Budaya-Tionghoa.Net |Big Breasts and Wide Hips bercerita tentang sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan kedelapan anaknya. Nyaris semua anak didapat dari laki-laki berbeda, bukan dari benih suaminya, baik karena diperkosa pun menyerahkan diri. Sedangkan suaminya sendiri adalah si mandul yang hanya dapat menyalahkan sang istri atas kemandulannya dan anak-anak yang tujuh di antaranya adalah perempuan.
Gelombang perubahan antara dinasti dengan pendirian republik di China memporak-porandakan mereka. Memisahkan anak-anak dari satu ibu kepada laki-laki yang mereka pilih sendiri sebagai suami ke pihak yang saling bermusuhan. Akhirnya anak-anak mereka menjadi korban. Terpisah dari orangtua, ikut dengan sang nenek dan si Anak Bungsu, Sangguan Jintong.
Secara instrinsik, novel ini menyuguhkan cerita tentang kaum miskin di abad-abad penuh gejolak perang. Dari kedatangan dan kependudukan Jepang sampai kekalahannya juga gejolak antara kaum Kapitalis dengan kaum Komunis. Sang ibu terjepit di antara dua kaum oleh karena para mantunya.
Situasi yang terjadi di masa itu tergambar dengan baik (seandainya ditunjang dengan penerjemahan yang lebih baik lagi) dan masalah kebenarannya tentu harus melihat buku-buku sejarah yang pastinya makan cukup waktu. Jadi aku memilih tidak menyentuh sisi ini sebelum membaca sejarah China zaman itu secara lengkap.
Mungkin karena ditulis oleh seorang laki-laki dengan sudut pandang seorang anak laki yang menderita kelainan, fisik seorang perempuan digambarkan dengan sangat mendetail di novel ini. Tidak rekomended bagi yang berotak ‘cupet’!
Dikisahkan, baik ibu dan keenam anak perempuannya bertubuh perempuan sempurna. Dada yang menonjol, pinggang ramping dan pantat yang bulat. Sang ibu dibesarkan oleh bibi dan pamannya dimana sang bibi memiliki kaki yang diikat bagaikan bunga lotus. Demikian juga kaki sang Ibu, sempurna di mata masyarakat di zamannya. Sayang, ketika ia siap menikah, revolusi dimulai. Sebuah masa ketika kaki seperti itu dianggap penindasan terhadap perempuan. Tak ada yang menikahinya selain seorang petani miskin bermarga Shangguan. Akhirnya, masa-masa keemasan dimana ia dimanja berakhir sudah.
Mertuanya begitu kejam. Demikian pula sang suami. Ia berjuang melahirkan anak dan langsung disuruh bekerja tanpa ada kesempatan istirahat. Hal ini terjadi karena dia tak kunjung beranak yang dianggap oleh sang mertua dan suami mandul. Menantu mandul tak ada artinya di mata mereka. Kemudian, ketika akhirnya mendapat anak karena diperkosa oleh pamannya sendiri, anak itu seorang perempuan, yang dipandang oleh budaya China tak sebaik anak laki-laki karena dapat meneruskan silsilah keluarga. Demikian pula ketika anak-anak berikutnya lahir dan lagi-lagi seorang perempuan.
Kemudian, dari hasil perselingkuhannya dengan seorang pastur dari Jerman, didapatnya sepasang anak kembar. Seorang bayi perempuan buta dan seorang bayi laki-laki yang ketergantungan pada payudara. Bayi laki-laki inilah yang menjadi pembicara di novel ini. Pada masa kelahiran mereka iitulah, Jepang menyerbu China dan bisa dikatakan meluluhlantakan perekonomian desa tempat mereka tinggal. Setiap hari yang dikonsumsi mereka hanya jemawut atau ubi yang ditemukan di jalan. Atau ikan kecil kekurangan gizi di sungai atau burung dan kelinci liar.
Kehidupan yang kacau dan langkanya bahan pangan, si Anak ke Enam dijual. Pembelinya adalah seorang Rusia. Lalu, di saat yang hanya berbeda hari, Anak ke Empat menjual dirinya sendiri sebagai pelacur karena penyakit sang Ibu.
Peperangan dan pergantian kekuasaan antara pendukung Sun dan Mao menjadi fokus latar pada novel ini. Konflik perang semakin mencuat karena para mantu berasal dari kelompok berbeda. Si Anak Pertama misalnya, bersuamikan dengan pejuang China yang membelot ke Jepang. Kemudian yang ke Dua bersuamikan Komandan Anti Jepang. Dan ada pula yang menikah dengan pejabat dari partai Komunis bahkan sampai Pilot Pembom Amerika pun ada yang menjadi mantu si Ibu.
Pada satu bagian, diceritakan karena perang mereka harus meninggalkan kampung halaman, berbondong-bondong bersama penghuni desa yang tersisa ke arah Utara. Kampung mereka menjadi lahan peperangan. Bom berjatuhan dan memakan korban dua cucu si ibu.
Pemilihan latar di masa ini memang menarik. Di masa seperti ini mudah menemukan point interest dan tentu saja kekacauan akibat perang, cepat menghasilkan empati pembacanya. Terlebih penulis menuliskannya dengan demikian mendetail seperti yang dilakukan Mo Yan.
Secara budaya, tak banyak yang disorot di sini. Seingat saya hanya tiga hal. Pertama adalah ikat kaki. Kedua status mantu perempuan yang demikian rendah karena tak juga memiliki anak. Dan terakhir, tradisi desa itu yang dinamakan ‘pangeran salju’ dimana seorang anak terpilih oleh pendeta diarak dalam sunyi untuk memberkati pasar senyap dan perempuan yang ingin punya anak dengan menyentuh dada mereka. Entah yang terakhir ini benar-benar ada atau rekayasa sang pengarang.
Secara ekstrinsik, entah versi aslinya, di versi terjemahan ini saya terganggu dengan panjangnya kalimat yang bisa mencapai lebih dari 40 kata. Sebuah kalimat berisi kalimat induk dengan beberapa anak kalimat yang tampaknya bisa berdiri sendiri sebagai kalimat lain. Kalimat tersebut terasa berputar-putar tanpa ujung. Misalnya di halaman 409 “Kebalikan dengan para penduduk desa yang cemas dan duduk di dekat kami, Ibu luar biasa tenang, pikirannya seakan tererap oleh lembaran-lembaran rami di atas betisnya yang terbuka, yang dianyamnya menjadi sol sepatu.” Dan tentunya masih banyak yang lebih panjang dan ruwet darii kalimat ini. Panjangnya kalimat-kalimat dalam sebuah paragraf di mana paragrafnya sendiri bisa mencapai satu halaman sendiri membuat saya berulang kali hanya sekedar membaca cepat. Mungkin inilah resiko terjemahan yang bukan terjemahan bebas. Entah.
Oleh : Lia Zhang
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa