Budaya-Tionghoa.Net | Lan Fang sebagaimana halnya dengan Soe Hok Gie, Kwik Kian Gie, Hong Sia, Hoo May Kwie, Ze Lie, Liem Swi King, Tan Sioe Lan, Tan Ping Swan, Wang May Ling, dan lain-lain adalah suatu nama.
Jika nama-nama ini digunakan oleh warganegara Republik Indonesia [RI] bagiku ini adalah suatu kebanggaan dan pengejawantahan dari Indonesia sebagai bangsa dan negeri yang majemuk.
Indonesia yang secara geografis berada di antara dua benua dan dua samudera, sangatlah wajar jika ia merupakan sebuah negeri yang terdiri dari berbagai asal turunan dan bangsa.
Justru di sinilah terletak kebesaran negeri ini yang kemudian bersepakat membentuk suatu bangsa. Albert Camus memandang negeri jauh lebih penting daripada bangsa. Karena tiada seorang pun bisa hidup tanpa negeri , sedangkan bangsa sangat relatif.
Ketika Lan Fang tetap menggunakan nama Lan Fang dan tidak mengobah namanya atas nama di Indonesiakan, aku merasa sangat gembira.
Karena dengan memelihara serta bersiteguh menggunakan nama begini, aku melihat kebesaran dan kemajemukan Indonesia.
Jika dilihat dari kenyataan, mana ada ada negeri yang dihuni hanya oleh satu asal etnik saja, mana ada kebudayaan suatu negeri dan bangsa yang bisa berkembang dengan ketertutupan alias sektarianisme? Tembok Besar Tiongkok pun tidak bisa mencegah pluralitas ini.
Kebesaran Indonesia justru terletak pada keragamannya seperti yang dijabarkan dalam motto “bhinneka tunggal ika”.
Tanpa kebhinnekaan ini , Indonesia adalah suatu omongkosong. Karena itu sejak remaja aku bangga benar menjadi Indonesia yang bhinneka dan menolak perobahan nama warganegara asal etnik Tionghoa dengan dalih diiindonesiakan tapi mendekati nama-nama Sanskerta dan lain-lain… Mohamad, Abduh, Khudori, Leila , apakah nama-nama ini asli Indonesia?
Aku merasakan ada suatu ketidakadilan telanjang jika benar ada semacam tekanan terhadap perobahan nama ini diberlakukan terhadap warganegara asal etnik Tionghoa, salah satu etnik saua sahnya dengan etnik mana pun di negeri ini.
Lain halnya jika ia dilakukan dengan sukarela. Tapi jika dilakukan dengan sukarela pun, masih menimbulkan pertanyaan.
Aku ambil satu contoh. Pamanku, adik kandung ayah, menamakan anak lelakinya dengan Dino, nama Jawa. Mengapa dinamakan demikian?
Pamanku menjawab: Jika aku memberikan adikmu nama Dayak, maka jika besar dan seusai sekolah nanti, ia akan mendapat kesulitan mencari pekerjaan.
Karena seperti kau ketahui, atau mungkin kau belum tahu, bahwa sekali pun di Kalimantan Tengah ini, kampung halamanmu, untuk mencari pekerjaan masalah etnik dan agama selalu dijadikan salah satu ukuran. Mendengar keterangan ini tentu saja, hatiku seperti dihunjam dalam oleh sebuah badik tajam.
Dengan ini yang mau aku katakan bahwa melalui perobahan nama, pemberian nama, kita bisa usut masalah sejarah, politik, tatanan masyarakat, budaya suatu negeri.
Sehingga dalil Shakespeare “what is in the name” dari segi lain sulit dipertahankan universalitasnya. Dari kasus Indonesia, khususnya kasus Dayak dan etnik Tionghoa [Cina] di Indonesia, nama menjadi “meaningful” dan tidak bisa disepelekan dengan berkata “what is in the name, rose is rose”.
Memandang sebelah mata masalah nama, perobahan nama dan pemberian nama di negeri ini, akan memberi peluang atau tidak mengacuhkan gejala dominasi mayoritas dengan menutup pintu bagi kemajemukan yang sudah dijadikan dasar membangun Republik dan Indonesia.
Jika diteruskan gejala ini maka darah yang mengalir untuk membangun Republik dan Indonesia akan terkucur tanpa penghargaan. Yang tertinggal hanyalah nilai-nilai mimpi-mimpi yang dijadikan puntung rokok diinjak di bawah sepatu lars mayoritas.
Sungguhlah mengeneskan hati bahwa untuk menggunakan nama “asli” dan berwarna budaya lokal serta etnik di negeri ini pun bukanlah masalah sederhana. Memerlukan keteguhan hati dan kesetiaan pada nilai pilihan serta junjungan, tanda dari berlangsungnya erosi nilai telah menjadi-jadi.
Karena itu aku sungguh gembira dan sangat menghargai bahwa Lan Fang tetap bernama Lan Fang, Kwik Kian Gie tetap bernama Kwik Kian Gie.
Untuk menopang kegembiraan dan penghargaan ini, izinkan aku mengutip apa yang dikatakan oleh Lan Fang dalam artikel lugasnya: “Lan Fang Di Negara Seni-Sastra-Budaya” [milis apresiasi-sastra, 29 Mei 2006]:
Jujur saja, ketika menulis ini, walau pun aku bukan ahli sejarah atau budayawan atau sastrawan, aku terperangah dan terkagum-kagum, betapa hebatnya NUSANTARA yang Bhineka Tunggal Eka. Semua nuansa dan rasa ada di dalam nusantara. India kuno, Hindu-Budha, Kalimantan, Jawa, Cina, sampai Islam. Perbedaan-perbedaan itu indah, semarak, kaya dan membuat Nusantara sangat eksotis. Eksotis timur yang tidak dimiliki negara di belahan mana pun”.
Aku pun kemudian merasa sangat beruntung secara kebetulan mendapatkan bahwa di Nan King, terdapat makam raja asal Kalimantan Timur. Adanya makam raja dari Kalimantan Timur ini menunjukkan bahwa pada masa itu pun sang raja menolak kecupetan dan ketidaktoleransi seperti lukisan yang dituturkan oleh legenda Dayak Sansana Bandar, Mengambil Intan Dari Perut Naga, atau pun Manen Panduran.
Keadaan sekarang hanya memperlihatkan kepadaku bahwa republik dan Indonesia masih merupakan konsep-konsep atau mimpi yang sedang diusahakan pengejawantahannjya. Wacana yang sedang menjadi . Indonesia dan Republik tidak lain dari ide yang masih patut diejawantahkan di negeri kita dengan negara yang masih mangkal.
Dalam konteks ini, adakah dan di manakah tanggungjawab para penulis atau mengaku diri sebagai penulis, lebih-lebih sastrawan?! Jika tak ada, penulis dan sastrawan tingkat apakah namanya yang hanya sibuk dengan diri sendiri?! Ataukah pertanyaanku tidak mengena dan salah total , sehingga masalahnya bisa berbalik menjadi: Penanya model apakah ini?!
Apabila pertanyaanku masih relevan, maka berarti “there is something rotten” di negeri ini jika menggunakan ungkapan Shakespeare dalam drama “Hamlet”-nya. Akankah kita menjadi Brutus bagi negeri dan bangsa sendiri?!***
Paris, 200605- 19510
——————–
JJ. Kusni