Budaya-Tionghoa.Net |Tanggal 20 Juni hingga tanggal 27 Juni 2013 saya bersama teman-teman dari YDSP ( Yayasan Dana Sosial Pariangan ) Bandung, Maranatha, dan universitas Petra yang juga turut disponsori oleh Confucius Institute mengunjungi Sumenep dalam rangka penelitian dan pembuatan film dokumenter. Saya melihat ada banyak hal-hal yang menarik dari hasil perjalanan ini dan dituangkan dalam tulisan bebas.
Dungkek adalah nama sebuah kecamatan di ujung timur pulau Madura yang masuk dalam kabupaten Sumenep. Dungkek memiliki pelabuhan untuk nelayan dan sebagai penghubung dengan pulau-pulau lainnya seperti pulau Sepudi, Raas. Salah satu hasil bumi Dungkek adalah gula siwalan yang seperti gula aren tapi dengan tekstur lebih lembut dan rasa manisnya yang bagus, dimana gula siwalan itu merupakan salah satu bahan untuk kecap manis.
Dungkek menjadi perhatian karena adanya komunitas muslim Tionghoa dan mereka masih konsisten dengan istilah peranakan yang asli yaitu mereka yang memeluk agama Islam itu disebut peranakan dan ada yang melakukan kawin campur dengan penduduk setempat. Satu hal yang unik adalah mereka saat ditanya, tetap merasa sebagai Tionghoa bahkan istilah-istilah ngkong, dede, koko, ema, encim juga merupakan istilah yang digunakan hingga hari ini, termasuk juga di wilayah Pasongsongan, Legong. Di daerah tersebut ternyata ada kantong-kantong komunitas Tionghoa bahkan hingga ke pulau-pulau sekitarnya terutama di pulau Sepudi yang saya lihat dahulu ada puluhan keluarga Tionghoa terutama di makam-makam mereka. Umumnya mereka bermarga Kwee, Lim, Phoa dan Go walau ada marga lain seperti Tan dan Tjoa juga sempat saya lihat.
Asal muasal kata Dungkek ternyata memiliki dua versi, dari versi yang didapatkan di Sumenep, berdasarkan keterangan dari bapak Eddy Setiawan sebagai budayawan maupun bapak Seno selaku pengurus di kelenteng Sumenep dan bapak Imam selaku pengurus kelenteng Pamekasan, mereka mengatakan bahwa asal muasal kata Dungkek adalah ‘dong kek’ ( tongke 通客 ) atau tempat masuknya para pedatang dari Tiongkok ( sengkek新客 ).
Sedangkan dari penuturan orang Tionghoa di Dungkek yang sempat diwawancarai antara lain adalah haji Gaffar dan haji Iman mengatakan bahwa arti Dungkek adalah ‘madung singkek’ yang mengandung arti ‘ singkek yang menggali batu’ atau juga ‘dudung singkek’. Berdasarkan penuturan haji Iman, marga Tjoalah yang pertama datang di abad ke 18 sebagai tukang batu untuk menggali batu dan memahat batu yang digunakan sebagai bahan bangunan untuk gapura masjid jamik Sumenep yang dibangun pada tahun 1779 dan juga keraton Sumenep yang dibangun pada tahun 1781. Kebutuhan akan batu sebagai bahan bangunan harus dipenuhi dan saya beranggapan bahwa harus bisa didapat dan ternyata tanah di Sumenep dan Dungkek adalah tanah cadas.
Atas prakarsa saya, saya dengan dua teman yaitu bapak Agis dan bapak Aris mengunjungi kompleks pemakaman Tionghoa di Dungkek, sayangnya banyak batu nisan itu sudah tidak ada catatan sama sekali dan sekilas dilihat rata-rata pekuburan itu adalah awal abad 20 hingga akhir abad 20. Tapi sempat juga ada beberapa nisan yang menggunakan aksara mandarin dan penanggalan Confucius era[1] maupun republic era[2]. Di sana kami dan menemukan hal yang menarik di kompleks pekuburan itu, yaitu adanya lubang-lubang dalam dan terlihat bekas-bekas galian yang ditinggalkan dan beberapa sudah ditumbuhi oleh tumbuhan-tumbuhan. Saya menanyakan pada bapak Santoso selaku penunjuk jalan tentang lubang-lubang itu, katanya itu adalah tempat pertapaan. Jujur saya tidak percaya jadi saya turun ke 1 lubang terbesar untuk bisa langsung melihat dan tidak terlihat sebagai tempat pertapaan atau apapun yang terkait dengan hal itu. Spekulasi lubang itu sebagai tempat penampungan air juga dikesampingkan karena adanya undakan-undakan anak tangga. Karena sebelumnya sudah mendengar tuturan dari beberapa sesepuh Dungkek tentang tukang batu dari Tiongkok, lubang-lubang ini memiliki kemungkinan bahwa dahulunya adalah lubang galian untuk mengambil batu sebagai bahan bangunan untuk keraton dan masjid. Ketika kembali ke Dungkek, saya bertanya pada haji Iman dan beliau mengatakan bahwa lubang-lubang itu adalah sisa-sisa penggalian pada jaman dahulu bahkan di atasnya masih ada beberapa lubang.
Jika apa yang dikatakan oleh penduduk Dungkek, maka lubang-lubang bekas galian itu bisa semakin mengukukuhkan asal muasal kata Dungkek adalah ‘madung singkek’ yang berarti para pendatang dari Tiongkok menjadi pengrajin dan penggali batu yang digunakan untuk membangun keraton dan masjid di Sumenep.
Sayangnya penelitian kami itu tidak bertujuan menggali asal muasal Dungkek, jadi hal yang saya temukan di kompleks pemakaman dan juga waktu yang terbatas sehingga kemungkinan asal kata Dungkek adalah tukang batu dari Tiongkok tidak bisa dikaji lebih mendalam, seperti misalnya dengan mengkaji batu-batu apa yang digunakan untuk pembangunan masjid serta keraton Sumenep maupun hal-hal lainnya yang lebih mendetail. Semoga saya memiliki kesempatan lagi untuk menjelajahi kompleks pekuburan Tionghoa di Dungkek.
Figure 1 lubang dari bawah
Figure 2 lubang galian
Daftar situs internet :
http://bagianjawatimur.blogspot.com/2010/08/masjid-jami-sumenep-madura.html#ixzz1c3olhSmD
[1] Penanggalan berdasarkan dari tahun kelahiran Confucius yang biasa digunakan oleh beberapa penganut Confuciusm terutama di daerah Asia Tenggara. Penanggalan ini mulai dipakai pada akhir abad 19 dan digagas oleh Kang Youwei selaku reformis Confuciusm dan system kalendernya berdasarkan system kalender tionghoa yang berbasis pada system luni solar
[2] Republic era adalah system tahun penanggalan berdasarkan berdirinya republic Tiongkok pada tahun 1911 dan menggunakan system kalender greogorian
Oleh : Ardian Cangianto
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa