Budaya-Tionghoa.Net | Pandangan yang umum adalah menganggap kebaya berasal dari ketika
Hubungan silang budaya Tiongkok dg Indonesia sudah terjadi sejak jaman dahulu kala jauh lebih lama dibandingkan dengan hubungan Indonesia dg bangsa Eropa / Belanda. Hubungan paling awal telah terjadi saat Faxian, bikkhu senior dari Dinasti Jin Timur singgah di Yapoti (Jawa / Sumatra) pd tahun ke 7 Kaisar Yixi (411 M).
Kemudian dalam buku Sejarah Dinasti Song – Kisah Serial Mancanegara, Bab Sriwijaya tercatat bahwa pada tahun ke-6 Kaisar Xianping, raja Sriwijaya bernama Sri Cudamaniwarmadewa telah mengirimkan utusan ke Song Utara.
Saat itu utusan yang datang ke Tiongkok juga mendapat berbagai macam hadiah, baik sutra, maupun benda-benda lainnya.
Ini membuktikan bahwa walaupun tidak ada wanita Tiongkok yang saat itu merantau, namun persebaran budaya keluar Tiongkok telah terjadi, bukan hal yang mustahil jika para utusan tersebut membawa mode baju tunik/ baju panjang yang mengilhami baju-baju dari perempuan-perempuan Melayu.
Bahkan selain benda-benda seni, dan keramik serta sutra, juga genting, pada tahun 1172, Raja Sriwijaya telah menulis surat pada pemerintah dinasti Song, meminta agar dibuatkan genting dan dikirim ke Sriwijaya.
Mungkin saja pengaruh Dinasti Song di Indonesia masih terbilang kecil, namun model baju tunik berlanjut ke Dinasti Ming, nah mungkin disinilah yang kemudian mengilhami timbulnya kebaya.
Menurut catatan Ming Yingzhong Shilu, jilid ke-19; pd tanggal 14 Juni 1436, pihak protokol melapor, utusan dari negeri Jawa, Mayongliang (nama utusan yg di buku itu ditulis dg Zhongwen), mohon agar dianugerahi sabutk emas, sedang patih dan lain-lain mohon diberi sabuk perak. Kemudian pada th 1437 utusan yang bernama Yalie juga datang ke Ming..
Menurut harian Sin Po Indonesia, pakaian wanita di Pekalongan, Jawa Tengah, dan daerah pantai Utara Pulau Jawa, mempunyai pola dan corak tradisional Tiongkok yang tebal, sperti burung Hong, awan, bunga teratai, dan daun yang lebar dan jarang, dengan warna yg cerah.
Menurut tulisan Armien Pane “Indonesia di Asia Tenggara” dan Buletin Indonesia dari Kedutaan Besar RI di Tiongkok, menyebutkan bahwa dari pakaian rakyat Indonesia jelas terlihat pengaruh Tiongkok.
Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: silang Budaya (1996) Kebaya berasal dari bahasa Arab ‘Kaba’ yang berarti ‘pakaian’ dan diperkenalkan lewat bahasa Portugis ketika mereka mendarat di Asia Tenggara. Kata Kebaya diartikan sebagai jenis pakaian (atasan/blouse) pertama yang dipakai wanita Indonesia pada kurun waktu abad ke-15 atau ke-16 Masehi.
Argumen Lombard tentu berterima terutama lewat analogi penelusuran lingustik yang toh sampai sekarang kita masih mengenal ‘Abaya’ yang berarti tunik panjang khas Arab. Sementara sebagian yang lain percaya Kebaya ada kaitannya dengan pakaian tunik perempuan pada masa kekaisaran Ming di Tiongkok, dan pengaruh ini ditularkan setelah imigrasi besar-besaran menyambangi semenanjung Asia Selatan dan Tenggara di abad ke-13 hingga ke-16 Masehi.
Zhou Nanjing menunjukkan dengan mengutip buku H.M. Zai’nuddin : Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan, 1961) bahwa rakyat Aceh pernah memakai “baju guntingan Tiongkok” . Orang Aceh gemar mengenakan baju tani warna hitam dari Tiongkok dan pakaian yang terbuat dari sutra hitam dari Makau.
Petugas Taman Mini Indonesia indah pernah mengatakan pada Prof. Kong Yuanzhi, saat beliau sedang wawancara menulis buku “Silang Budaya Tiongkok Indonesia” bahwa pengaruh pakaian dan perhiasan Tiongkok terhadap Indonesia, antara lain; baju pengantin tradisional Betawi.
Kemudian Lee Khoonchoy dalam bukunya Yinni Shenhua Yu Xianshi menyebutkan bahwa mempelai wanita di Jawa mengenakan perhiasan rambut seperti yang dipakai wanita dalam pertunjukan opera Chaozhou. Dan pada upacara perkawinan orang Palembang, pasangan mempelai mengenakan baju pengantin model Tiongkok, sedang mempelai wanita mengenakan perhiasan rambut ala Tiongkok.
Orang Tionghoa kelahiran setempat lama-lama menerima pakaian tradisional Indonesia dan mengkombinasikannya dengan pakaian tradisional dan kain sutra Tiongkok.
Liem Thian Joe dalam bukunya Riwayat Semarang mengatakan, dulu (sebelum abad 20) pakaian yang dipakai sehari-hari oleh wanita Tionghoa Indonesia adalah baju kurung pendek tanpa kancing.
Tapi pada hari-hari besar, memakai baju kurung panjang tanpa kancing sebagai pakaian resmi. Yang muda memakai pakaian berwarna hijau atau merah muda, sedang yang setengah umur warna coklat, yang lanjut usia biasanya memilih warna gelap. Bahan pakaian terbuat dari sutra Tiongkok.
Pakaian orang Tionghoa kelahiran Jawa juga “bergaya Jawa”. Pada tahun 1930-an Huan Shufeng pada bukunya Kexue De Nanyang, menyebutkan bahwa wanita Tionghoa mengenakan baju kebaya tipis berwarna putih tanpa kancing, tapi dengan peniti, dilengkapi pakaian dalam berkembang. Sebagai pakaian bawah dikenakan sarung lukisan tangan. Demikianlah yang saya kutip dari buku karangan Prof. Kong Yuanzhi “Silang Budaya Tiongkok Indonesia”
Ren Yingying
Sumber :
Jixuan, Liu, Shu Shideng: Zhonghua Minzu Tuozhi Nanyang Shi
Kong Yuanzhi, “Silang Budaya Tiongkok Indonesia”
Denys Lombard d, “Nusa Jawa: silang Budaya”
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa