dalam sebuah perjalanan kereta api . Tetapi berikutnya terjadi diskontinuitas dalam plot ketika karakter yang diperankan Chang Chen mengambang bebas dengan benang merah yang putus dengan pemeran lainnya. Entah mengapa , apa karena Wong Kar-wai dituntut harus memangkas film yang semula berdurasi empat jam menjadi dua jam sehingga menumbalkan Chang Chen sedemikian banyak. Interpretasi akan judul “The Grandmaster” menjadi bercabang antara Yip Man (Tony Leung) dan Razor (Chang Chen) atau bahkan Zhang Ziyi sendiri yang dalam film ini juga berperan sebagai seorang master.
Jika dibandingkan dengan film-film bertokoh Yip Man seperti versi Donnie Yen , nilai estetika dan sinematografi yang dibangun Wong Kar-wai lebih unggul sementara versi Donnie Yen alur narasinya lebih jelas .
Zhang Ziyi berhasil menampilkan citra seorang wanita yang tangguh dan penuh percaya diri . Bagaimana ia mengambil sikap tegas dalam menghadapi pesan terakhir mendiang ayahnya dan pembalasan dendam . Demikian juga saat terjalin hubungan yang unik antara karakter Gong er dengan Yip Man. Sebagai aktris papan atas yang kenyang membintangi film-film fenomenal seakan mengulangi keintimannya dengan Tony Leung dalam Hero (2002) dan dengan Chang Chen dalam Crouching Tiger Hidden Dragon (2000) . Dan sekali lagi saya melihat salah satu eksperimen Wong Kar-wai dimana Zhang harus melakoni pertarungan dengan latar belakang kereta api yang sedang bergerak cepat.
Song Hye-kyo kali ini tak lebih dari sekedar pemanis sebagai seorang istri dari Yip Man. Walaupun namanya sedemikian popular berkat kesuksesan drama yang dibintanginya , perannya dalam film ini tidak lebih baik dari sesama bintang Korea lainnya seperti Kwon Sang-woo dalam “Chinese Zodiac”-nya Jackie Chan.
Bagi Tony Leung ini hanyalah kesekian kesuksesan dengan reputasinya sebagai aktor kawakan. Tony Leung sepertinya menjadi favorit Wong Kar-wai dengan menjadi langganan pemeran film-film yang disutradarainya. Dari sebelas film terakhir Wong Kar-wai , Tony Leung membintangi tujuh film diantaranya termasuk “Days of Being Wild” (1990) , Ashes of Time (1994) , Chungking Express (1994) , Happy Together (1997) , In The Mood For Love (2000) , 2046 (2004) dan The Grandmaster kali ini .
Wong Kar-wai dengan kreativitasnya juga bisa mengalihkan suasana muram dalam ruang yang temaram kedalam adegan lain menampilkan tradisi ritual kematian Master Gong yang terhampar diatas panorama salju . Secara keseluruhan Wong Kar-wai sukses dalam penantian panjangnya selama 10 tahun untuk membuat film ini . Hambatan untuk memangkas durasi film ini tidak terlalu mempengaruhi keindahan film ini . Ini akan menjadi salah satu karya film wuxia yang fenomenal selain Crouching Tiger Hidden Dragon , Hero , The House of Flying Dagger.
Rating 8/10
BENTARA
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa