Berikut ini kita akan membahas mengenai waktu terjadinya persinggungan yang tepat antara budaya Tionghoa dan Yahudi. Sejarah membuktikan bahwa Bangsa Yahudi telah dapat dijumpai di Tiongkok semenjak lama.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas sejarah interaksi antar kedua bangsa tersebut. Hal ini penting, karena akan memperkuat bukti bahwa sesungguhnya tidak ada pengaruh Yahudi dalam budaya Tionghoa, malah sebaliknya budaya Tionghoalah yang mewarnai tradisi keagamaan dan budaya Bangsa Yahudi yang hidup di Tiongkok tersebut.
Rodney Stark dalam bukunya “One True God, Risiko Sejarah Bertuhan Satu” pada halaman 285 menyatakan bahwa para sejarawan tidak mengetahui kapan orang-orang Yahudi pertama kali sampai ke Tiongkok, atau kapan mereka mendirikan sebuah komunitas yang tersebar di pelbagai wilayah.
Salah satu kasus menyebutkan bahwa hal ini telah terjadi semenjak abad pertama Masehi dan barangkali setelah penghancuran Yerusalem oleh Bangsa Romawi (tahun 70 M).
Jadi mereka merupakan pelarian yang berasal dari sana. Yang pasti, komunitas-komunitas Yahudi telah berdiri dengan baik pada abad kesembilan.
Keberadaan mereka dicatat oleh para penjelajah dan ahli geografi berkebangsaan Arab dan juga oleh Marcopolo yang sempat berjumpa dengan mereka di ibu kota kerajaan pada tahun 1286. Komunitas-komunitas Yahudi juga disebut-sebut dalam dokumen kerajaan yang berasal dari abad keempat belas.
Salah satu komunitas terpenting dan bertahan lama terdapat di Kaifeng. Matteo Ricci seorang misionaris Jesuit bertemu dengan mereka pada tahun 1605. Catatan-catatan menunjukkan bahwa sinagoga (tempat ibadah Bangsa Yahudi) yang pertama kali telah dibangun di Kaifeng pada tahun 1163. Pada puncak kejayaannya pada sekitar tahun 1500, jumlah mereka terdiri dari 10.000 orang. Seabad kemudian tatkala Matteo Ricci tiba di sana jumlah mereka mengalami penurunan menjadi sekitar 1000 orang.
Lambat laun terjadi asimilasi dengan budaya Tionghoa dan mereka menjadi kurang mengetahui lagi agama mereka yang lama. Catatan menunjukkan bahwa pada abad kesembilan belas, sinagoga Kaifeng hanya tinggal memiliki seorang rabbi (pendeta Agama Yahudi), dan pengetahuan mereka tentang Agama Yahudi yang mereka milikipun kurang baik. Samuel Schereschewsky seorang uskup Anglikan yang melakukan kunjungan pada tahun 1867 melaporkan sebagai berikut:
“Mereka kehilangan agama mereka secara keseluruhan, yang dalam pelbagai hal, jarang sekali dapat dibedakan dari Orang Tionghoa. Mereka memiliki berhala-berhala di rumah-rumah mereka, peninggalan-peninggalan nenek moyang… Mereka melakukan perkawinan campur… dan tidak lagi melaksanakan khitan.
Dalam hal roman, pakaian,kebiasaan, agama, pada esensinya mereka adalah Orang Tionghoa…Mereka tidak lagi dapat membaca Kitab Taurat, meskipun manuskrip-manuskrip tetap mereka miliki.”
Barangkali asimilasi atau proses menjadi Orang Tionghoa inilah yang menyebabkan turunnya jumlah anggota komunitas Yahudi Kaifeng.
Rodney Stark dalam bukunya tersebut menyebutkan ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya asimilasi mereka dengan budaya Tionghoa.
Pertama-tama, konsepsi mereka tentang Tuhan semakin lama semakin samar, dan praktek praktek keagamaan mereka mengalami sinkretisasi dengan ritual keagamaan Tionghoa.
Sebab lain adalah mereka mendapatkan gaji atas jabatan-jabatan kenegaraan yang mengharuskan penguasaan atas filsafat Konfusianisme.
Inskripsi- inskripsi yang terdapat pada sinagoga di Kaifeng mencatat banyak hal sehubungan dengan kepercayaan Orang Yahudi yang berdiam di Tiongkok tersebut.
Pengaruh filosofi Taoisme dan Konfusianisme nampak jelas di dalamnya. Selain itu inskripsi-inskripsi tersebut ditulis dalam Bahasa Tionghoa dan bukan lagi dalam Hibrani. Bahkan mereka menyebut Hukum Taurat dengan istilah Tao. Donald
Daniel Leslie, yang merupakan pakar dalam Orang-orang Yahudi Kaifeng secara jelas mengatakan bahwa banyak ide-ide Tiongkok telah diselipkan dalam kepercayaan dan adat istiadat Yahudi. Istilah-istilah yang dipergunakan untuk Tuhan dan Hukum Taurat yang berkaitan dengan keyakinan-keyakinan mereka sendiri telah dibungkus dengan terminologi Taois. Inskripsi tahun 1489 mencatat:
“Sungguh, dalam persoalan pengagungan Surga, jika seorang laki-laki tidak menghina nenek moyangnya yang kemudian mempersembahkan pengorbanan-pengorbanan kepada nenek moyang.
Karenanya dalam musim semi dan musim gugur ketika pengorbanan-pengorbanan dipersembahkan kepada nenek-moyang…dia menawarkan kapak dan domba, makanan yang sedang musim, dan tidak gagal dalam menghormati nenek moyang.” (dikutip dari buku One True God, Risiko Sejarah Bertuhan Satu karya Rodney Stark halaman 288).
Inskripsi di atas membuktikan bahwa Bangsa Yahudi yang tinggal di Tiongkok telah mengadopsi ritual penghormatan pada nenek moyang yang sesungguhnya merupakan tradisi Tionghoa.
Seorang misionaris Jesuit pada tahun 1704 mencatat bahwa mereka (Bangsa Yahudi) melakukannya di dalam sebuah gedung khusus, namun tanpa disertai catatan mengenai orang-orang yang telah meninggal dunia.
Dari kenyataan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa persinggungan budaya antara Bangsa Yahudi dan Tionghoa baru terjadi pada sekitar abad pertama Masehi, jauh setelah berbagai legenda dan huruf Tionghoa diciptakan.
Karenanya ini salah satu bukti lagi bahwa tidak ada keterkaitan antara asal mula budaya Tionghoa dengan tradisi Yahudi. Malahan inskripsi-inskripsi membuktikan bahwa justru kebudayaan Bangsa Yahudi di Tiongkoklah yang dipengaruhi oleh filosofi, budaya, agama, dan tradisi Tionghoa.
Trend ke depan
Untuk menghindari salah penafsiran mengenai budaya dan sejarah Tionghoa, perlu dilakukan kajian lebih lanjut serta diterbitkannya makin banyak buku-buku yang memaparkan mengenai budaya dan sejarah Tionghoa secara obyektif. Pemaparan secara obyektif tersebut harus didukung fakta-fakta yang benar serta penafsiran yang utuh dan tidak sepotong-sepotong.
Salam damai,
[TAN]
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa
[Ilustrasi , Jews of K’ai-Fun-Foo (Kaifeng Subprefecture), China. A picture from the public domain]