Budaya-Tionghoa.Net| Apakah kematian itu ? Apa yang terjadi setelah kita mati ? Pertanyaan itu selalu terlintas di benak pikiran setelah menjelang dewasa dan selalu menjadi pertanyaan abadi manusia yang mencoba mencari jawaban dengan berbagai macam cara.
Kematian dalam budaya Tionghoa dan juga dalam budaya-budaya lainnya adalah bagian dari tiga hidup manusia, yaitu : lahir ; nikah dan mati, dimana dipandang sebagai proses kehidupan manusia yang alamiah, Han Feizi ( 281-233 BCE ) mengatakan”Memandang kematian bagaikan kembali” 視死如歸 .
Saya pernah mengikuti dua kegiatan perkabungan kakek dari pihak ayah maupun ibu yang penuh “kemeriahan” menurut kacamata orang yang merasa “modern” dan upacara perkabungan itu didukung oleh rumah abu marga yang mana sekarang ini di Indonesia amat sulit didapati upacara perkabungan dimana kegiatannya masih mengkaitkan dengan rumah abu marga dan juga penggunaan para pendoa bagi mereka yang meninggal atau yang sering disebut “cai ma” .
Film-film yang yang menceritakan manusia, arwah dan alam kematian itu amat banyak mulai dari “Till Death Do We Scare”, “E’sprit De Amour”, “Sixth Sense”, “Flat Liner” , “King of Hades”, “What Dreams May Come” dan masih banyak lainnya. Salah satu film yang menarik adalah “What Dreams May Come” disutradarai Vincent Ward, film tersebut diadaptasi dari novel berjudul sama karya Richard Matheson.
Ketika menonton film “What Dreams May Come” yang dibintangi oleh Robin Williams dan Annabell Sciorra, pikiran saya menerawang ke masa lalu saya dalam pencarian spiritualitas dan makna hidup ini.
Dan tulisan ini mencoba mengkaji isi film tersebut dari pandangan saya serta pendapat saya mengenai apa yang disebut kematian itu.
Tidak luput juga dari ingatan saya upacara jaelangkung yang dimainkan oleh etnis Hakka pada saat malam festival kue bulan untuk berkomunikasi dengan para arwah yang sudah meninggal dan tradisi itu sudah berumur ribuan tahun, dan tradisi itu bukan untuk ditertawakan seperti yang penulis pernah lakukan saat remaja menyaksikan upacara seperti itu adalah upacara memanggil setan dan merupakan pekerjaan iblis.
Saat melihat betapa sedihnya Annie ditinggalkan oleh Chris ( Robin Williams ) sampai akhirnya ia bunuh diri, kehendak manusia untuk membangun “tali asih” tidak terhenti begitu saja setelah kerabatnya meninggal.
Karena itu tidak perlu diherankan jika dalam budaya Tionghoa mengenal adanya meja abu dan tradisi-tradisi yang terkait dengan mereka yang sudah meninggal seperti pada perayaan QingMing yang dirayakan setiap tanggal 4-6 April dengan mengunjungi kuburan, membersihkan kuburan atau bisa juga dengan membangun altar sederhana untuk mengundang arwah kerabat atau leluhur yang sudah meninggal.
Tentunya lain budaya lain pula caranya dalam mengenang kerabat yang meninggal tapi perlu ditekankan bahwa ritual dan altar dalam budaya Tionghoa tidak serta merta beranggapan mereka itu sudah tidak ada tapi disertai sikap “seolah-olah mereka masih ada” di antara kita dan menurut penulis itu adalah upaya untuk membangun “tali asih” yang tidak terputus begitu saja .
Sehingga kasus Annie yang menderita depresi karena kehilangan dua anaknya tidak berkepanjangan, dan ada yang unik di budaya kematian Tionghoa adalah adanya upacara perkawinan arwah bagi keluarga yang memiliki kerabat meninggal pada usia muda dan dipercaya mereka bisa membangun keluarga di alam baka.
Apakah berkumpulnya Chris, Annie dan ke dua anaknya bisa mengulang lagi kehidupan mereka saat hidup ? Tidak terjawab, hanya dijawab dengan jawaban yang sederhana, kembali lagi saja mengulang percintaan mereka yang indah dengan reinkarnasi kembali.
Apakah harus dengan melolong menderita seperti yang dialami oleh Annie sehingga ia memutuskan untuk bunuh diri ?
Tembok pemisah antara dua dunia ini memang sering menyiksa mereka yang ditinggalkan apalagi Annie sebelum kehilangan suaminya, ia sudah kehilangan dua anaknya, seperti pepatah Tionghoa mengatakan “rambut putih mengantar rambut hitam” bai fa song hei fa白髮送黑髮 .
Hal ini adalah wajar karena secara alamiah seharusnya yang lebih tua mati terlebih dahulu bukan sebaliknya, jadi di sisi lain kita bisa mengerti betapa terpukulnya Annie dan menggoncang pernikahan mereka.
Membangun hubungan tidak selalu terkait dengan altar dan ritual “mengundang” leluhur atau kerabat untuk bisa hadir begitu saja tapi juga ada “jalan-jalan” ke alam baka yang dipimpin oleh pendeta Tao untuk mengunjungi kerabat yang sudah meninggal, disebut guan luo yin 觀落陰 atau you di yu 遊地獄 dimana menurut penulis mengandung dua pengertian berbeda, guan luo yin berarti adalah turun melihat alam yin ( alam kematian atau alam baka ) sedangkan you di yu adalah berwisata ke alam neraka .
Apakah benar atau tidak “tour” itu, sulit dipastikan kebenarannya karena sudah melampaui logika empiris. Satu hal yang perlu disadari adalah mereka yang ikut tour biasanya harus disertai alasan yang kuat dan tidak semua bisa berjalan-jalan ke alam lain.
Uniknya adalah pengalaman mereka yang berjalan-jalan ke alam baka itu biasanya akan melewati taman atau yang disebut sebagai jalan huang quan 黃泉路 , berbeda dengan mereka yang mengunjungi neraka, dimana akan melewati kolam darah yang isinya adalah para arwah di dalamnya.
Hal ini memang melampaui nalar dan tidak akan bisa dipercaya begitu saja terutama mereka yang tidak pernah mencoba ikut atau juga yang gagal ikut “tour” tersebut.
Bagi saya, hal ini sekali lagi adalah upaya untuk menentramkan hati bagi mereka yang ditinggalkan atau terkadang ritual seperti ini digunakan untuk mencek apakah ada masalah antara manusia dengan arwah di alam sana.
Upaya mengatasi “tembok” pemisah itu selalu ada dan dilakukan dengan berbagai cara, dan cara yang terekstrem adalah dengan bunuh diri seperti yang dilakukan Annie.
Jadi kita bisa melihat bahwa ritual penghormatan arwah, meja abu, ritual mengunjungi alam baka adalah salah satu upaya manusia untuk membangun “tali asih” yang tidak terputus begitu saja setelah terpisah oleh kematian.
Apakah reinkarnasi ini termasuk upaya survival atau melanjutkan kesinambungan ritme alam seperti dalam film “Cloud Atlas” ? Sadar atau tidak sadar pembunuhan terhadap kehidupan berlangsung setiap hari, tak terhitung jumlah janin yang dibunuh hanya karena cacat dan dilegalkan oleh banyak dokter, apakah ini upaya mencari yang terbaik atau memutuskan kesinambungan kehidupan ritme alam ?
Jika dalam film “What Dreams May Come” hanya membahas manusia yang telah meninggal kemudian reinkarnasi lagi seolah-olah melanjutkan kesinambungan ritme alam, bagaimana nasib para janin itu ?
Apakah saat roh yang memutuskan lahir ke dunia berdasarkan kehendaknya mereka seperti yang digambarkan dalam film tersebut itu begitu mudahnya menentukan pilihan lahir mereka, tak terjawab dalam film tersebut.
Terlintas dalam benak penulis bahwa karmalah yang mengikat semua dan semua kelahiran dalam bentuk apapun memiliki ikatan karma yang salah satu dasarnya adalah kesadaran ke 8 dalam Buddhisme.
Sebuah perbuatan disebut karma jika memiliki factor kehendak ( cetana ), keinginan-keinginan yang timbul melahirkan karma tapi karma tidak selalu terkait dengan psikis, fisik tapi juga terkait dengan kosmis bahkan alam-alam lain termasuk alam baka.
Pikiran yang bekerja karena kehendak seperti lukisan Annie yang melukis ulang tempat Annie dan Chris bertemu menjadi “alam baka”nya Chris, menunjukkan bahwa ilusi memang berperan dan apakah ini bisa dikatakan holographic projection dari pikiran manusia sehingga melahirkan suatu “alam” yang lain ?
Teringat akan Amitabha Buddha yang membangun surga Sukhavati bagi mereka yang meninggal dan menetap di sana hingga mencapai ke Buddhaan, juga Ksitigharba bodhisatva yang membangun “surga” di neraka bagi mereka yang terjebak di alam dalam bentuk keselamatan bagi mereka yang terjebak dalam neraka.
Dari situ kita bisa melihat bahwa surga dan neraka yang tercipta karena proyeksi pikiran. Jadi apakah reinkarnasi kita ini juga hanya “proyeksi pikiran” kita saja ? Atau membangun suatu ritme alam yang seharusnya berjalan alamiah dan tanpa intensi tapi terusak oleh upaya mencari yang terbaik dengan cara yang pragmatis ?
Segala sesuatu adalah ilusi adalah konsep Buddhisme maupun Taoisme bahkan tubuh ini adalah ilusi belaka dan merupakan perpaduan dari namas dan rupas atau hun po 魂魄dalam istilah Taoisme, sehingga jika diurai tiada roh atau anatta karena apa yang disebut roh adalah perpaduan dari namas dan rupas.
Banyak orang yang bisa melihat “mahluk” gaib baik berupa dewata, malaikat bahkan Tuhan yang memiliki wujud, terus terang saja saya beranggapan bahwa roh itu sendiri tidak berwujud seperti apa yang kita bayangkan seperti wujud yang kita lihat dengan indra penglihatan ini, karena apa yang saya ketahui bahwa “mahluk” seperti itu tidaklah berwujud dalam bentuk fisik, mereka adalah “qi” atau energy yang bisa mengambil bentuk apapun, jika menilik istilah Taoisme adalah formless atau wu xing 無形 .
Zhuang Zi 莊子 (369-286 BCE ) mengatakan bahwa “hidup dan mati itu adalah qi yang terkumpul dan buyar”, saya beranggapan bahwa apa yang kita raba, kita lihat itu adalah bentuk qi yang memadat dalam dimensi manusia ini, bisa jadi di dimensi atau tingkatan alam lain pemadatan itu berbeda prosesnya.
Jadi tidaklah aneh jika Chris melihat Maria dan Ian, ke dua anaknya yang sudah meninggal terlebih dahulu dalam wajah lain. Apakah juga para roh itu mahluk cahaya ?
Jawab saya juga bukan, karena banyak orang yang beranggapan mahluk-mahluk kelas tinggi adalah mahluk cahaya, sehingga bisa menyesatkan, seyogyanya menembusi “batin” yang ada di balik fenomena cahaya mahluk itu dan menurut saya bisa melepaskan diri dari jebakan ilusi batin atau disebut “fenomena iblis” mojing 魔境.
Apa itu kematian ? Bagaimana menyikapi mati ? Saya teringat akan perkataan Kong Zi (551-479 BCE ) saat ditanya apakah alam kematian, Kong Zi menjawab,”Tidak tahu hidup bagaimana tahu mati” 未知生焉知死 weizhisheng yuanzhi si.
Ini adalah jawaban yang baik karena banyak manusia yang tidak memaknai hidupnya bahkan banyak manusia yang takut hidup tapi tidak takut mati, misalnya saja banyak orang yang bunuh diri bahkan bunuh diri dengan membawa mati anak-anaknya karena kesulitan ekonomi dan menggunakan mati sebagai jalan untuk melarikan diri dari kenyataan.
Tentunya ini adalah mereka yang takut hidup berbeda dengan mereka yang bunuh diri dengan tujuan yang berbeda dan bagaimana pelaku bunuh diri itu memaknai bunuh diri itu yang membedakan, misalnya bhiksu Thic Quang Duc yang membakar diri sebagai bentuk protes atas perang Vietnam atau Macan Tamil yang mempelopori aksi bom bunuh diri, jendral Kobayashi yang melakukan seppuku dan banyak contoh lainnya.
Bagaimana kita menyikapi hidup itu jauh lebih penting daripada menyikapi bagaimana kita nanti jika mati. Seperti dalam koan Zen, “ada orang yang tergantung di tengah tebing, diatasnya ada tikus yang menggerogoti tali orang yang memegang tali itu, dibawahnya ada buaya yang menunggunya, di hadapan orang itu ada buah cherry, nikmatilah buah cherry itu.”
Karena kita seringkali melupakan ada buah cherry dihadapan kita, kita selalu terpana melihat “past” dan “after” yang menyelimuti pikiran kita. Jadi sikapilah hidup itu dengan menatap apa yang ada dahulu, bukan mengawang-awang. Jika kita sudah bisa menatap dengan jernih, apa yang mengawang-awang itu bukanlah suatu hal yang menakutkan.
Apa itu menatap dengan jernih ? Bisa disebut dengan kata lain yaitu aktualisasi diri dan mereka yang mengaktualisasi diri itu selalu ingin berbagi tanpa ada rasa takut kehilangan.
Berbagi itu apa ? Dalam “Kitab Kedamaian Agung” Taiping Jing 太平經, dikatakan bahwa alam itu jejaring yang saling mengambil, tiada yang lepas dari konsep mengambil itu, hanya kadang mereka yang memiliki intelektual tinggi itu mengambil tanpa mengenal rasa puas dan rasa “henti” sehingga merusak jejaring itu, mereka yang menyadari akan tahu kata “puas” dan “henti”.
Jadi apa itu mati ? Hidup adalah perjalanan mengeksplorasi diri dan mati adalah juga eksplorasi diri untuk mencapai apa yang kita sebut “menyadari” hakekat jejaring alam semesta yang mengandung kekuatan atau de德 pembangun tiada henti sehingga suatu saat kita akan benar-benar menjadi bagian dari jejaring itu dus bukan ada di luar.
Mati tidaklah menakutkan bagi mereka yang menyadari hakekat hidup dan mati adalah proses akhir hidup sekarang yang nantinya juga berkelanjutan.
Film “What Dreams May Come” itu semakin meneguhkan apa yang saya pikir dan rasakan selama ini walau tidak semua isi film itu sesuai dengan apa yang pikirkan atau renungkan dalam mengarungi hidup tapi sungguh layak ditonton sebagai pembuka atau penambah wawasan. Jadi hadapilah mati itu dengan senyum dan untuk bisa senyum menghadapi kematian, majukanlah diri dengan membangun jejaring alam dan mengenal kata “henti” dan “puas”.
Budaya-Tionghoa.Net | Facebook Group Budaya Tionghoa |