Budaya-Tionghoa.Net |Perkembangan di Indonesia selama 12 tahun terakhir ini untuk komunitas Tionghoa menyejukkan. Berbagai UU dan peraturan yang mengandung rasisme telah berhasil dihapus. UU kewarganegaraan baru yang mengganti UU Kewarganegaraan 1958 mengandung berbagai kepositifan. Tahun baru imlek telah dijadikan hari raya nasional dan perayaan bisa dilakukan secara terbuka. Bahasa Tionghoa bisa digunakan secara bebas. Sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa juga bisa dibuka dan dikembangkan secara bebas.
Kesemuanya ini adalah hasil perjuangan jangka panjang. Perjuangan membangun Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Nasion yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Nasion yang berlandaskan pluralisme dan apa yang kini dikenal di banyak negara maju sebagai multi-kulturalisme.
Akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa apa yang tertera dalam UU atau Peraturan di sebuah era kekuasaan pemerintah, tidak menjamin pelaksanaan konsekwen.
Di negara-negara maju seperti Australia dan Kanada, di mana Multi-kulturalisme telah dihukum-kan, di mana a citizenship based Nation telah diwujudkan, masih saja terjadi berbagai penyelewengan yang merugikan komunitas tertentu dan Nation yang dimaksud secara keseluruhan.
Di negara berkembang seperti Indonesia, kemungkinan adanya penyelewengan, baik yang terselubung maupun yang terang-terangan, bisa terjadi tanpa sanksi hukum. Bahkan, pergantian pemerintah, bisa membatalkan UU dan Peraturan yang membangun dengan UU dan Peraturan yang destruktif ¡V tanpa mengindahkan dampak-dampak dan kecaman-kecaman dunia Internasional.
Ada sebuah contoh yang telah dilupakan banyak orang. Dalam awal kemerdekaan, salah satu tugas penting pemerintah RI adalah menentukan siapa yang mengisi keberadaan hukum Nasion Indonesia. BP KNIP sebagai Lembaga Legislatif mengeluarkan UU Kewarganegaraan 1946 yang menjadikan semua orang yang lahir di Indonesia, termasuk mereka yang berasal dari keturunan asing, warga negara Indonesia. Dengan demikian, semua yang lahir di Indonesia, menjadi warga negara pada waktu yang bersamaan. Yang tidak mau menjadi warga negara Indonesia, harus menolaknya di pengadilan. Mereka diberi waktu 2 tahun, yang kemudian diperpanjang hingga Desember 1951. Dengan demikian, hanya mereka yang menolak kewarganegaraan Indonesia pada bulan Desember 1951-lah menjadi Warga Negara asing. Yang lain, termasuk sebagian besar komunitas Tionghoa, secara hukum adalah warga negara Indonesia.
Ternyata perkembangan politik dan ekonomi, dengan silih bergantinya kabinet, memungkinkan UU kewarganegaraan ini dibatalkan dan diganti dengan UU Kewarganegaraan baru pada tahun 1958. UU yang merupakan kompromi antara kelompok yang ingin mempertahankan UU 46 dengan kelompok yang ingin menjadikan sebanyak mungkin orang keturunan asing, terutama Tionghoa, warga negara asing. Bilamana tidak ada perjuangan gigih, pembatalan UU 46 ini memiliki dampakyang sangat destruktif untuk pembangunan Nasion Indonesia. Hampir semua orang Tionghoa yang ada di Indonesia kini menjadi warga negara asing.
Generasi muda yang menghirup udara kemerdekaan di masa kini pada umumnya tidak menyadari bahwa kewarga-negaraan Indonesia yang dimilikinya ini, kebebasan melakukan adat istiadat Tionghoa, termasuk perayaan Imlek, penggunaan bahasa Tionghoa dan adanya alam pluralisme ini adalah hasil sebuah perjuangan jangka panjang yang dilalui dengan banyak pengorbanan lahir dan batin.
Generasi penerus-pun harus senantiasa sadar dan siap menghadapi kemungkinan berbagai UU dan Peraturan yang kini meng-outlaw rasisme dibatalkan. Untuk bisa efektif mencegahnya, mereka harus mengenal sejarah dan menggunakan pengalaman para pendahulunya sebagai pedoman.