Budaya-Tionghoa.Net |
Tak terasa waktu-waktu berganti waktu, raja-raja saling turun dan naik tahta, dinasti-dinasti menggantikan satu sama lain, tetapi sang kakek terus menulis. Ia selalu menyesuaikan tulisannya dengan perubahan bentuk tulisan yang ada, walaupun sang kakek kadang tidak merasakan perubahan bentuk aksaranya tersebut. Ia hanya mengalir saja dengan bentuk tulisan dan gaya, ragam, beserta corak bahasa yang ada pada zamannya. Tentu saja, sang kakek terkadang tidak merasakan perubahan kosa kata dan gaya bahasa yang dialaminya sepanjang hidup. Namun karena perlu berkomunikasi dengan sesamanya, ia selalu menyesuaikan diri dengan gaya bahasa yang sedang dianut saat itu. Pendeknya sang kakek dapat menyesuaikan diri dengan generasi yang paling muda, bahkan hingga saat ini.
Setelah catatannya terkumpul menjadi banyak sekali, suatu kali sang kakek ingin membaca kembali catatan-catatan hariannya. Namun, alangkah terkejutnya sang kakek, ternyata ia sudah tidak bisa membaca lagi catatan-catatannya yang terdahulu. Ia sudah melupakan makna guratan-guratan yang pernah ditulisnya sendiri, apalagi catatan pada tulang yang usianya sudah 5.000 tahun, yakni mendekati masa sang kakek mulai belajar menulis dahulu. Ia ingin membaca catatannya tentang Raja Chou Wenwang, salah satu tokoh yang pernah menjadi idolanya dulu. Namun waktu membuka epik karyanya mengenai tokoh tersebut, sang kakek juga merasa kesulitan mengenali hurufnya, padahal ia sendiri yang menulisnya. Sang kakek merasa pusing tujuh keliling. Jika sanggup mengingat sedikit-sedikit makna hurufnya, sang kakek lupa bagaimana melafalkannya karena pelafalan itu terus berubah sepanjang zaman, juga maknanya barangkali sudah berbeda dengan masa sekarang.
Tiba-tiba sang kakek, teringat pada saudaranya, yang pernah berikrar akan menyembunyikan diri selama-lamanya dan menjauhkan diri dari urusan duniawi, selama berlangsungnya penindasan terhadap kaum terpelajar oleh Kaisar Qin Shihuang. Waktu itu, menyaksikan kacaunya dunia, saudaranya lantas menyembunyikan diri ke suatu tempat rahasia dan berikrar tak mau berjumpa manusia lagi, kecuali sang kakek itu selaku saudaranya.
Saudaranya itu juga memiliki usia yang sangat panjang dan pastilah ia saat ini masih hidup, sehingga sang kakek lantas berkeinginan mengunjungi saudaranya dan memperbincangkan mengenai bahasa dan aksara-aksara lama. Sewaktu berjumpa dengan saudaranya di tempat rahasia, ternyata mereka juga tidak bisa berkomunikasi. Seolah-olah mereka berbicara dalam dua bahasa yang berbeda.
Sang kakek merasa putus asa. Kira-kira apakah yang harus dilakukan oleh kakek itu? Adakah di antara kalian yang dapat membantunya.
Ivan Taniputera
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa