BERKESEMPATAN menggeluti kehebatan karya-karya seorang Kwee Tek Hoay, mentransliterasikan[1]nya, lalu mengadaptasi[2]nya, sampai kemudian menyaksikannya dipentaskan di atas panggung Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), merupakan suatu kepuasan dan kebanggaan tersendiri bagi saya. Ya, sejak tahun 2004, saya telah menulis ulang beberapa naskah drama Melayu-Tionghoa yang selama puluhan tahun sempat terpinggirkan dari sejarah sastra Indonesia, dan berkolaborasi dengan sutradara Daniel H. Jacob, yang lewat Teater Bejana asuhannya mementaskan drama-drama tersebut dengan cukup sukses.
Tiga karya Kwee Tek Hoay, yaitu Nonton Tjapgome, Pentjoeri, dan Zonder Lentera, adalah hasil kolaborasi apik kami yang sudah dipentaskan, setelah sebelumnya teater yang sama memanggungkan karya terkenal Kwee Tek Hoay lainnya, Boenga Roos dari Tjikembang, yang diadaptasi oleh M. Yoesoev[3].
Latar Belakang
Sebagai pencinta dan penggelut sastra Indonesia (terkhusus saya sendiri kebetulan terlahir sebagai keturunan Tionghoa), tentu ada rasa “tak ikhlas” apabila karya hebat para leluhur saya dianaktirikan, bahkan tidak dianggap memiliki pengaruh yang cukup penting pada perkembangan dunia sastra di negeri tercinta saat ini, seperti yang terjadi selama ini. Padahal, sastra tulis karya pengarang Melayu-Tionghoa (Tionghoa Peranakan) di Indonesia sudah tumbuh jauh lebih mula daripada sastra Indonesia asli yang didominasi pengarang pribumi asal Sumatra.
Mayoritas pakar dan kritikus sastra bersetuju bahwa sastra Indonesia baru ada sejak berdirinya Balai Pustaka (1917), penerbit bentukan Pemerintah Hindia Belanda, dengan karya pertama Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1921). Padahal, jauh sebelumnya, telah terbit buku-buku karya pengarang Tionghoa Peranakan yang tak kalah apik. Karya pertama yang dibukukan adalah Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (1870) dengan nama pengarang anonim (namun diyakini adalah orang Tionghoa), disusul Kitab Eja A.B.C. (1884) dan Syair Hikayat Siti Akbari (1918) karya Lie Kim Hok, sertabeberapa tulisan karya pengarang lainnya,
Bahkan, secara kuantitatif, menurut perhitungan Claudine Salmon, selama kurun waktu hampir 100 tahun (1870–1960) Kesusastraan Melayu-Tionghoa telah menghasilkan 806 penulis dengan 3.005 buah karya. Bandingkan dengan catatan Prof. Dr. A. Teeuw bahwa selama hampir 50 tahun (1918-1967), dalam kesusastraan modern Indonesia asli hanya ada 175 penulis dengan sekitar 400 buah karya. Kalau dihitung sampai tahun 1979, sebanyak 284 penulis dan 770 buah karya.
Atas dasar itulah, sangat patut kita kedepankan kembali nama Kwee Tek Hoay sebagai salah satu pengarang Tionghoa dengan “jam terbang” sangat tinggi.
Siapakah Kwee Tek Hoay?
Photo: Kwee Tek Hoay – sumber : http://handrianwidjaja.blogspot.com/
Sebelum menelisik keunikan sekelumit karya Kwee Tek Hoay—khususnya yang pernah saya adaptasi—ada baiknya kita kenali lebih dalam siapa beliau dan jejak apa saja yang pernah dibuatnya bagi bangsa ini.
Kwee Tek Hoay lahir di Bogor pada tanggal 31 Juli 1886. Seperti sebagian besar anak Tionghoa zaman itu, ia mendapat pendidikan sekolah Tionghoa dengan pengantar Bahasa Hokkian. Ia juga sangat menguasai bahasa Inggris, Belanda, Sunda, dan Melayu. Bahasa Inggris dipelajarinya secara privat dari seorang India, S. Maharaja, yang juga guru Tiong Hoa Hwee Koan (setingkat SD) di Bogor. Sedangkan bahasa Belanda dipelajarinya dari Lebberton dan Wotman, pengurus Loge Theosophie, juga di Bogor.
Ia mulai senang mengarang sejak masih sekolah, tanpa sepengetahuan orangtuanya, dengan mulai menulis buku dan mengembangkan bakat jurnalistiknya. Tulisannya dimuat di berbagai surat kabar pada masa itu seperti Li Po, Sin Po, Ho Po, dan Bintang Betawi. Sebagai penulis, ia kerap kali menggunakan inisial “KTH”. Selain menjadi jurnalis, penulis, sastrawan, dan kritikus, KTH adalah seorang pedagang (ia membuka toko tekstil bernama ”Toko KTH”), organisator, bahkan juga rohaniwan.
Berturut-turut ia menjadi kepala redaksi Harian Sin Bin (Bandung, 1925), pimpinan redaksi Mingguan Panorama (1930–1932), Majalah Bulanan Moestika Panorama (1930–1934—kemudian berganti nama menjadi Moestika Romans) yang menampilkan cerita-cerita bulanan dalam bentuk buku, Mingguan Moestika Dharma (1932–1934), dan Majalah Sam Kauw Gwat Po (1934–1937) yang khusus membahas masalah agama. Keunggulan KTH dibanding pengarang-pengarang lain pada masa itu: ia mempunyai penerbitan dan percetakan sendiri untuk menerbitkan karya-karya para pengarang Tionghoa, yaitu Penerbit Moestika, yang didirikan pada 1931 di Jakarta dan kemudian dipindahkan ke Cicurug, Bogor, pada 1935.
KTH tercatat sebagai sastrawan Tionghoa paling produktif dan telah memberikan sumbangsih sangat besar bagi dunia kepenulisan dan perkembangan media massa di Indonesia melalui penerbit, percetakan, maupun toko buku yang didirikannya. Menurut Claudine Salmon, KTH menghasilkan sekitar 115 karya, berupa buku, stensilan, komik, koran harian/mingguan, majalah bulanan, serta sejumlah esai. Karya sastranya yang cukup terkenal adalah Boenga Roos dari Tjikembang (1927, drama percintaan), Drama di Boven Digul (1929–1932, drama tentang pemberontakan PKI di tahun 1926), dan Kehidupannya Sri Panggung (1931). Karya-karyanya yang lain berbicara tentang politik, pendidikan, sosial-budaya, masalah kewanitaan, agama, bahasa Melayu yang benar, teknik mengarang, dan lain-lain.
Kwee Tek Hoay tidak hanya menjadi penulis bagi golongan peranakan. Menurut sejarawan Tionghoa, Didi Kwartanada, KTH juga mewariskan catatan tentang pergerakan Indonesia modern, khususnya lewat serial tulisannya yang berjudul Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa Modern Pertama di Indonesia. Dalam tulisan tersebut, ia memperkenalkan suatu organisasi modern pertama Tionghoa di Indonesia, berupa sekolah dan gerakan Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) yang pengaruhnya besar sekali, seperti halnya Budi Utomo.
Ia meninggal pada tanggal 4 Juli 1952 dalam usia 66 tahun di Desa Warung Ceuri, Cicurug, Priangan, Jawa Barat. Jenazahnya diperabukan di Muara Karang, Jakarta, pada tanggal 6 Juli 1952, bertepatan dengan peringatan Hari Asadha.
Kwee Tek Hoay adalah sosok besar dalam dunia sastra, agama Buddha, dan ia dihormati sebagai pendiri organisasi Tridharma di Indonesia (1934; semula bernama Sam Kauw Hwee atau “perkumpulan tiga agama”—suatu aliran yang menyatukan agama Buddha, Taoisme, dan Confusianisme). Selama rezim Orde Baru, namanya sempat tenggelam. Dalam sebuah diskusi tentang KTH di Warung Apresiasi Bulungan pada 7 Februari 2005—jelang pentas pertama Nonton Capgome di GKJ—Leo Suryadinata[4] mengatakan bahwa KTH mungkin adalah penulis peranakan yang paling kompeten menulis mengenai masalah Tionghoa-Indonesia sebelum Perang Dunia II. Dalam diskusi tersebut, Dra. Lenny Kosasih, salah satu cucu kandung KTH, bercerita bahwa seorang temannya yang belajar sosial-politik dan sastra Indonesia di Negeri Belanda justru diharuskan membaca habis karya-karya kakeknya sebagai prasyarat kelulusan. Sementara, di Indonesia sendiri, pada saat itu nama besar KTH masih setengah terkubur.
[1] Menyalin sembari mengubah bentuk karya (dalam hal ini dari novel menjadi teks drama).
[2] Sedikit mengubah/menambahkan beberapa variasi untuk keperluan pemanggungan, seperti lagu, tarian, dialog, tokoh, alur, dan seting.
[3] Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia (juga mantan dosen saya dan Daniel).