Syukurlah belakangan ini semakin banyak orang yang menyadari dan mengangkat nama dan jasa besarnya. Pada tanggal 7 November 2011, sesuai Keppres RI No. 115/TK/TAHUN 2011, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, memberikan apresiasi tinggi kepada Kwee Tek Hoay dengan memberikan Piagam Penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma atau Pahlawan Sastrawan Melayu atas karya-karyanya yang sangat berguna untuk bangsa Indonesia. Penghargaan ini diberikan langsung oleh Presiden SBY kepada salah satu keturunan Kwee Tek Hoay di Istana Negara dalam rangka menyambut Hari Pahlawan (10 November).
Pada 5 Agustus 2012, KTH meraih piagam penghargaan dari Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha sebagai Pelopor/Pengembang Agama Buddha di Indonesia dan sebagai Bapak Tridharma Indonesia. Selain itu, atas jasanya yang sangat besar di bidang sastra, sosial, dan agama, pada 16 September 2012, Gubernur DKI Jakarta saat itu, Fauzi Bowo, meresmikan penggunaan namanya pada salah satu kawasan terkenal di Jakarta (Pecinan/Glodok dan sekitarnya) sebagai “Kawasan China Town Kwee Tek Hoay”.
Humor dan Sentilan Khas yang Tetap Aktual
Setelah pertama kali mementaskan karya Kwee Tek Hoay berjudul Boenga Roos dari Tjikembang (2004) yang diadaptasi oleh M. Yoesoev, selanjutnya Daniel H. Jacob selalu bekerja sama dengan saya dalam membuat adaptasi naskah-naskah Kwee Tek Hoay lainnya (dan dalam proyek-proyek berikut akan kami garap juga karya-karya sastrawan Melayu-Tionghoa lain yang tak kalah menarik).
Drama panggung Nonton Capgome berasal dari sebuah novel pendek berjudul Nonton Tjapgome(terbit tahun 1930) yang saya alih-bentuk (transliterasi) menjadi naskah drama dan dipentaskan Teater Bejana pada 28 Agustus 2004 di Balai Sarbini dan dipentaskan lagi pada 13–14 Februari 2005 di Gedung Kesenian Jakarta. Setelah vakum beberapa tahun, misi kami berlanjut dengan mementaskan Pentjoeri Hati, pada 7–8 Agustus 2010 di Gedung Kesenian Jakarta, yang saya kembangkan dari drama pendek berjudul Pentjoeri—Tooneelstuk dalem Satoe Bagian, yang terbit pertama kali tahun 1936). Naskah berikutnya kembali saya besut dari novel KTH berjudul Zonder Lentera—atawa Hikajatnya Satoe Wijkmeester Rakoes (terbit 1930), yang dipentaskan pada 9–10 Februari 2011, juga di Gedung Kesenian Jakarta,dengan judul Zonder Lentera. Nonton Capgome dipentaskan ulang pada 9 Februari 2012 di pelataran Wihara Petak Sembilan (Toa Se Bio), Jakarta, dan terakhir pada 2–4 Februari 2012, lagi-lagi di Gedung Kesenian Jakarta. Pentas ulang ini tetap mendapat sambutan hangat penonton, bahkan pada hari ketiga pementasan, lebih dari 80% bangku terisi. “Hampir 300 dari kapasitas 470 penonton,” rinci Hendra Merah Jambu, asisten sutradara di Teater Bejana, sebagaimana dikutip dari situs KBR68H.
Pentas : Nonton Tjapgome – sumber : http://us.images.detik.com/customthumb/2012/02/03/157/Teater-1.jpg?w=600
Secara keseluruhan pementasan drama Melayu-Tionghoa yang pernah dilakukan Teater Bejana tercatat 11 kali (Nonton Capgome sudah empat kali pentas, Boenga Roos dari Tjikembang lima kali, sedangkan Zonder Lentera dan Pentjoeri Hati masing-masing satu kali).
Menelaah karya-karya KTH, saya menangkap gaya humor yang begitu kuat dan khas dalam dialog-dialog ringan yang dibuatnya. Lewat bahasa sehari-hari, KTH dengan mudah membuat pembaca maupun penonton tertawa terpingkal-pingkal atas kelucuan adegan maupun dialog tokoh-tokohnya. Sentilan-sentilan yang spontan dan bernada sinis-ironis namun sangat mengenai sasaran kerap dihadirkannya dengan asyik tanpa terkesan menggurui, tidak seperti karya-karya sastra Melayu Klasik terbitan Balai Pustaka ataupun penerusnya, Pujangga Baru, yang sering kali mengandung pesan moral yang teramat tersirat.
Dalam Nonton Tjapgome, KTH dengan jenaka mengkritik kekolotan kaum peranakan di Indonesia dari golongan tua yang teramat teguh memegang tradisi tanpa mau peduli bahwa zaman terus berubah semakin terbuka dan modern.
“Dalem ini cerita Nonton Capgome kita mau coba lukisken salah satu dari itu bentrokan perguletan antara itu dua golongan kuno dan baru, yang bersifat humoristisch, kerna ini buku diterbitken di waktu taon baru Tionghoa Imlek, hingga kita pikir lebih baek, suguhken pada pembaca satu cerita yang lucu, dari pada yang menyedihken dan tumpahken aer mata. Cicurug, 6 Januari 1930.”
Demikian tulis Kwee Tek Hoay dalam bagian Pendahuluan novel 11 bab yang diterbitkan pertama kali oleh Drukkerij Hoa Siang In Kiek, Batavia, dengan cetakan pertama sebanyak 1.500 eksemplar pada Januari 1930 (nomor perdana Moestika Panorama), dan dicetak kedua kali pada November 1930 karena banyaknya permintaan pelanggan.
Memang tak berlebihan dan sangat cerdas gaya KTH menyuguhkan pesan “menyadarkan generasi tua agar tidak kolot menyikapi zaman” yang secara fakta sangat aktual dan masih sering menjadi persoalan yang dihadapi banyak orang hingga sekarang. Betapa tidak, ia mengambil tokoh seorang pemuda yang menyamar menjadi banci dan seorang gadis yang menyamar menjadi pria untuk menyampaikan pesan tersebut. “Banci-banci yang kita lihat di televisi dan film biasanya cuma untuk lelucon, bodoh, dan lemah. Namun, di Nonton Capgome, justru tokoh yang diwakili Frans dan Diana itulah yang membuka kekolotan atau yang menyampaikan kritik,” ungkap Daniel, sang sutradara.
Secara singkat begini kisahnya:
Sepasang pengantin baru bernama Thomas Sien dan Lies Soen ingin pergi menonton perayaan Capgomeh (perayaan 15 hari setelah Imlek). Mereka bertengkar karena Thomas ingin mengajak Lies menghadiri pesta yang sudah dirancang bersama teman-teman prianya, sedangkan Lies takut pada orangtua dan kakak-kakaknya yang kolot, yang menganggap tabu seorang wanita bergandengan tangan di jalan raya dengan seorang lelaki, meskipun itu suaminya sendiri. Akhirnya Lies memilih pergi bersama keluarganya. Thomas yang kesal kemudian bersepakat dengan Frans, sahabatnya. Ia sengaja memanas-manasi Lies sekeluarga dengan berjalan sambil menggandeng mesra Frans yang memakai pakaian wanita. Simak petikan dialog mereka berikut ini.
FRANS
(berpikir sejenak, kemudian tersenyum sambil menjentikkan jari)Bagimana kalu yang kau pimpin dan ajak jalan sama-sama ada satu siocia palsu? … Kau tau, bagimana bagus aku sudah bisa tiru sikepnya satu gadis dalem pertunjukan toneel derma. Dengen pake itu rambut palsu, Shanghai dress yang model paling baru, pupur yang tebel, alis dicet dan bibir serta pipi dipakein rouge tida satu manusia bisa sangka aku bukan prampuan tulen. Istri dan mertuamu tentu bakal jadi sanget mendongkol, tapi nanti kalu marika liat kau pulang di rumah bersama aku, pastilah ia-orang tida punya alesan buat gusar lebih lama, kerna berjalan dengen menyamar begitu rupa sudah umum di waktu Capgome. Dengen begitu, kau pindahken kau punya kajengkelan pada dadanya kau punya hujin-lang dan familienya. Manakah lebih baek, tinggal di rumah dengen hati mendongkol atawa pergi jalan-jalan aken kasih satu plajaran pada itu orang-orang kuno supaya mendusin pada kakliruannya?
THOMAS
(tersenyum, girang, menepuk pundak Frans) Itu pikiran betul bagus sekali! Lekaslah kau pulang aken lakuken itu penyamaran. Aku tunggu kau di Mangga Besar samping schouwburg Thalia!
Diana, sepupu Lies, kemudian menyarankan pembalasan dendam. Lies pun ganti berjalan mesra dengan Diana yang memakai pakaian pria di depan keluarga Thomas. Pertengkaran hebat yang seru namun kocak pun terjadi di antara kedua keluarga. Keluarga Lies sempat panik dan mengira Lies sudah bunuh diri karena kamarnya diketuk-ketuk tidak ada sahutan. Di saat panik demikian, keluarga Thomas datang dengan segudang serapah akan menantu mereka. Akhirnya semua panik mencari dan memanggil-manggil Lies, sampai ibunda Lies menangis berguling-guling. Padahal, di halaman, diam-diam Lies, Diana, Thomas, dan Frans, sudah saling membongkar rahasia dan tertawa-tawa.