Mo Zi (墨子) 468-376 SM
Budaya-Tionghoa.Net|Pencetus ajaran Mo (墨家思想). Konon sebelumnya pernah mempelajari ajaran Ru, baru kemudian mencetuskan pemikirannya sendiri, termasuk pemikiran yang menentang ajaran Ru. Salah satunya dalam Fei Ru (非儒), yang sebenarnya terdiri dari 2 bagian, namun bagian pertamanya telah hilang. Berikut ini adalah bagian ke-dua. Banyak “rumor” dan “analisa” mengenai Fei Ru ini. Ada yang berteori, Mo Zi sebenarnya hanya memprotes kaum Ru (murid-murid Kong Zi) pada saat itu, namun tidak memprotes Kong Zi. Ada juga yang mengatakan, Fei Ru ini sebenarnya bukanlah ajaran asli Mo Zi. Namun hal-hal tersebut juga belum terbukti 100% alias baru pemikiran orang-orang saja.
Mozi – Fei Ru Bagian Ke-dua :
Kaum Ru berkata: “Mencintai kerabat harus ada bedanya, menghormati orang bijak juga ada bedanya.” Maksudnya adalah adanya perbedaan hubungan yang dekat dan yang jauh, derajat yang lebih terhormat dan yang lebih rendah. Dalam Yi Li tertulis: Masa berduka untuk orang tua adalah 3 tahun, untuk istri dan putra sulung juga 3 tahun; untuk paman (dari ayah), saudara, dan anak dari selir/gundik 1 tahun; untuk kerabat dari marga lain 5 bulan. Jika menggunakan jauh dekatnya hubungan untuk menentukan masa berduka, maka istri dan anak sulung dianggap sama dengan ayah. Jika menggunakan lebih terhormat dan lebih rendahnya derajat untuk menentukan masa berduka, maka istri dan putra sulung dianggap sama terhormat derajatnya dengan orang tua; lalu paman, kakak dan anak dari selir/gundik dianggap sederajat. Apakah layak kurang ajar seperti ini?
Orang tua mereka meninggal, jenasahnya diletakkan, tidak segera diberi pakaian dan dimasukkan ke peti. Malah mencari di rumah, mengintip ke dalam sumur, merogoh lubang tikus, memanggil arwah orang yang sudah meninggal, dikiranya masih ada, sungguh konyol sekali. Jika tidak ada, juga tetap harus diminta, sungguh palsu sekali.
Saat menikah, harus pergi sendiri menjemput istri, dengan mengenakan pakaian bawahan hitam dan mengendarai kereta, menggenggam tali kekang, kemudian talinya diberikan kepada istri seperti sedang melayani ayah. Ritual upacara pernikahan seperti sedang sembahyang kepada dewa. Menjungkirbalikkan yang tinggi dan yang rendah, melawan orang tua, menjadi sejajar dengan istri. Meninggikan derajat istri dan melayani orang tua dengan cara seperti ini, apakah bisa dikatakan berbakti? Orang Ru saat mengambil istri (menikah) katanya, “Istri harus melakukan upacara sembahyang, anak harus menjaga kuil leluhur, maka harus dihormati.”
Seharusnya dijawab, “Itu bohong! Kakaknya juga menjaga kuil leluhur selama puluhan tahun, kemudian meninggal, masa berkabungnya hanya 1 tahun. Istri saudaranya juga menyembahyangi leluhurnya, tapi kalau meninggal, tidak berkabung untuknya. Sedangkan untuk istri dan anak sendiri, berkabung 3 tahun, pasti bukan karena alasan menyembayangi leluhur.” Memberikan perlakuan khusus pada istri dan anak hingga berkabung 3 tahun, bisa dikatakan, “Ini namanya mementingkan keluarga.” Tapi bukankah ini memberikan lebih pada orang yang lebih disayangi dan menyepelekan orang yang lebih penting, apakah bukan penipu namanya?
Selain itu juga bersikeras tentang “ada takdir”, dan berkata, “Umur panjang dan pendek, hidup miskin dan kaya, dunia kacau dan damai, semua ada takdirnya, tidak dapat dikurangi atau ditambah. Hadiah dan hukuman, keberuntungan dan kesialan, semua adalah hitungan dari langit. Pengetahuan dan kekuatan manusia tidak bisa berbuat apa-apa.” Pejabat yang mempercayai hal ini akan menjadi malas mengerjakan tanggung jawabnya. Rakyat yang mempercayai hal ini akan menjadi malas bekerja. Pejabat tidak mengurus negara, maka negara akan kacau. Petani tidak rajin bekerja, maka akan menjadi miskin. Miskin dan kacau, sama sekali berlawanan dengan tujuan pemerintahan dan pengaturan. Orang-orang Ru menganggapnya sebagai ajaran, padahal ini mencelakakan dunia.
Menggunakan ritual yang rumit untuk membingungkan orang, berduka dan berpura-pura bersedih dalam waktu yang lama untuk menipu orang tua yang telah meninggal. Menciptakan teori tentang “takdir”, membuat orang sudah puas walaupun miskin. Orang tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, dan bermalas-malasan dengan tenang. Rakus makan dan minum, malas bekerja, beresiko bisa terjebak kelaparan dan kedinginan. Seperti pengemis, seperti tikus yang mencuri dan menyimpan makanan, seperti kambing jantan yang serakah, melompat-lompat seperti babi dikebiri. Kalau ditertawakan oleh junzi, mereka akan bilang: “Orang biasa bagaimana bisa memahami kaum Ru yang baik?!” Di musim panas mengemis, makan gandum dan padi, menunggu hingga 5 macam bahan pangan sudah lengkap, lalu pergi ke tempat orang yang sedang mengadakan upacara kematian. Anak cucu semua ikut, makan dan minum sepuasnya. Cukup ikut beberapa kali upacara kematian, maka sudah cukup (mendapat makan). Mengandalkan orang lain untuk jadi terhormat, mengandalkan hasil sawah orang lain untuk jadi kaya. Kalau ada orang kaya yang mengadakan upacara kematian, mereka akan sangat senang, katanya, “Inilah sumber makan & pakaian!”
Kaum Ru bilang, “Junzi harus mengucapkan kata-kata kuno dan berpakaian seperti orang kuno, baru dapat dibilang orang bajik”. Seharusnya dijawab, “Yang disebut dengan kata-kata kuno dan pakaian kuno itu semuanya pernah menjadi baru pada jamannya. Orang kuno mengatakannya dan mengenakannya, apakah berarti bukan junzi? Lalu kenapa harus mengucapkan kata-kata orang yang bukan junzi, mengenakan pakaian orang yang bukan junzi, baru dapat menjadi orang bajik?”
Mereka (kaum Ru) berkata lagi, “Junzi hanya mengikuti apa yang dilakukan orang kuno dan tidak perlu menciptakan yang baru.” Jawab saja pada mereka, “Pada jaman kuno, Hou Yi menciptakan panah, Ji 伃 menciptakan jubah perang, Xi Zhong menciptakan kereta, Qiao Chui menciptakan perahu. Kalau begitu, maka tukang sepatu, pembuat jubah perang, tukang kereta, dan tukang kayu semuanya junzi. Sedangkan Hou Yi, Ji 伃, Xi Zhong, dan Qiao Chui, semuanya adalah xiaoren?”
Mereka (kaum Ru) berkata, “Junzi setelah menang perang tidak mengejar prajurit musuh yang sudah lari, menarik busur tetapi tidak memanah mereka, jika kereta musuh terperangkap maka bantu mereka mendorongnya.” Jawablah kepadanya, “Jika kedua belah pihak adalah orang bajik, maka tidak mungkin saling berperang. Orang bajik akan membahas masalah dengan logika dan alasan, yang tidak beralasan/berlogika mengikuti yang beralasan/berlogika, yang tidak tahu mengikuti yang tahu. Jika tidak bisa mengemukakan alasan, maka seharusnya tunduk; jika melihat yang baik, maka harusnya mengikuti. Kalau begini, bagaimana mungkin bisa berperang? Dan jika kedua belah pihak adalah orang kasar/jahat, maka walaupun yang menang lalu tidak mengejar musuh, menarik busur tidak memanah, membantu mendorong kereta musuh yang terperangkap, tetap saja tidak bisa menjadi junzi, tetap saja orang kasar/jahat. Pemimpin suci/bijak berperang membasmi kejahatan untuk menolong dunia, jika sudah menang lalu menggunakan ajaran Ru dan berkata pada anak buahnya, ‘Jangan kejar yang sudah lari, tarik busur jangan dipanah, jika keretanya terjebak bantu mendorong’, maka dengan demikian penjahatnya akan lolos lagi, kejahatan tidak dimusnahkan, tetap akan mencelakakan masyarakat. Tidak ada perbuatan yang lebih tidak berbudi daripada ini!”