Di China saya melihat beberapa pabrik mesin. Ada pabrik skala kecil, ada pula yang skala besar. Luar biasa. Ada pabrik yang berani menstok mesin hingga ratusan unit. Ini bukan mesin murah, lho. Anggap satu unit senilai satu milyar, coba hitung & bayangkan…. Tapi saya angkat topi, bukan saja soal skala & teknologi, tapi soal ethos.
Kami menginap di kota Shanghai. Untuk mengunjungi pabrik, kami harus keluar kota naik mobil, perjalananan sekitar 2 jam. Saya tertidur hampir di sepanjang perjalanan. Rasanya tiap kali melek, sopir sedang bayar tol. China juga menganut sistim otonomi. Tiap lewat suatu wilayah, harus bayar retribusi.
Hari itu kami mengunjungi empat pabrik, diantar seorang agen. Kami agak terlambat, karena lewat jalan tol yang sangat padat. Setelah berkunjung ke pabrik pertama, kami makan siang dulu. Usai makan siang, waktu sudah menunjukkan pukul dua. Kamipun menuju pabrik kedua yang berjarak lumayan jauh. Setelah kongkow sekitar satu jam, kamipun pamitan menuju pabrik ketiga. Hari sudah sore. Kami kongkow cukup lama. Alhasil saat tiba di pabrik ke-empat, hari sudah petang. Ternyata kami masih ditunggu pemiliknya. Hmm…
Kami diajak melihat lihat pabrik dalam kegelapan. Ada beberapa pekerja yang masih nglembur. Pemiliknya berkata bahwa semua mesinnya sudah dipesan. Wow. Kami lalu diajak makan malam. Kami naik ke mobilnya; Audi MPV, entah model apa. Yang jelas jok-nya masih ‘bau’ baru & saat ditutup, pintunya ‘nyaris tak terdengar’. Kami dijamu dengan lauk semeja penuh, hingga kekenyangan ‘dosa’.
Ada satu menu istimewa yang dipesan. Sup ikan, konon kegemaran mantan Presiden China, Jiang Zemin. Ikan dimasak dalam sup santan yang tidak terlalu kental. Ada rasa asam berpadu gurih-manis sari udang & daging ubur-ubur. Isterinya juga ikut bergabung. Saat pamitan, saya baru mendengar, ternyata si isteri harus berkendara satu jam dari rumah. Hmm… Itupun si isteri tadi tidak ikut makan. Dia ternyata sudah makan di rumah. Hmm…, hmm….
Dalam pesawat yang membawa saya pulang ke tanah air, saya membaca informasi di layar video. Jarak Shanghai – Jakarta 5.000 kilometer lebih, ditempuh dalam waktu 6 jam. Jarak Semarang – Surabaya 300 kilmeter, ditempuh dalam waktu 6 jam; seringkali lebih. Hmm…
Saya mengatur kursi ke posisi rebah. Saya memejamkan mata. Keinginan & cita-cita, harapan & impian, bisa saja sama, bisa saja berjarak, tapi bagaimana menggapainya; itu yang membedakan. Apa yang ditumpangi, sumber daya & kompetensi, menentukan waktu & hasil.
Di China saya melihat semua sapu terbuat dari ranting bambu. Di jalanan, di pabrik, di toko, di pasar, dimana saja. Ada kesamaan, ada prinsip. Bahkan dari jendela hotel, saya melihat sebuah sekolah. Pagi pagi nampak beberapa siswa piket menyambut kawan kawannya yang mulai berdatangan. Ada siswa yang berjalan kaki, ada pula yang naik sepeda. Sepeda harus dituntun begitu masuk halaman. Tak ada siswa naik mobil, meski Shanghai kota megapolis. Sebuah pendidikan egaliter yang tidak sekedar diwacanakan, tapi dipraktekkan. Nampak beberapa siswa piket menyapu halaman; menggunakan sapu ranting bambu. Srett…, srett…, srett…
Sapu ranting bambu. Sebuah local wisdom yang terjaga, sebuah filosofi yang mendalam. Ranting ranting pating srabut, ranting ranting sederhana, ke-apa adanya-an yang diikat jadi satu, menjadi piranti murah meriah, namun penuh manfaat. Srett…, srett…. Kekuatan sebuah sapu tidak ditentukan oleh ranting yang paling kuat, atau oleh ranting yang paling menonjol, atau oleh ranting yang paling besar, tapi oleh apa yang mengikatnya. Hmm…
Sebuah persemaian budaya 8.000 tahun, dipupuk ajaran budi pekerti dalam sekat penuh disiplin, membuahkan militansi dalam bersikap, bekerja & berpikir. Ada ngoyo, ada relax. Ada mesin ratusan milyar, ada Audi paling anyar. Ada komitmen menunggu, ada sup ikan ubur-ubur. Ada ethos dalam sebilah sapu ranting bambu. Hmm…
Tapi, adakah korupsi di China?
“Dang ran you…!” (Tentu saja ada!) ujar agen kami sambil tersenyum.
HªHŪHÁª.
Harjanto Halim
Oktober, 2013
Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua | Facebook Group Budaya Tionghoa