Pendidikan
Dalam menghadapi kebijakan rasis yang membatasi ruang lingkup pendidikan untuk komunitas Tionghoa, Siauw mengajak Baperki bersikap positif. Dalam waktu singkat, sejak tahun 1958 hingga akhir hidupnya, baperki berhasil membangun jaringan pendidikan yang terdiri dari ratusan sekolah yang menampung sekitar seratus ribu siswa dan beberapa kampus universitas ¡V Universitas Respublica, yang menampung ribuan mahasiswa. Tanpa jaringan pendidikan Baperki, sebagian besar dari mereka ini tidak akan memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
Melalui jaringan pendidikan ini, Baperki mendidik siswa-nya untuk mencintai Indonesia dan bukan saja mengerti politik tapi juga berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Lepas dari aliran politik yang dianutnya, Siauw dan Baperki berhasil menanamkan kecintaan terhadap Indonesia. Sebagian besar siswa Baperki berasal dari komunitas Tionghoa totok yang tanpa Baperki akan berkiblat ke Tiongkok.
Dampak positif pendidikan politik yang walaupun singkat tetapi intensif ini adalah hadirnya banyak mantan URECA dan PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) ¡V Pemuda Baperki, sebagai pelopor pendirian organisasi-organisasi Tionghoa setelah Soeharto jatuh 12 tahun yang lalu
Menunggal dengan Rakyat
Siauw mengajak massa Baperki untuk memperjuangkan diwujudkannya sebuah kondisi yang memungkinkan suku Tionghoa secara wajar meng-integrasikan dirinya dalam tubuh Nasion Indonesia dan menjadikan aspirasi Rakyat aspirasi komunitas Tionghoa. Menurutnya, ini akan mendorong para suku lain untuk menerima suku Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Nasion Indonesia. Bila ini tercapai, rasisme tidak akan bisa berkembang.
Ia berpendapat bahwa perjuangan mewujudkan kondisi ini memakan waktu lama dan harus dilakukan dalam semua bidang. Inilah yang mendorongnya untuk menjadikan Baperki alat pendidikan politik efektif. Massa-nya dikerahkan untuk berpolitik mendukung arus pembangunan Nasion Indonesia yang tidak mengenal istilah ¡§asli¡¨ dan tidak memungkinkan rasime berkembang. Baperki tercatat sebagai organisasi masa Tionghoa yang terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kedekatan Siauw dengan Soekarno dan PKI menyebabkan ia dan Baperki berada di posisi musuh kekuatan politik kanan yang dipimpin oleh Angkatan Darat. Akibatnya ketika kekuatan kanan mengambil alih kekuasaan politik pada akhir 1965, Baperki hancur dan Siauw bersama banyak tokoh Baperki lainnya ditahan.
Setelah meringkuk 12 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan apa-pun dan setelah hidup di luar negeri sebagai seorang pelarian politik, Siauw tetap berkeyakinan bahwa UUD-45, Bhinneka Tunggal Ika dan Panca Sila adalah kerangka yang akan membawa Indonesia ke alam demokrasi dan kemakmuran. Inilah dasar pidato yang ia ingin sampaikan pada tanggal 20 November 1981 di Universitas Leiden di hadapan para Indonesianis Belanda. Ia tidak berkesempatan untuk menyampaikannya karena beberapa menit sebelum acara dimulai, ia meninggal dunia karena serangan jantung.
Sampai saat terakhir, ia tetap berkeyakinan bahwa jalan keluar yang paling efektif untuk komunitas Tionghoa adalah meng-integrasikan dirinya dalam tubuh Nasion Indonesia dan menunggal dengan Rakyat. Dengan menjadikan aspirasi Rakyat aspirasinya dan dengan bahu membahu bersama suku lainnya membangun Indonesia, komunitas Tionghoa akan mengecapi ketenteraman dan keharmonisan yang didambakan.
Partisipasi banyaknya pembicara dari berbagai aliran politik dan suku bangsa di acara ini merefleksikan kepribadian Siauw Giok Tjhan. Pak Harry Tjan mungkin bisa memberi kesaksian bahwa salah satu kekuatan Siauw adalah kemampuannya berdiskusi bahkan bekerja sama dengan siapa-pun, baik yang mendukung kebijakan-nya, maupun yang menentangnya. Inilah norma demokrasi sesungguhnya.
Diharap diskusi ini membuahkan pengertian yang lebih mendalam tentang pentingnya pembangunan Nasion Indonesia.
Oleh: Siauw Tiong Djin, 201005