Bhinneka Tunggal Ika
Sejak tahun 1958-an, Siauw telah berargumentasi bahwa beberapa komunitas Tionghoa yang sudah menetap di berbagai daerah di Indonesia selama ber-ratus tahun memiliki kwalifikasi suku. Berdasarkan pengertian ini, ia menuntut komunitas Tionghoa secara keseluruhan diterima sebagai salah satu suku yang tidak terpisahkan dari tubuh Nasion Indonesia.
Tuntutan Siauw ini akhirnya diterima oleh Soekarno pada tahun 1963 di acara kongres Baperki ke 8. Memang bisa timbul berbagai perdebatan ilmiah, pro dan kontra.
Akan tetapi motivasi Siauw sebenarnya mudah dimengerti. Ia ingin mempermudah upaya-nya dalam menjunjung tinggi Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, Nasion yang terdiri dari berbagai suku bangsa.
Bilamana komunitas Tionghoa diterima sebagai salah satu suku, konsep Bhinneka Tunggal Ika mudah dipergunakan sebagai alat ampuh dalam melawan rasisme.
Komitmen perjuangan mewujudkan Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika inilah yang mendorong Siauw menyebar-luaskan konsep integrasi wajar. Semua suku, termasuk Tionghoa, meng-integrasikan dirinya dalam tubuh Nasion Indonesia, tanpa menghilangkan ciri-ciri dan menanggalkan adat istiadat etnisitasnya.
Siauw berpendapat bahwa ukuran seseorang sebagai patriot sejati tidak berkaitan dengan nama, agama, aliran politik dan latar belakang etnisitas-nya. Ukuran utamanya, adalah sikap dan sumbangsih kongkrit terhadap Bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karena itu, Siauw menentang konsep assimilasi yang hendak mengaitkan patriotisme dengan latar belakang ras dan ciri-ciri etnisitas.
Konsep integrasi ini di banyak negara maju kini lebih dikenal sebagai multi-kulturalisme. Penetrapannya dihukumkan di negara-negara seperti Australia dan Kanada.
Rasisme di negara-negara maju sudah lama di out-law. Perkembangan di Indonesia memang menyejukkan karena di sini-pun sekarang rasisme telah dinyatakan sebagai pelanggaran hukum.