Photo courtesy : Dina Middin
Budaya-Tionghoa.Net | Hai, apakabar? Sudah makan Es Shanghai? Persisnya kemarin itu saya cari resep Es Shanghai, minta tolong bung Google, eh, dikasih link ke artikel ttg asal-usul Es Shanghai, yang ternyata pernah muncul di milis kita ini.
Saya kira, es Shanghai itu bukanlah dinamakan ‘Shanghai’ sebagaimana digambarkan oleh Bung Yan, seolah-olah ada kaitannya dengan pembumi- hangusan kota Shanghai di jaman perang dengan Jepang dulu.
Es Shanghai, kalau anda lihat resepnya, tidaklah memakai saus coklat atau susu coklat sebagai campuran sirupnya, yang berwarna merah, coklat, kehitaman seperti penggambaran kebakaran dalam pembumihangusan.
Walau banyak variasi isinya, es Shanghai hanya memakai sirup merah (dengan warna merah pinkish–agak pink, fuchia) dan susu kental manis yang putih. Juga, jarang yang memakai biskuit(?) wafer sebagai variasinya (yang digambarkan seolah-olah melambangkan bangunan yang terba- kar). Bahkan, banyak yang menduga, es Shanghai itu adalah penemuan orang-orang Indonesia, di Shanghai sendiri tidak ada menu ini.
Mirip dengan Es Shanghai, orang Jakarta pernah demam dengan Es Teler yang sampai diadakan suatu kejuaraan, dengan pemenangnya Es Teler 77. Penamaan es teler ini, semula hanyalah nama olok-olok dari anak-anak muda yang sering jajan es campur (mirip dengan es Shanghai isinya, kelapa muda, alpokat, tape, nangka, diberi serutan es, sirup, susu) lalu merasa nikmat sekali, sehingga mereka menamakannya es teler.
Teler di sini adalah slank, bahasa gaul untuk ‘mabuk’. Tapi, kalau anda minum es teler, jangan harap anda bakal mabuk. Lha tidak ada alkohol dalam campurannya, jeh!
Di Solo, ada es campur sejenis, yang dinamakan Es Bumi Hangus. Ini benar memakai saus coklat, sehingga besar kemungkinan nama Bumi Ha- ngus memang sengaja diberikan kepada menu ini, karena warna coklat dan merah seperti pembakaran itu. Tapi, juga si Es Bumi Hangus yang asli Solo ini tidak berkaitan dengan pembumihangusan di masa perang, apalagi dengan pembumi-hangusan di Shanghai. Di Jakarta, RM Bakmi Keriting Permata (Kebun Jeruk, Permata Hijau, Samanhudi) menyediakan menu Es Bumi Hangus ini.
Menurut hemat saya, penamaan Es Shanghai, mungkin saja dikaitkan dengan Shanghai, karena masa itu (jaman Belanda?) Shanghai sudah terkenal sebagai kota metropolitan. Penamaan menu yang dikaitkan dengan satu nama kota besar, tentu secara komersil akan baik adanya. Seperti dulu, ketika Bung Karno mencetuskan Ganefo (Games of the New Emer-
ging Forces), saya ingat ada pedagang es plastik (air sirup dibungkus kantong plastik, lalu dibekukan) yang menamakannya Es Ganefo.
Bentuk dan rasa es Ganefo itu sederhana saja, manis dengan warna-warni sesuai ‘rasa’ atau aroma sirup, ada hijau, kuning, merah, ungu, dan lain-lain. Tapi tidak ada kaitannya dengan olahraga yang dipertandingkan di event Ganefo sebagai tandingan Asian Games itu.
Ada menu baikut goreng di RM Happy, New Happy di Muara Karang, Jakarta utara, namanya Ching-du Bai-kut. Kabarnya penamaan ‘Ching-du’ (ibukota Beijing?) tidak ada kaitannya dengan Beijing, sebab menu ini bukanlah khas masakan Beijing, tapi mungkin Guangdong, cuma penamaan Ching-du supaya lebih cepat dikenal saja.
Kacang atom, kacang yang disalut tepung berwarna kecoklatan, tentu juga tidak ada kaitannya dengan bentuk ‘atom’, yang mungkin ketika kacang itu dipasarkan dulu, orang sedang demam membicarakan ‘atom’ sebagai sesuatu temuan yang hebat dan ramai dibicarakan. Plastik yang dijadikan bahan pembuatan sisir saja (jaman itu sisir kebanyakan dibuat dari tulang atau kayu), pada masa 1960-an, disebut sebagai sisir atom. Juga barang-barang lain yang memakai bahan plastik getas (mudah patah) seperti sikat gigi atom, dsb-nya.
Begitu juga dengan Appolo, nama dagang snack wafer + coklat buatan Malaysia, nampaknya mengekor popularitas pesawat Appolo. Bukanlah dikaitakan dengan peristiwa penerbangan Appolo itu, ataupun dewa Appolo dalam mitologi Yunani.
Mungkin anda pernah juga mendengar atau membeli Kacang Shanghai. Dan, kalau anda lihat supermarket di luar negeri, bisa jadi anda akan menemukan banyak merek produk yang ada embel-embel “Bali”nya, khususnya produk dari Indonesia, misal kopi Bali, kacang Bali, dan
lain-lain, itu semua juga cuma mendompleng popularitas Bali yang memang lebih dikenal orang luar negeri daripada Indonesia-nya.
Selain Es Shanghai, Kacang Shanghai, masih ada Martabak Shanghai, Lunpia Shanghai, Rujak Shanghai (rujak juhi?), dan lain-lain. Apakah ini ada kaitannya dengan Shanghai juga?
Dalam pemasaran, memang seringnya orang mengaitkan sesuatu dengan hal-hal yang populer. Tujuannya, supaya para target konsumen pro duk dengan merek tsb akan lebih cepat mengingat merek produk tsb. Tidak mesti ada kaitan sejarah atau asal usul-nya. Hanyalah semata demi alasan komersil saja. Just business as usual, jeh!
Lain halnya misalnya dengan bacang, kue tiong-chu-phia, atau cakwe, yang konon ada kaitannya dengan sejarah di Tiongkok dulu, yang bisa saja berkenaan dengan sesuatu yang herorik. Seperti cakwe itu.
Jadi, es Shanghai diciptakan demi mengenang kurban pembumihangusan kota Shanghai dulu? Sorry, saya koq jadi meragukannya.
Ophoeng , 33596
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa