Gambar : Kirab Cap Go Meh 2012 di Po An Tian Pekalongan
Abstrak
Budaya-Tionghoa.Net|Etnis Tionghoa sudah mengenal bumi Nusantara dan berinteraksi sejak sebelum Masehi, hal ini bisa dilacak pada Kronik Han bab “Catatan Geografis” (漢書地理志 ). Interaksi berjalan baik hingga terjadi gonjang-ganjing politik yang menyebabkan terjadinya pelarangan baik langsung maupun tidak langsung terhadap tradisi Tionghoa yang dituangkan dalam Inpres 14 tahun 1967. Larangan itu berlangsung selama 32 tahun atau satu generasi yang mengakibatkan terjadinya amnesia budaya pada banyak kalangan Tionghoa. Sejak memasuki masa reformasi, larangan itu tidak berlaku lagi dan terjadi euphoria di kalangan Tionghoa terutama dengan perayaan Imlek dan Capgome di banyak tempat di wilayah Indonesia.
Untuk memahami lebih mendalam, saya setuju dengan Ernst Cassier yang mengatakan “ kita harus menggunakan semua metode baik intropeksi, observasi, maupun penyelidikan historis”[1]. Pembahasan Capgome pada umumnya di Indonesia ini sering dikaitkan pada aspek budaya, amat jarang yang mengkaitkan dari segi aspek religiousitas, ini bisa berarti pengurangan makna itu. Karena itu dalam tulisan ini sedikit diulas aspek historisnya dan berharap pembaca bisa lebih memahami.
Tulisan ini berupaya mengkaji pengertian Capgome dan peranannya dalam budaya serta sebagai identitas etnis dan dalam tulisan ini lebih membahas pada pengertian dan makna yang terkadung pada prosesi Capgome serta fenomenanya yang mengandung makna pembelajaran moralitas yang terkandung dalam pernik-pernik pembungkusnya.
Pengertian Budaya
Secara etimologis, kata budaya berasal dari buddhayah yang artinya berakal budi dan berluhur tinggi, tentunya berbeda dengan pengertian culture yang secara etimologis colore yang berarti mengolah tanah[2], dimana ini mengandung arti gaya hidup pengolahan tanah. Budaya menurut Andreas Eppink[3] adalah keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta struktur-struktur kemasyarakatan, keagamaan ,penghasilan seni dan intelektual yang membentuk ciri-ciri khas sesebuah masyarakat.
Peradaban dalam bahasa Tionghoa disebut wenhua [文化], secara etimologi dari dua kata yaitu wen [文] dan hua [化], dimana wen [文] adalah : “ pergabungan yang kompleks membentuk guratan-guratan atau gambar yang nampak” atau dengan kata lain bahasa, fenomena, penampakan. Arti hua [化] adalah : berubah, melebur. Pengertian budaya ini sudah dicatat dalam Zhou Yi [周易][4] bab Bigua [賁[5]卦] . “Sistem peradaban, adalah fenomena manusia. Mengamati mempelajari langit untuk memeriksa perubahan cuaca, mengamati mempelajari fenomena manusia untuk mengubahnya( menjadi lebih baik ) ke seluruh dunia” (文明[6]以止,人文也. 觀乎天文以察时變,觀乎人文以化成天下”[7] ). Dengan pengertian ini maka wenhua [文化] memiliki makna “humanistic education” [人文教化] seperti yang dituliskan oleh Cicero. Menurut Kong Pinda 孔頻達 pada dinasti Tang di buku Zhouyi Zhengyi 周易正義 ( Catatan Komentar Yi Jing ), dalam penjelasannya ada dua macam pengertian, pertama adalah mengacu pada kitab dan buku, dimana kitab yang diacu ada kitab yang mengatur norma masyarakat ; satunya lagi adalah pada kebiasaan dan tradisi masyarakat.
Budaya mengandung 2 komponen utama yaitu yang terlihat, perceptual ( realitas ), material (tangible culture ), bisa berupa : bangunan/arsitektur, lukisan, makanan, pakaian dll. Sedangkan yang tidak terlihat, konseptual ( abstrak/idea), non-material ( intangible culture ) berupa : sistem norma, bahasa, sistem sosial, pengetahuan, sastra, spiritual religiusitas dll .Dan memiliki 3 landasan yaitu : ideas [思想精神], norms[ 规范制度], material culture [物质].
Capgome sebagai bagian dari “Temple Fair”
Capgome sering ditulis merupakan jieri 節日 atau festival.Pada awalnya pengertian jieri 節日 bukanlah festival atau hari untuk merayakan sesuatu tapi, tapi merupakan perpaduan tahun, bulan, hari dan perubahan cuaca yang disusun menjadi dasar dari jie qi節氣[8] ( satuan dwi mingguan )[9]. Ini memang patut dimengerti karena pertanian adalah salah satu yang mendasari budaya Tionghoa dan memerlukan system penanggalan yang tepat agar pertanian bisa berjalan dengan baik, maka sesuai dengan kondisi alam dan perubahan-perubahan cuacanya.
Pengertian Cap Gome [十五冥] adalah hari ke 15 setelah Imlek adalah yang merayakan Tianguan, penguasa Langit dan merupakan rangkaian dari 3 hari penting utama yaitu : Shang Yuan 上元, penguasa Langit memberikan berkah ( 天官賜福 ) ; Zhong Yuan 中元, penguasa Bumi penghapus dosa ( 地官贖罪 ) dan terakhir adalah Xia Yuan 下元 , penguasa Air menghapus bencana ( 水官解厄 )[10]. Pada umumnya Capgome berarti adalah hari penutupan tahun baru dan biasanya dirayakan dengan meriah, baik melalui prosesi budaya maupun prosesi religius. Tiga rangkaian ini mengandung makna spiritual religious yaitu : pemberian berkah, penghapusan dosa dan penolak bencana yang saling terkait tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Pada umumnya kegiatan ini dilaksanakan di kelenteng, baik yang bernuansa Buddhisme, Taoisme maupun Ruisme, selain dirayakan dengan khidmat juga dengan meriah.
Adapun perayaan yang kita lihat pada Capgome adalah prosesi gotong Toapekong atau dalam bahasa Tionghoa memiliki banyak sebutan seperti : ying wang 迎尫 , kang wang 扛尫, zou wang走尫, pao wang 跑尫, you jing 遊境, xunjing 巡境 dan secara umum di Indonesia disebut sama yaitu : ‘gotong toapekong’. Berdasarkan kamus Shuowen arti kata wang adalah orang yang kakinya pincang, lemah dan memiliki satu arti lain adalah dukun perempuan [ wu巫], sekarang ini kata wang 尫 jarang digunakan lagi dan arti umum adalah orang yang catat atau pincang, padahal dahulunya memiliki makna yang beragam dan hingga kini juga masih beragam pada dialek-dialek tertentu.
Pada umumnya di Indonesia, mayoritas masyarakat Tionghoa berasal dari Minnan[11], sehingga sering terjadi salah kaprah yang beranggapan bahwa kata Wang ini hanya ada dalam bahasa Minnan, padahal istilah wang ini juga dikenal di dialek selatan lainnya, maknanya adalah dewata, patung dewata, suami ( bahasa Minnan ). Wang 尫 dalam pengertian lainnya adalah medium penghubung antara manusia dengan alam lain, Pada jaman dahulu masa dinasti Xia, Shang dan Zhou, mereka yang cacat disebut wang ( 尫 ) dan ada yang dijadikan sebagai medium, tradisi ini masih ada di Taiwan dengan sebutan wang yi 尪姨[12].
Di atas kita bisa melihat beberapa sebutan untuk gotong toapekong, untuk itu kita harus melihat ada beberapa pengertian, kata ying 迎 artinya menyambut, bisa diartikan menyambut wang 尫, dari segi pengertian bahasa ini menunjukkan adanya kegiatan menyambut kedatangan “dewata” di kalangan umatnya, bisa dengan membuka altar, atau kelenteng pusat sebagai pelaksana menerima kedatangan para “dewata” dari kelenteng lain. Kang wang扛尫 artinya menggotong “dewata”, paowang跑尫dan zouwang 走尫 memiliki arti “dewata”nya diarak. Sedangkan youjing 遊境dan xunjing 巡境 lebih ke arah makna “inspeksi”.
Gambar 1” menyambut dewata” 迎尫
Gambar 2 “Menggotong Dewata” 扛尫
Dari keterangan di atas kita bisa melihat nuansa religious yang memiliki kata-kata yang berbeda tapi memiliki kesamaan yang mendasar, sebenarnya memiliki makna-makna yang sama, yaitu : penyatuan , inspeksi dan keharmonisan alam. Zhang Xun 張旬[13] dalam penelitiannya kepercayaan Mazu 媽祖[14] di Taiwan mengatakan bahwa tradisi prosesi Mazu di Taiwan mengandung dua aspek penting yaitu : pertama adalah penyatuan kekuatan ( unifying forces ) dan kedua adalah membangun kembali komunitas ( rebuild community ). Menurut saya, pandangan Zhang Xun juga bisa diterapkan pada berbagai prosesi lain yang ada dalam banyak kegiatan gotong Toapekong. Saya melihat banyak kegiatan gotong Toapekong dan mencoba membuat aspek-aspek yang menjadi landasan gotong Toapekong terutama di Indonesia, dimana antara lain adalah sebagai berikut :
1) Unifying forces : konsep yingxiang 迎香 jinxiang 進香[15]( menyambut dupa dan membawa dupa ), dimana dapat dikatakan merupakan cloning kebudayaan[16], dalam hal ini adalah “cloning kekuatan transenden” yang dibagi-bagi dan disatukan kembali pada saat-saat tertentu.
2) Rebuild community:system kelenteng anak cucu/kecil mengunjungi kelenteng pusat/tua dimana keterkotakkan akan kembali menjadi utuh, masyarakat yang lelah dalam hidup dan terpisah-pisah menjadi melebur dalam satu festival dan perayaan ini yang selain bersifat profane juga bersifat sacred yang melebur ke dalam satu kegiatan pesta rakyat tapi bernuansa spiritual.
3) Metafora (lukisan yg berdasarkan persamaan atau perbandingan) inspeksi pejabat tinggi yang mendengarkan keluhan-keluhan masyarakat, dimana dalam Capgome ini adalah kekuatan transenden yang dihadirkan sebagai wujud kontrol terhadap pejabat manusia yang bisa jadi tidak mendengarkan keluhan dan memperhatikan rakyat. Selain itu juga metafora peristiwa-peristiwa penting seperti Gedung Batu (Sampo tong) Semarang dan Taikak Sie yang mengenang terjadinya peristiwa penutupan jalan dan pemungutan pajak tol bagi mereka yang ingin merayakan kegiatan religious.
4) Lepasnya batasan : sacred profane dilenyapkan pada saat prosesi berjalan ( karena ada ruang utk hiburan seperti misalnya tari-tarian)
5) Terimakasih : rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Penguasa Langit dan menutup perayaan imlek (pada saat Capgome).
6) Penyatuan aku dan DIA /keluar dan intropeksi diri : menset altar menyambut dan saat menggotong, intropeksi adalah saat pejabat memberikan penghormatan atau sembahyang di altar.
7) Menghadirkan kekuatan transenden di antara umat. Di saat itu dewata melakukan purifikasi dan selain dalam sembahyang keseharian, umat bisa mengadukan keluhannya termasuk mengadukan perilaku “pejabat dunia” yang menyimpang dan memohonkan keadilan.
Catatan Kaki :
[1] Ernst Cassier,” Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia”, hal.105,1987, Jakarta : PT Gramedia
[2] Sandi Suwandi Hasan, “Pengantar Cultural Studies”, hal.14, 2011, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
[3] Andreas Eppink , http://montaignehouse.blogspot.com.es/ dan http://www.linkedin.com/profile/view?id=198557967&authType=NAME_SEARCH&authToken=oB8S&locale=nl_NL&srchid=5243acde-fa1d-4d24-ae66-78aead7ede0a-
[4] Menurut legenda, Fu Xi menciptakan hexagram (bagua ), kemudian dari bagua ini oleh Ji Chang dibuat keterangan dan penambahan menjadi 64 trigram. Kong Zi memberikan anotasi dan kompilasi Zhou Yi, Zhou Yi ini disebut juga Yijing 易經 ( kitab perubahan ) dan dijuluki “pemimpin dari semua kitab” ( 群經之首 ). Selain berfungsi untuk peramalan, kitab ini juga mengandung nilai filosofi yang tinggi.
[5] Menurut kamus Shuowen 說文 arti bi賁 adalah ornament shi飾
[6] Wenming bisa diartikan masyarakat yang memiliki system regulasi dan etika ritual.
[7] He Huazhang 賀華章, “Ensiklopedia Bergambar ZhouYi 圖解周易大全”, hal.233, 2010, Xi An : Shan Xi Normal University publisher 陝西師範大學出版社.
[8] Jieqi 節氣 : hari dimana garis edar matahari yang disesuaikan dengan garis edar bulan yang bertujuan menjaga kalender pertanian tetap sesuai dengan kondisi musim
[9] Wu Zude 吳祖德, “ 300 Soal Sejarah Budaya Tiongkok” ( 中國文化史 300 題 ), hal.404, ed.6 tahun 2004, Shanghai : Shanghai Classic Book Publisher 上海古籍出版
[10] Secara umum disebut Sanguan Dadi 三官大帝 atau “Raja Penguasa Tiga Alam” di kepercayaan purba dan kemudian diserap oleh Taoisme awal sebagai salah satu dewata utama mereka. Membagi satu tahun menjadi 3 bagian yang menjadi perayaan utama, yaitu pada tanggal 15 bulan 1 Imlek, tanggal 15 bulan tujuh Imlek dan tanggal 15 bulan 10 Imlek, disebut San Yuan atau tiga asali dan dibagi menjadi tiga yaitu : Yuan atas 上元, Yuan tengah 中元 dan Yuan bawah 下元.
[11] Minnan 閩南 adalah sebutan untuk daerah dan komunitasnya di wilayah Fujian Selatan.
[12] Wang yi 尪姨 adalah medium penghubung antara manusia dengan alam lain termasuk alam kematian, bisa dengan memanggil roh dari alam kematian dengan menggunakan tubuh si medium sebagai sarana komunikasi. dimana pada umumnya mereka yang menjadi medium itu adalah perempuan, hidup dalam kemiskinan bahkan ada beberapa yang memiliki kekurangan dalam fisiknya walau itu bukan menjadi satu patokan.
[13] Prof.Zhang Xun menjabat professor pengajar antropologi di Taiwan University. Mendapat gelar Ph.D dari University ofCalifornia, Bekerley untuk bidang antropologi pada tahun 1993.
[14] Mazu atau Tianshang Shengmu 天上聖母 adalah dewi yang populer di Taiwan, di sepanjang pesisir pantai Timur Tiongkok dan di banyak tempat lain di komunitas Tionghoa. Beliau adalah dewi pelindung pelayaran dan pada perkembangannya meluas fungsinya sebagai dewi yang amat luas kekuasaannya dan kemampuannya.
[15] Pada umumnya ada yang disebut kelenteng pusat yang mana memiliki kelenteng “turunan” dan kelenteng “turunan” itu biasanya mengambil abu dari kelenteng pusat atau merasa kekuatannya berasal dari kelenteng pusat. Dalam beberapa kasus, seringkali mengacu kelenteng yang tertua atau yang disegani. Misalnya kelenteng Kwan Kong di Tuban bisa disebut kelenteng pusat untuk Kwan Kong di pulau Jawa. Untuk mengenang kejadian itu sering kali kelenteng “turunan” membawa “dupa” ( dalam hal ini adalah patung dan pendupaannya ) untuk penyatuan kekuatan itu dan kelenteng yang dianggap pusat akan menerima abu yingxiang 迎香. Tapi bisa juga kelenteng yang merayakan prosesi gotong Toapekong itu menerima patung dewata yang sama dengan yang digotong, ini juga disebut “ menyambut dupa ” [jinxiang迎香 ]dan patung dewata yang datang itu sedang melakukan prosesi “membawa dupa” [ jin xiang 進香]
[16] Lih. Yasraf Amir Pilliang, “Posrealitas : Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika”, hal.123-126. Walau Yasraf mengkaitkan dengan globalisasi dan cloning kebudyaaan melalui Mc Donald, Disney Land, ada hal yang menarik saat dikatakan oleh Yasraf bahwa “cloning kebudayaan menjadi sebuah cara bagaimana kebudayaan mengembangkan dirinya melalui pembiakan tanda-tanda ( hal.124 ), membawa informasi genetika kebudayaan yang sama [ hal.126 ]. Dan saya beranggapan bahwa hal itu memiliki kemiripan dengan konsep “pemisahan dupa” [fenxiang 分香] yang memiliki makna abu dari satu kelenteng diambil oleh orang lain untuk dijadikan obyek ritualnya.
Oleh :
Ardian Cangianto & Stefanus Dominggus
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa