Photo Credit : Tribun News
Budaya-Tionghoa.Net | Ahad (3/3), saya dan anak saya yang baru selesai kuliah iseng-iseng menyambangi pemukiman kumuh bernama Kampung Apung. Saat pulang, melewati Jl Pesing Poglaar, Jakarta Barat, terlihat kerumunan di rumah pompa. Saya menghentikan sepeda motor, dan bertanya kepada warga yang berkerumun.
“Pak Jokowi mau datang,” ujar seorang remaja putri yang mengenakan jilbab.
Anak saya segera turun dari motor, mengeluarkan kameranya, dan menceburkan diri ke dalam kerumunan.
“Ini kesempatan mengabadikan orang nomor satu di Jakarta,” ujarnya.
Tak lama kemudian terdengar sirine. Dua sepeda motor besar berwarna putih melintasi Jembagan Genit. Di belakangnya, meluncur mobil warna hitam.
Di depan pintu gerbang rumah pompa Pesing Poglaar, mobil berhenti. Ternyata yang keluar Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Anak saya tak kecewa. Jokowi dan Ahok sama saja.
Warga — terdiri dari berbagai usia — yang telah menunggu lebih satu jam, berhampuran menyalami Wagub. Anak saya terkesan bukan kepalang.
“Ahok benar-benar menghapus garis demarkasi pri dan nonpri,” ujar anak saya.
Saya bertanya kepada seorang protokol, apakah ini acara kunjungan biasa, atau ada yang istimewa. Sang protokol mengatakan; “Akan ada kunjungan Menteri Perdagangan dan Investasi Denmark, dan Pak Basuki — sebagai tuan rumah — akan menyambut di sini.”
Sepuluh menit kemudian, rombongan delegasi bisnis Denmark — yang dipimpin menteri perdagangan Denmark — tiba. Anak saya sibuk mencari moment menarik saat Ahok dan Pia Olsen Dyhr, menteri asal Denmark itu, berbicara.
Saya segera menyadari substansi kunjungan ini. Ini kunjungan bisnis. Lebih kasarnya, Denmark sedang berjualan, dan yang ditawarkan adalah pompa untuk mengatasi banjir.
Setelah meninjau situasi rumah pompa, Pia Olsen dan Ahok menyampaikan pernyataan resmi di depan publik. Tidak ada yang istimewa dari pernyataan Pia Olsen, selain bahasa diplomasi dagang, dan bla….bla….bla.
Saat Ahok berbicara, saya minta anak saya memperhatikan dengan seksama. Jika perlu menangkap setiap katanya. Saat itu Ahok berbicara dalam Bahasa Inggris yang sederhana.
Usai Ahok berpidato, anak saya mengatakan; “Tidak ada yang istimewa. Isinya hanya basa-basi.”
Saya katakan; “Tidak. Ada pesan ‘keras’ yang disampaikan Ahok untuk para tamu dan jajarannya.”
Saya melanjutkan; “Perhatian nada bicaranya saat dia mengatakan Pemprov DKI saat ini bersih dari korupsi, tidak ada lagi suap, dan menegakan transparansi.”
Anak saya tertegun. Sebelum dia bertanya lagi, saya nyerocos. “Selama sekian belas tahun, pebisnis AS dan Eropa tahu bagaimana menjual barang ke Indonesia, yaitu menyuap pejabat.”
Caranya; Sebuah perusahaan multinasional asal sebuah negara Eropa, sebut saja namanya PT Tahi Pedut, ingin menjual mesin pengolahan limbah. Mereka mendekati pejabat pembuat keputusan, dan mengajukan tawaran, lengkap dengan harga jual.
Singkat kata, setelah melalui berbagai pendekatan, akhirnya disepakati pemerintah akan membeli mesin pengolah limbah itu dengan harga Rp 50 miliar. Setelah transaksi terjadi, pemerintah membayar sesuai harga disepakati, rekening si pejabat akan bertambah antara Rp 4 sampai Rp 5 miliar.
Itu uang komisi yang dibayarkan perusahaan mesin pengolah limbah kepada pejabat yang membuat keputusan untuk membeli. Praktek ini telah menjadi tradisi di negeri ini, dan semua perusahaan besar di Eropa dan AS tahu.
“Begitulah cara pejabat-pejabat kita menjadi kaya raya,” ujar saya.
Anak saya terbengong-bengong. Saya katakan, itu namanya gratifikasi, bukan bribery. Jika bribery, atau suap, uang akan dibayarkan sebelum transaksi.
Gratifikasi dalam bentuk lain adalah pemberian fasilitas perjalanan ke negara tempat perusahaan pengolah limbah berlokasi. Sang pejabat akan disambut dengan upacara, dan bla….bla….bla.
Sebelum acara di rumah pompa itu berakhir, Ahok memberikan keterangan pers tambahan. Seorang wartawan melontarkan pertanyaan menarik, yaitu soal harga pompa yang ditawarkan.
Ahok mengatakan; “Satu set pompa yang ditawarkan Denmark bernilai Rp 39 miliar. Sedangkan anggaran Pemprov DKI untuk pengadaan pompa pada tahun ini Rp 30 miliar.”
Saya katakan kepada anak saya; “Ahok melakukan sesuatu yang tak biasa. Ia sedang mengaplikasikan apa yang disebut transparansi.”
Dulu, soal harga adalah rahasia, agar praktek mark-up — atau penggelembungan harga — tidak diketahui. Bukankah sebagian besar anggaran untuk belanja barang impor jatuh ke kantong pejabat lewat praktek mark-up.
“Perhatikan pula kalimat Ahok ketika mengatakan; satu set pompa buatan Denmark itu berharga Rp 39 miliar. Sedangkan anggaran Pemprov DKI untuk pengadaan pompa Rp 30 miliar,” kata saya. “Ahok sedang menawar.”
Anak saya kian terbengong. Ia sama sekali tidak menyangka sesuatu yang sederhana dalam acara itu mengandung makna yang luar biasa.
“Semoga negeri ini memiliki lebih banyak orang seperti Ahok, meski tidak harus dari etnis Tionghoa tapi Papua, Aceh, Sunda, Jawa, dan semua anak bangsa dari berbagai suku,” kata anak saya.
Aditya Ramadhan , 63559
http://web.budaya-tionghoa.net/home/2742-ahok-dan-korupsi
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa