Orang asing yang baru sekali ke Indonesia sering kali kaget dan jengkel. Di mana-mana ditanya “sudah menikah?” oleh orang yang baru dikenal. Kalau dijawab “belum”, disergap pertanyaan “Mengapa belum?” Kalau dijawab sudah, segera digugat: “Di mana istri/suami kamu?” , disusul oleh pertanyaan berikutnya “Apakah sudah punya anak?”
Kalau diberi tahu pasangan mereka tidak ikut ke Indonesia, segera dibalas “Kok enggak ikut?” . Kalau diberi tahu mereka belum punya anak, “Mengapa belum?” . Kalaupun dikatakan sudah punya satu anak, muncul protes: “Kok cuma satu? Kenapa cuma satu?”
Orang asing itu tidak paham betapa ganas “status keluarga” dalam pembentukan identitas di Indonesia. Orang Indonesia sendiri sering tidak paham apa yang aneh dalam basa-basi. Ini bukan berarti orang Indonesia lebih mementingkan keluarga, orang Barat mementingkan individu. Di Indonesia status keluarga bisa menentukan status, kewibawaan, koneksi, dan mungkin juga kira-kira berapa isi dompet orang.
Kalau Anda ke Malaysia atau Singapura, bersiaplah ditanya berkali- kali apa etnisitas Anda. Sekali Anda menjawab dengan satu istilah, nyaris seluruh sosok kehidupan Anda sudah ditebak oleh sang penanya: lingkungan pergaulan anda, sekolah anda, selera makan dan pantangan anda, serta batas tertinggi prospek karier Anda.
Di Jepang, usia dan tempat kerja menjadi pertanyaan paling lazim dalam berkenalan. Identitas seseorang, martabatnya, gaji, dan jaminan masa depan sangat ditentukan oleh soal-soal itu. Di Banglades orang yang berkenalan malah lebih blak-blakan, “Berapa penghasilan kamu?”
Orang Barat tidak kurang dan tidak lebih “aneh”. Kalau sedang berkenalan, mereka lazim bertanya, “Kamu kerja apa?” Kedengarannya santun, tapi ini eufemisme dari “Berapa gaji kamu?”
Biasanya yang bertanya tidak secara sadar dan sengaja tanya soal itu. Namun “pekerjaan” menentukan tingkat “harta”, dan keduanya merupakan sebagian identitas terpenting dalam masyarakat industrial kapital.
Bahasa tidak cuma menunjukkan bangsa. Ia juga bersaksi atas perubahan sejarah.
Di mana pun di dunia, ada pertanyaan basa-basi yang pernah “universal”, yakni “Anda dari mana?”. Pertanyaan ini mengungkapkan kegagapan masyarakat abad ke-20 menghadapi gempuran globalisasi.
Pertanyaan itu mengasumsikan ada kaitan erat antara identitas orang dan sebuah lokasi geografi. Seakan-akan di tempat A, semua orang lebih kurang punya identitas A.
Bajunya, bahasanya, seninya, makanannya, wataknya, semuanya serba A. Pemikiran seperti ini pernah menjadi dasar bangkitnya rasialisme. Juga dasar bagi bangkitnya konsep “bumiputra”, “pribumi”, dan “putra daerah”, selain “Asian values”.
Kebiasaan itu berasal dari satu zaman ketika sebagian besar orang lahir, besar, bekerja, menikah, mati dan dikubur di dusun yang sama.
Interaksi antarkelompok masyarakat sangat terbatas. Kalau ada yang merantau jauh, biasanya sementara, dan berusaha secepatnya pulang kampung halaman. Lalu mati dan dikuburkan di tempat yang sama nenek moyangnya lahir, besar, kawin, mati dan dikuburkan juga. Zaman itu sudah punah. Tapi angan-angan dan kebiasaan dari zaman itu masih tercecer sampai sekarang.
Globalisasi memungkinkan atau mengharuskan semakin banyak orang berpindah tempat dalam gelombang besar. Di tempat baru yang ditemui bukan penduduk “pribumi”, melainkan berbagai kumpulan perantau lain yang beraneka. Di situ semuanya tidak menetap sampai mati, tetapi berpindah-pindah lagi. Ikatan batin dan sosial orang dengan sebuah tempat berpijak serba sementara, sekuler, dan retak.
Kini yang bernama Abdullah tidak harus beragama apa pun. Tidak juga pasti berasal dari Asia Tengah atau Selatan. Ia bisa berkulit putih, berambut pirang, atau lahir di Shanghai. Belajar sastra Perancis di Jepang. Bercinta dengan Nona Liem yang kulitnya hitam, lahir di Toronto, dan ahli dalam masak-memasak pasta Italia. Mereka mengadopsi anak yang dinamai Sanjay dan kini belajar gamelan di Amsterdam.
Pertanyaan “Kamu dari mana?” jadi kedaluwarsa. Sebagai gantinya, “Kamu di mana?” menjadi norma baru yang mendunia.
Beberapa tahun lalu ketika telpon genggam masih langka, saya bersiap ke Bangkok. Seorang sahabat yang tinggal di Bangkok saya kontak lewat e-mail, dan saya tanya apakah bisa dijumpai. Ia memberikan nomor telponnya dan berpesan agar saya menelponnya setiba di kota itu.
Seminggu kemudian saya tiba di Bangkok dan menelponnya. Nomor yang diberikan tidak salah. Teman itu menjawab, tapi perjumpaan harus dibatalkan. Saat itu dia sedang di New York karena tugas mendadak.
Bagi generasi Internet dan SMS, “kamu di mana?” merupakan pertanyaan pembuka yang wajib dan rutin. Posisi geografis pemilik sebuah alamat e-mail atau nomor telepon tidak tetap dan tidak selalu mudah ditebak.
Sebuah percakapan hanya dilanjutkan hanya setelah posisi “di mana” menjadi jelas. Dan kisah berikutnya sangat ditentukan oleh faktor “di mana” tadi. Faktor “dari mana” menjadi sangat tidak penting.
Sebuah alamat e-mail atau nomor telepon genggam tidak menjelaskan identitas orang. Lain daripada sebuah alamat pos. Setiap orang bisa punya beberapa alamat e-mail atau nomor telepon genggam. Semuanya murah dan mudah diganti, kapan saja, dan berkali-kali dengan aneka variasi. Jauh lebih mudah daripada berganti agama, warna rambut, ukuran perut, jenis kelamin, atau paspor.
Setiap hari jutaan orang merantau. Berbeda dari nenek moyangnya, mereka tidak ingin, tidak perlu, atau tidak bisa, “pulang kampung”. E-mail dan telepon memungkinkan mereka sewaktu-waktu menjangkau atau disapa suara sanak keluarga. Kampung halaman mereka sendiri telah diserbu aneka gambar, suara, angan-angan, dan perantau dari aneka
penjuru dunia. Semua telah menjadi serba non-pribumi.
Liaw Kok Meng / Mailing-List Budaya Tionghua