Budaya-Tionghoa.Net | Serial Drama Dongyi 동이 menyusul kesuksesan Drama Dae Janggeum yang diterima secara luas diluar Korea Selatan itu sendiri. Dongyi disiarkan oleh Munhwa Broadcasting Corporation atau MBC pada tahun 2010 dan juga disiarkan oleh stasiun televisi Indosiar di Indonesia . Drama ini cukup menarik dengan menghadirkan intrik-intrik politik dimasa Dinasti Joseon atau tepatnya dimasa Yi Sun (1661-1720) atau lebih dikenal sebagai Raja Sukjong(1674-1720). Drama ini juga menunjukkan pengaruh Budaya Tionghoa yang kuat di Korea.
Korea , sebagaimana Jepang dan negara disekitar Tiongkok dipengaruhi oleh Budaya Tionghoa selama ribuan tahun. Budaya Tionghoa mendominasi masyarakat Korea dalam keseharian di berbagai bidang dari politik , legal , sosial , literature , religi dan filsafat. Raja Sejong (berkuasa 1418-1450) mendorong falsafah Confucian di Korea tetapi disisi lain juga merintis penggunaan aksara Korea yaitu hangul . Inisiatif Raja Sejong dapat dilihat dari serial drama “Deeply Rooted Tree” (SBS , 24 episode , 2011) . Penggunaan hangul sendiri baru populer di masa akhir Joseon. Aksara han atau hanja (Korea) masih terlihat penggunaannya dalam serial drama Dae Janggeum .
Dinasti Joseon / Chosun (1392-1897) adalah dinasti di Korea yang berusia panjang. Perjalanan sejarahnya pararel dengan Dinasti Ming (1368-1644) dan Dinasti Qing (1644-1912) di Tiongkok dijadikan satu. Korea merupakan negara terpenting bagi Tiongkok selain Vietnam . Posisi Korea yang penting membuat kaisar Ming Shenzong (1572-1620)[1] mengirimkan bantuan kepada Korea untuk mengusir pasukan Jepang dimasa Toyotomi Hideyoshi. Tiongkok kembali membela Korea dalam Sino-Japanese War I (1894-1895) dimasa Dinasti Qing dan Perang Korea (1950-1953) dimasa awal Republik Rakyat Tiongkok. Sebagai dinasti yang lama berkuasa dan dinasti terakhir di Korea , Joseon memiliki kedekatan jarak dengan kekinian Korea. Setting sejarah Joseon mendominasi setting drama dan film Korea[2] sedangkan Tiongkok mengerahkan rentang sejarahnya yang panjang selama ribuan tahun sebagai setting drama dan filmnya yang tidak ada habisnya untuk digali.
Serial Drama Dongyi : Sebuah Kasus
Dalam serial drama Dongyi ini juga terlihat pengaruh budaya Tionghoa dan juga pengaruh politik Dinasti Qing dimasa pemerintahan Raja Sukjong. Terlihat utusan-utusan Qing tampil dalam beberapa episode.
Even sejarah sesungguhnya Raja Sukjong berdiri ditengah persaingan antar faksi yang terlihat jelas juga dalam gambaran drama Dongyi. Dua faksi bertikai mengenai kebijakan apakah Joseon harus berperang dengan Qing yang dianggap barbar dibandingkan Ming yang menjadi panutan Joseon.[3] Problema diplomatik antara Joseon dan Tiongkok paling berat dihadapi oleh Yi Son (1574-1641) atau lebih dikenal sebagai pangeran Gwanghae (berkuasa 1608-1623)[4] yang masa pemerintahannya menjadi setting dari dua film utama Korea Selatan , “War of Arrows” (2011)[5] , “Masquerade” (2012)[6]. Pada masa Gwanghae berkuasa , Korea baru saja berhutang budi pada penguasa Ming yang menyelamatkan Korea dari serbuan Jepang (1592-1598) yang sempat meluluhlantakkan Korea , beberapa dekade sebelum akhir setting serial drama Janggeum . Disisi lain kekuatan Manchu terus meningkat . Joseon seperti pelanduk diantara dua kekuatan raksasa dan Gwanghae mengambil keputusan oportunis dengan tetap menjadi tribute Ming sekaligus membina persahabatan dengan Manchu. Kembali ke masa pemerintahan Raja Sukjong salah satu kasus diplomatiknya adalah penyelesaian sengketa perbatasan yang ditandai dengan Monumen Baekdusan . Pada saat itu adalah tahun ke 38 pemerintahan Sukjong dan sejaman dengan masa pemerintahan Kangxi di Tiongkok. [7] (Park Jin-hyun et al , p85) . Sengketa perbatasan ini mencuat kembali pada saat Jepang mulai menampakkan taringnya di akhir abad 19 dan awal abad 20 dan terus berlanjut antara Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara dimasa modern. Dari segi sejarah , budaya populer Korea akan tetap sulit melepaskan diri dari status negara tribute Tiongkok betapapun mereka mencoba mengantagoniskan Tiongkok ataupun Manchu dalam produk budaya populer mereka .
Roman Samkok
Seiring pengaruh Tiongkok yang kuat sudah tentu karya klasik Tiongkok seperti roman Samkok pun beredar di Korea dan Jepang. Di masa modern lebih dari 5000 entry mengenai Samkok (Samgukchi) terdapat dalam database Perpustakaan Nasional Korea di Seoul . Hampir sebagian besar merupakan terjemahan dari teks Tionghoa dan yang tertua berasal dari tahun 1871.[8] Raja Seonjo (berkuasa 1567-1608) yang merupakan raja keempat belas Joseon merupakan seorang pembaca yang kecanduan novel Samkok ini. Popularitas Samkok di kalangan istana maupun rakyat jelata ,mendukung teori bahwa literature Tiongkok , yang diwakili oleh Samkok , membantu Korea untuk membangun hasrat yang besar dan pasar yang bersemangat bagi literature asing.
Walaupun karya klasik seperti Samkok ini sudah berakar lama di Korea tetapi tetap ada yang menolak karya ini seperti yang dilakukan Professor Myong Choe dari Seoul National University punya pemandangan lain bahwa Samkok harus disingkirkan dari rak buku di perpustakaan Korea. Karakter dalam roman ini menurutnya adalah PERANG , perang antara “power-monger” yang memanipulasi segalanya untuk menghancurkan musuh mereka. Cao Cao menurutnya bukanlah seorang warrior tapi seorang yang brutal , Liu Bei adalah oportunis yang tidak tahu malu , Zhuge Liang adalah ahli muslihat . Prof Myong Choe mempertanyakan apa yang bisa dipelajari generasi muda dari buku seperti itu.[9] Masalah lain adalah roman Samkok ini dinilai berbahaya bagi pembaca yang polos dan tidak bisa membedakan antara fiksi dan fakta.
Seorang sinolog Korea terkemuka , Kim Wong-jun berkerja dengan sebuah rubric yang membedakan fakta dan fiksi tersebut. Kim menyebut kesalahan terbesar dalam roman Samkok dalam menggambarkan Liu Bei sebagai pahlawan dan Cao Cao sebagai penjahat . Samkok dinilai tidak adil dalam memperlakukan Cao Cao yang digambarkan sebagai berdarah dingin , seorang Machiavellian yang haus darah . Kim menyatakan bahwa para Confucian mengagungkan Liu Bei sebagai contoh tertinggi dari persaudaraan . Tetapi Liu Bei suatu saat berkata bahwa saudara adalah seperti lengan dan kaki , dan istri dan anak seperti pakaian. Liu Bei meninggalkan keluarganya , tidak saja sekali tetapi tiga kali. Berbeda dengan filosofi Cao Cao yang pantas dikagumi . Bagi Kim Wong-jun inilah saatnya untuk mengevaluasi kembali pandangan terhadap Cao Cao. [10] Untuk penjelasan lebih detail mengenai sikap masyarakat Korea terhadap Samkok dapat dilihat dari karya Kim Jinhee yang berjudul “The Reception and the Place of Three Kingdoms in South Korea”. [11]
Confucianisme
Sisi menarik lain adalah pengaruh Confucianisme yang kuat di Korea . Confucianisme menyebar luas ke Jepang , Korea dan Vietnam . Tetapi pengaruh Confucianisme terhadap Jepang dan Korea punya perbedaan. Dalam budaya Tionghoa dan Korea , Confucianisme adalah elemen utama dari moralitas klasik dan berpengaruh kuat di masa Joseon yang menjadi ideologi negara . Joseon-Korea dilihat oleh Jepang sebagai negara Confucian . Confucianisme sedemikian berakar kuat di Korea . Wang Yin dalam Nippon.com menyebut Semenanjung Korea sebagai “model student” dari Confucianisme dan rakyat di Korea juga merasa negaranya adalah Tiongkok Kecil.[12]
Seorang gungnyeo seperti Dongyi (Episode 12) dan seorang raja Joseon tidak luput dari studi Confucianisme termasuk Raja Sukjong. (Episode 32). Yang menarik adalah Yi Geum , putera Choi Dongyi dan Raja Sukjong yang kelak akan menjadi Raja Yeongjo (1694-1776). Yigeum dikenal sebagai anak yang genius. Di usia masih anak-anak dia bukan saja mampu mendeklamasikan kutipan Zhongyong tetapi juga mampu memahaminya. (Episode 46). Calon gurunya , Kim Gu-seon terkejut dengan kemampuan akan ini. Kim mengatakan kepada Dongyi bahwa saat Kim masih seusia Yigeum , dia hanya mampu mendeklamasikan kutipan Zhongyong . Ketika dibujuk untuk menjadi guru bagi Yigeum , Kim menolak mengangkat murid seperti Yigeum yang merupakan pangeran . Kim memang sudah menarik diri dari dunia ramai dan menjadi petani. Usaha Dongyi untuk membujuk Kim sedemikian sulit sehingga Dongyi menyebut pengalamannya dengan membandingkannya dengan Liu Bei saat mendekati Zhugeliang yang telah disebut dibagian atas.
Choi Dongyi juga mengingatkan Yigeum agar menyembunyikan kegeniusannya pada saat mereka kembali ke istana nanti. Maksud dari Dongyi adalah untuk menghindari musuh-musuh politiknya di istana yang akan menganggap Yigeum sebagai anak yang potensial yang mengancam posisi pangeran mahkota . Sebagai anak yang patuh Yigeum menyanggupi permintaan ibunya. Tetapi sesampainya mereka ke istana permasalahannya sudah lain . Yigeum yang sudah mendapat status sebagai Pangeran Yeonning terpancing untuk menunjukkan kepandaiannya didepan kakaknya (putera mahkota anak dari Selir Hui dari Klan Jang ) dan ayahnya , Raja Sukjong.
Dalam serial drama ini diperlihatkan Yigeum sejak kecil memang punya hasrat pengetahuan yang tinggi. (Episode 50) Pada saat Kepala Kasim Han membawanya keperpustakan , pangeran cilik ini melihat pustaka buku seperti melihat harta karun. (Episode 48) Dia langsung memburu sebuah kopi dari buku Mengzi (Mengja – Korea). Raja Sukjong sangat bahagia mempunyai anak genius seperti Yigeum. Raja Sukjong menguji pengetahuan Pangeran Yeoning mengenai Zhongyong dan Pangeran Yeoning menjelaskan esensi dari Zhongyong(Episode 48). Menurutnya Ja Sa (Zisi 子思 481-402SM) mempertimbangkan kebajikan yang terkandung dalam Zhongyong sebagai tatanan tertinggi. Tetapi hal ini sudah jarang didapati . Orang yang mengikuti jalan tengah merupakan kewajiban dan jangan pernah meninggalkannya. Pribadi yang unggul adalah berhati-hati , seorang guru yang lembut dan tidak menunjukkan penghinaan terhadap inferior mereka. Mereka selalu melakukan apa yang natural sesuai posisi mereka didunia ini. Bahkan pria dan wanita biasa dapat membawa “jalan tengah” kedalam keseharian mereka selama tidak melebihi batas. Raja Sukjong memuji pengetahuan mengenai Zhongyong dan Daxue dari anaknya ini didepan Do Seongji . Dan Do Seongji setuju bahwa Pangeran Yeonning adalah seorang prodigy yang tidak pernah dilihatnya selama hidupnya.
Sebagai seorang Pangeran Mahkota maka Pangeran Mahkota Yun harus melalui beberapa tahapan ritual termasuk tahapan seorang Pangeran Mahkota yang memasuki institusi pendidikan utama di Korea pada saat itu , Sungkyunkwan (National Confucian Academy). Dan juga penghormatan terhadap empat orang bijaksana , termasuk Confucius di Daeseongjeon (Hall of Confucius) (Episode 48). Ibu dari Pangeran Mahkota adalah seteru berat Dongyi yakni Selir Hui (Jang Hee-bin) .
Pengaruh Tiongkok Dan Gelombang Korea
Dengan menjadikan budaya populer sebagai satu studi kita bisa melihat fenomena bahwa pengaruh budaya Tionghoa sedemikian kuat pada budaya Korea . SEBALIKNYA karena kemiripan kultural itulah yang membuat produk budaya populer Korea mudah diterima pasar Tiongkok yang besar. Wangyin berpendapat bahwa serial Drama Janggeum juga popular di Tiongkok karena audiens Tionghoa mudah mengidentifikasi karena pengaruh pemikiran Confucian dalam drama tersebut. Sukses Dae Janggeum meraup 27% pemirsa di Tiongkok dan menjadi acara televisi yang paling banyak disaksikan di Tiongkok. Kesamaan filosofis dan kultural menjadi salah satu alasan populernya serial drama asal Korea Selatan ini. [13] Mary E Connor dalam “The Korea” mengulas Hallyu (Korean Wave) yang fenomenal melalui musik pop , animasi , komik , serial drama dan film yang juga berimbas pada fashion , makanan , home appliances dan kosmetik sebagai bagian dari “Korean Wave” tersebut.[14] Hasil dari gelombang Korea itu mendatangkan rasa hormat kepada orang Korea , budaya mereka dan produk mereka (H.S. Kim , 2008 , 78). Ketika “Winter Sonata” meraih sukses di Tiongkok , pemirsa Tionghoa familiar dengan tema seputar keluarga yang berkaitan dengan nilai-nilai Confucian dan menawarkan apa yang terhilang semasa Revolusi Budaya (Onishi 2006 , 142) . Menurut Onishi , drama Amerika terlalu modern dan sulit diapresiasi masyarakat Tiongkok.
(Bersambung)
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
[1] Zhu Yijun ( 1563-1620) dengan nama era Wanli (1572-1620) dan nama bio (Ming) Shenzong merupakan kaisar Ming dengan masa kekuasan terlama.
[2] Setting film berlatar belakang sejarah Dinasti Joseon contohnya adalah Chunhyang (2000) , Masquarade (2012) , Untold Scandal (2003) , War of the Arrows , Gaby (2012) , Blood Rain (2005) , King and The Clown (2005) , Mulleya Mulleya (1984) , Duelist (2005) , Blades of Blood (2010) , Chi Hwa Seon (2002) , The Concubine (2012) , The Divine Weapon (2008) , Eoudong (1985) , The Eternal Empire (1994) , Forbidden Quest (2006) , Hwang Jin Yi (2007) , I Am A King (2012) , Private Eye (2009) , Portrait of Beauty (2008) , Shadows In The Palace (2007) , Warrior Baek Dong Soo , The Princess’s Man , Deeply Rooted Tree ,
[3] Setelah dinasti Ming tumbang , Dinasti Joseon masih menggunakan masa pemerintahan Chongzhen (1627-1644) , kaisar terakhir Ming yang bunuh diri. Sebagai gambaran tahun awal masa pemerintahan Raja Sukjong (1674 -1720) di tahun 1674 sama dengan tahun Chongzhen ke 47.
[4] Pangeran Gwanghae diasingkan dari kekuasaan sehingga menghabiskan sisa usia dalam pembuangan.
[5] Dalam film ini digambarkan serangan Manchu yang dashyat ke wilayah Korea.
[6] Dalam film ini tidak terlalu digambarkan kebijakan luar negri Joseon.
[7] Lihat Park Jin-hyun et al , “2012” , “Asian Approaches to International Law and the Legacy of Colonialism : The Law of the Sea , Territorial Disputes and International Dispute Settlement”
[8] Hangul walaupun sudah diperkenalkan Raja Sejong di abad 15 tetapi baru marak digunakan di masa akhir Joseon. Sebelumnya menggunakan Hanja yang merupakan aksara Tionghoa.
[9] Myông Choê, “‘Say No’ to Three Kingdoms” (in Korean) Han’guk ilbo (Han’guk Daily), November 16, 2002.
[10] Wôn-jung Kim, Correct Version of “Three Kingdoms,” 15.
[11] Kimberly Besio , Constantine Tung , “Three Kingdoms and Chinese Culture” , State University of New York Press , 2007, Chapter 10
[12] Wang Min , “Differing Attitudes to Confucianisme Across East Asia” , Nippon.com (diakses 15 Maret 2013)